GuidePedia

1
http://noestyle.files.wordpress.com/2013/01/rawa-danau.jpg

Bismillah. Kami mengibaratkan bagian barat Pulau Jawa dengan kepala badak bercula satu. Pas sebenarnya karena di sinilah, di bagian barat Pulau Jawa, tepatnya Ujung Kulon terletak konservasi badak bercula satu. Kalau wilayah Taman Nasional Ujung Kulon diibaratkan sebagai mulut dan culanya, maka kawasan Cagar Alam Rawa Danau adalah matanya. Kami penasaran untuk “meninggalkan jejak” di mata Pulau Jawa ini. Sebenarnya, dulu sudah dua kali kami mengeksplorasi kawasan Rawa Danau ini tapi memang waktu itu belum ada jejak GPS yang kami buat. Kloter pertama masuk dari Pasar Mancak menuju Desa Cikedung dan keluar di Cinangka, sedangkan kloter kedua, yang saya ikut di dalamnya, masuk dari Panenjoan terus menuruni bukit curam, menyeberangi pesawahan membentang sambil memanggul sepeda, dan tiba menjelang Desa Cikedung. Potong kompas yang melelahkan, waktu itu. 
 
Lembah Rawa Danau 
 
Kami berkesempatan untuk mengelilingi kawasan cagar alam ini setelah menunggu sekitar tiga tahun! Penasaran kami terjawab pada Rabu tanggal 28 Mei 2014 setelah terakhir gowes ke sana tahun 2011 lalu. Lumayan lama tapi mudah-mudahan penantian ini sepedan. Lho, tanggal 28 Mei kan tidak libur? Ya, karena peserta pun hanya empat goweser, saya, Om Pri & Om Yopieastroz yang ketiganya cuti bersama, ditambah Kang Ola sebagai marshall. Inginnya sih gowes pada tanggal merah karena peserta “dimungkinkan lebih banyak,” tapi berhubung sang marshall dan sepeda merah putihnya bisanya hari itu, bismillaah kami gowes minimalis, mudah-mudahan nanti bisa gowes dengan peserta lebih banyak lagi, insya Allah.

Dimulai dengan sarapan bareng di tukang kupat tahu di seberang komplek Widya Asri, saya, Om Yopieastroz, dan Kang Ola mulai gowes melewati jalur “pemanasan” yaitu Kp. Kamalaka sampai ke simpang Umbul Tengah di Jalan Raya Takari, tempat Om Pri menunggu karena dia berangkat dari rumahnya yang keramat, eh,,,, maksudnya rumahnya di Kramat. Jalur pemanasan ini efektif juga, hanya sekitar 5 km tapi karena karakterisik jalan makadam dan di beberapa bagian penuh lumpur, cukup membuat berkeringat. Lumayanlah buat persiapan melahap tanjakan Cilowong.

Memasuki Jalan Raya Takari yang mulus dari trek pemanasan tadi seperti habis naik angkot berganti menjadi naik mersi, ngageleser kata orang Rangkasbitung mah. Walaupun lama-lama tanjakan ke arah Gunung Sari lumayan membuat kepala tertunduk, kaki memegal, dan nafas memburu juga. Apalagi aroma TPA Cilowong selepas hujan, aduhai rasanya. Saya seperti biasa berprinsip Tut Wuri Handayani alias gowes di belakang. Gaya pisan, padahal fisik kedodoran, hehehe.

Panenjoan view

Penghentian pertama adalah di Panenjoan, di sebelah kantor pengelola kawasan Cagar Alam Rawa Danau dan Gunung Tukung Gede di Jalan Raya Mancak. Lumayan melelahkan bagi saya karena selama lebih dari 20 km terakhir, tanjakan seperti gak ada habis-habisnya, padahal cuma naik ±300 m hehehe,,, tapi koq capek ya. Sambil melihat ke Kawasan Cagar Alam Rawa Danau membentang di bawah, dipikir-dipikir, sepertinya jauh juga. Tak apalah, maju tak gentar, membela yang gowes.

