Rumput laut bisa diolah menjadi bahan bakar bioetanol dengan bantuan bakteri E. coli (Digital Trend)
Jakarta - Selama ini, maskapai penerbangan menggunakan avtur sebagai bahan bakar pesawat mereka. Namun lonjakan harga minyak bumi dan ketidakstabilan politik berpengaruh besar pada biaya bahan bakar pesawat. Setidaknya begitulah yang diungkapkan ahli biologi, John Love.
"Permintaan global terhadap energi dan bahan bakar yang bebas fluktuasi harga minyak serta ketidakstabilan politik terus melonjak," kata Love. "Dan ini merupakan prospek menarik."
Selama ini, bahan bakar non-minyak bumi yang digunakan adalah biofuel. Sebagai bahan bakar nabati, biofuel berasal dari sumber daya alam non-fosil serta organisme hidup, seperti tumbuhan. Dan biofuel yang paling banyak digunakan adalah etanol, alkohol yang dapat diminum. Namun etanol tak sepenuhnya kompatibel dengan mesin modern. Sebab, harus dicampur dengan minyak tanah. Artinya, etanol hanya dapat memenuhi sedikit permintaan bahan bakar transportasi.
Kondisi ini mendorong Love dan koleganya untuk membuat bahan bakar sintetis dari campuran DNA organisme yang berbeda. "Bahan bakar nabati ini dipercaya dapat digunakan mesin diesel pesawat jet," tulis para peneliti dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, 22 April 2013.
Kata Love, penggunaan bahan bakar sintetis bukan untuk menjadikannya sebagai bahan bakar alternatif. Tapi guna membuat replika bahan bakar daur ulang bagi mesin masa kini. "Sekarang kami dapat membuat bahan bakar nabati yang berfungsi seperti bahan bakar daur ulang dan tak butuh memodifikasi teknologi yang ada," kata Love kepada TechNewsDaily.
Untuk memproduksi jenis molekul bahan bakar dalam minyak tanah, disebut alkana, peneliti harus menemukan dulu cara penggunaan mikroba. Proses ini memakan waktu hingga satu dekade. "Sembilan dari sepuluh tahun dihabiskan guna menemukan mikroba yang dapat dijadikan bahan bakar," kata Love. "Dan kemajuannya sangat lambat."
Kemudian, para ilmuwan memutuskan meneliti bahan bakar nabati sintetis. Dalam penelitian ini, mereka membuat molekul bahan bakar dari banyak organisme berbeda. Kemudian menggabungkannya ke dalam satu mikroba. Hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Mikroba yang digunakan adalah E.coli, bakteri yang umumnya tinggal di usus manusia. Bakteri ini biasa digunakan dalam penelitian di laboratorium. Kemudian, peneliti mengubah sistem produksi minyak alami guna membuat alkana pada bahan bakar diesel atau jet. Hal ini membutuhkan gen dari berbagai organisme, termasuk pohon kamper dan alga biru-hijau. "Tidak ada alasan tak bisa gunakan mikroba untuk mengubah organik buangan menjadi bahan bakar."
Tidak seperti penelitian sebelumnya, penemuan ini hanya memakan waktu enam bulan. Terhitung sejak tim Love memutuskan dapat membuat bio-alkana. "Itu adalah terobosan," ujar Love.
Penelitian yang didukung perusahaan minyak Shell ini menyatakan, teknologi mereka masih menghadapi banyak tantangan sebelum bahan bakar nabati itu siap dipasarkan. "Tujuan kami meningkatkan hasil sebanyak-banyaknya," ujar Love.
Follow @wisbenbae