Psikolog politik dari Universitas Indonesia (UI), Dewi Haroen mengatakan, pasangan nomor urut satu Prabowo Subianto memiliki keunggulan sebagai seorang pemimpin. Hal itu diantaranya, dilihat dari segi isi debat, penggunaan istilah, sikap maupun gesturnya dalam debat capres, Minggu malam.
"Hal-hal itu memperlihatkan bahwa mantan Danjen Kopassus itu seorang pemimpin," kata Dewi ketika dihubungi wartawan, di Jakarta, Senin (16/6).
Lebih lanjut, sambung Dewi, dari pengamatannya Joko Widodo (Jokowi) lebih sering menggunakan saya ketimbang kita, padahal jargon adalan capres tersebut adalah kita. Sebaliknya kata-kata Prabowo malah jauh lebih banyak menggunakan kata kita di debat kemarin.
Meski sederhana, namun pilihan penggunaan istilah itu menggambarkan kecenderungan yang berbeda antara keduanya.
"Keterbatasan pemahaman Jokowi menyebabkan dia memakai istilah ‘saya’ pada sesi itu, karena dia bercerita tentang pengalamannya ketika jadi Walikota Solo dan Jakarta. Visi misi harusnya merujuk pada sesuatu yang akan datang (terkait) rencana yang akan dilakukan oleh kabinetnya. Bukan pengalaman dia sebagai Walikota Solo atau gubernur Jakarta," serunya.
Selain itu, ujar Dewi, bila dilihat dari sisi sikap dan gestur, jawaban Jokowi sering disampaikan dengan gagap atau terbata-bata.
Menurutnya, tanda bahwa Jokowi grogi tampak dengan suaranya yang melemah dan tidak bisa rileks.
Dimana, Jokowi juga sering terlihat melirik kanan kiri dan tidak fokus, bahkan sesekali dia melihat contekan yang dibawanya.
“Saya mencatat tiga kali dia tergagap antara lain ketika menjawab dua anak ketika menyoal BKKBN dan lima kali terhenti sejenak. Dan itu tanda bahwa Jokowi belum menguasai masalah yang dikemukakan. Pengetahuannya terbatas meski mungkin sudah dikatrol. Itu tidak menyakinkan bagi yang melihat," tandasnya.
"Hal-hal itu memperlihatkan bahwa mantan Danjen Kopassus itu seorang pemimpin," kata Dewi ketika dihubungi wartawan, di Jakarta, Senin (16/6).
Lebih lanjut, sambung Dewi, dari pengamatannya Joko Widodo (Jokowi) lebih sering menggunakan saya ketimbang kita, padahal jargon adalan capres tersebut adalah kita. Sebaliknya kata-kata Prabowo malah jauh lebih banyak menggunakan kata kita di debat kemarin.
Meski sederhana, namun pilihan penggunaan istilah itu menggambarkan kecenderungan yang berbeda antara keduanya.
"Keterbatasan pemahaman Jokowi menyebabkan dia memakai istilah ‘saya’ pada sesi itu, karena dia bercerita tentang pengalamannya ketika jadi Walikota Solo dan Jakarta. Visi misi harusnya merujuk pada sesuatu yang akan datang (terkait) rencana yang akan dilakukan oleh kabinetnya. Bukan pengalaman dia sebagai Walikota Solo atau gubernur Jakarta," serunya.
Selain itu, ujar Dewi, bila dilihat dari sisi sikap dan gestur, jawaban Jokowi sering disampaikan dengan gagap atau terbata-bata.
"Sebagai psikolog saya tahu bahwa jawaban gagap artinya yang bersangkutan ragu dan tak yakin pada jawabannya sendiri, " paparnya.
Menurutnya, tanda bahwa Jokowi grogi tampak dengan suaranya yang melemah dan tidak bisa rileks.
Dimana, Jokowi juga sering terlihat melirik kanan kiri dan tidak fokus, bahkan sesekali dia melihat contekan yang dibawanya.
“Saya mencatat tiga kali dia tergagap antara lain ketika menjawab dua anak ketika menyoal BKKBN dan lima kali terhenti sejenak. Dan itu tanda bahwa Jokowi belum menguasai masalah yang dikemukakan. Pengetahuannya terbatas meski mungkin sudah dikatrol. Itu tidak menyakinkan bagi yang melihat," tandasnya.
Post a Comment Blogger Facebook