Rencana selanjutnya adalah ngopi di warung sebelah yang biasa menyediakan nasi ketan. Namun, ternyata tempat itu tidak ada dan sudah berganti bangunan berpagar tinggi, entah milik siapa. Om Pri saja yang penasaran gak jadi ngopi. Akhirnya diputuskan kami langsung meluncur ke Pasar Mancak. Untungnya jalur ke sana tinggal bonus turunan saja. Alhamdulillah. Kecepatan maksimal hampir mencapai 60 km/jam, tidak bisa ditambah lagi karena jalanan tidak terlalu lebar, ditambah di beberapa titik terhitung padat karena perkampungan di kanan-kiri jalan, sementara kendaraan dari muka juga tidak kalah cepatnya. Belum bisa memecahkan rekor kecepatan di turunan Bangangah di Mandalawangi menuju Caringin, Labuan yang mencapai hampir 70 km/jam. Kenikmatan turunan ini berakhir di Pasar Mancak, tempat kami rehat sebentar sebelum memasuki jalan makadam menuju Desa Cikedung. Lumayan juga kami menurun sejauh hampir 6 km dari 365,2 m ke 152,8 m dpl.

Om ngapain??

Selanjutnya kembali kami disadarkan bahwa gowes itu seperti kehidupan nyata sehari-hari. Kadang naik, kadang turun. Setelah nanjak terus sampai Panenjoan, kemudian turunan panjang sampai Pasar Mancak, saatnya kini kami kembali harus melawan gravitasi melewati tanjakan aje gile. Ya, memasuki jalan makadam menuju Desa Cikedung, harus banyak-banyak mengucap takbir karena banyak tanjakannya. Di beberapa tempat, ketika penat memuncak, menuntun sepeda adalah pilihan logis (buat saya) hehehe. Sementara, di kiri-kanan kami hutan dengan pohon-pohon berusia puluhan atau mungkin ratusan tahun memberi perlindungan kami dari terpaan sinar mentari. Kawasan ini yang disebut Cagar Alam Gunung Tukung Gede memang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi. Ciri khas kawasan ini adalah topografinya didominasi oleh lereng dengan ketinggian 125-750 m dpl.

Dilarang kencing di sini

Tepat di sebelah barat Panenjoan tapi terpisahkan rawa danau, perjuangan kami menanjak sekitar 4 km berakhir di ketinggian 349 m dari sebelumnya 153 m dpl. Sekarang saatnya kami kembali menikmati bonus turunan. Tapi sebelumnya kami harus menunggu Om Yopie yang kurang akrab di turunan. Dia mah emang hobinya menanjak melulu, hahaha… Oh ya, Kang Ola malah ketemu emak lagi. Berposelah dia dengan emaknya sambil berpelukan kayak Teletubies, hehehe. Siapa nama emaknya, Kang?

Selanjutnya karena jalan menurun, kami harus berhati-hati karena jalanan sempit, curam, dan kecepatan tinggi di sini. Malah, rem harus dipersiapkan sepenuhnya. Turunan tidak terlalu panjang sebenarnya, hanya sekitar 2 km tapi lumayan banget, turun hampir 230 m.

Memasuki Desa Cikedung (120 m dpl), kontur jalan mulai datar karena secara geografis sudah berada di lembah kawasan Rawa Danau. Tapi, lapisan jalan berupa batu-batu sebesar kepala membuat sepeda dan perut kami tersiksa. Kalau bahasa Kang Ola mah, boyoke sampai mules. Kondisi ini terus bertahan sampai kami tiba di Desa Cikedung. Nah, dari sini, jalanan mulai bervariasi dengan single track dan kubangan bekas hujan semalam. Kalau beruntung melintasi kubangan itu, kita bisa lewat. Tapi kalau tidak, pas melewati kubangan penuh lumpur, sepeda bisa tiba-tiba berhenti, hehehe.


Sang Merah Putih, Merdeka!!!!


Gunung Karang tuh di belakang

Komando

Karakteristik jalan selanjutnya adalah trek penyesalan, kata Kang Ola. Disebut demikian karena Kang Ola menyesal melewati trek itu. Bagaimana tidak, mungkin sepanjang 1 km jalan berlapis lumpur yang tidak mungkin dilewati karena ban-ban sepeda langsung menjadi donat! Kang Ola sampai bosan melihat Om Yopie berulang kali membersihkan donatnya, hehehe. Sepeda si merah putih saja bisa berdiri dan tidak jatuh di tengah jalan tanpa standar atau dipegang si empunya, hahaha. Mungkin di Endomondo, kecepatan kami saat itu dilambangkan dengan kura-kura! 
 
Kami sempat berbincang dengan beberapa penduduk setempat yang sedang memperbaiki jalan tersebut sambil curcol betapa pemerintah tidak peduli dengan kondisi jalan di pedesaan. Sampai-sampai dia bilang, dulu sewaktu kampanye di masjid, meminta-minta dukungan dari masyarakat sambil berjanji akan ini akan itu. Sekarang setelah terpilih, lupa tuh…. Lupa kali mereka kalau janji-janji mereka akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat! Ya sudahlah, kita memang hanya bisa mengingatkan.


Trek Penyesalan

Sekitar pukul 14 alhamdulillah kami tiba di Kp. Ciraab (114 m dpl). Kami sangat bersyukur di sana menemukan sebuah warung karena persediaan air sudah habis, apalagi makanan. Om Pri yang beli kacang kedelai gak bisa menelan gara-gara kehabisan air, hahaha ….. Akhirnya, semangkuk mie instan rebus cukup mengganti energi yang terbuang.

Wey, jangan melamun di situ....!

Di kampung ini juga terdapat sebuah jembatan gantung yang menjadi icon perjalanan ke kawasan Rawa Danau. Walau demikian, kondisi jembatan masih sama seperti dulu, kayu-kayunya sudah bolong-bolong. Lumayan menjadi ajang uji nyali buat orang yang mengidap acrophobia. Terakhir kami lewat sini, di bawah jembatan masih berupa sungai, sekarang koq sudah jadi sawah ya.

Selepas jembatan, kami melalui jalanan desa berlapis aspal menuju Pasar Padarincang. Tidak jauh hanya sekitar 5 km saja untuk tiba di Jalan Raya Palka, Padarincang dan langsung terbayang jalanan menanjak lagi yang harus kami lewati sejauh sekitar 20 km sampai ke simpang Pondok Kahuru, Ciomas. Lumayan menggoyang mental. Untuk menetapkan hati, kami solat Asar dulu di Masjid At Taqwa, Cisaat-Padarincang. Segar terasa setelah terkena air wudlu. Alhamdulillah.

Setelah perjuangan menanjak dengan sisa-sisa tenaga, melewati simpang Pondok Kahuru, Ciomas, jalanan tinggal menurun saja sampai ke perempatan Pal Lima. Kang Ola sepertinya dikejar waktu karena mengejar jadwal kerja shift malam. Tandem dengan Om Yopie, mereka berdua gowes gak pakai rem, gak pakai spion sampai tidak tampak lagi batang hidungnya, apalagi batang sepedanya. Saya dengan Om Pri juga tandem di belakang. Tidak terpaut jauh sebetulnya waktu finish kami karena Kang Ola sampai di rumahnya pukul 18.20, dan saya 18.30. Cuma Om Pri pakai perpanjangan waktu karena harus menuju rumah keramatnya. Yuk ah, segera solat magrib. Om Yopie apa kabarnya?

Saya intip jejak GPS, statistik menunjukkan trip odometer 81,8 km, max speed 59,3 km/jam, moving time 6:49 jam, total time 11:14 jam!

Endomondo Profile


The eye of Java Island



Vertical Profile



SXC2 Serang XC Community www.sepedaan.com  

Post a Comment Blogger

  1. Anonymous4:19 PM

    81 km ... melintasi beberapa jalanan offroad ... bener2 perjuangan ...wajar saja kalau sampai 11 jam-an
    tapi pastinya gowesnya seru ..

    ReplyDelete

Beli yuk ?

 
Top