Proses pertumbuhan dan perkembangan suatu budaya dapat digambarkan dengan dua model, yaitu sebagai kurva mendatar yang semakin melengkung di ujungnya, atau sebagai jenjang tangga yang semakin menanjak. Dalam model pertama, dibayangkan kebudayaan itu tumbuh dan berkembang terus-menerus tanpa ada hentinya dan semakin lama semakin cepat. Sementara itu, model kedua memberikan gambaran kebudayaan berkembang secara bertahap. Ada saatnya kebudayaan itu mandeg atau dengan kata lain, keadaan seimbang. Keadaan ini dapat disebut ekuilibrium dinamis, yang terjadi ketika suatu budaya berada dalam keadaan mantap dan stabil.
Memang, pada saat itu ada perubahan-perubahan kecil atau morfostatis, tetapi tidak cukup berarti untuk dapat merubah seluruh sistem budaya yang ada. Barulah, jika keseimbangan itu terganggu atau ada perubahan mendasar yang terjadi, yang dapat disebut sebagai peristiwa morfogenesis, sistem budaya itu harus menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan agar dapat tetap bertahan hidup.
Perubahan mendasar yang menyebabkan suatu budaya harus menyesuaikan diri dapat disebabkan oleh pelbagai faktor, baik yang terdapat di dalam sistem budaya itu sendiri (teknologi, organisasi sosial, atau kepercayaan) maupun pada lingkungan di luarnya. Namun di antara berbagai faktor yang ada tampaknya, pertambahan penduduk, ancaman bencana alam, inovasi teknologi dan meningkatnya kebutuhan energi merupakan faktor-faktor yang paling berpotensi mengakibatkan perubahan budaya. Faktor-faktor itu bisa secara sendiri-sendiri maupun bersamaan menimbulkan “gangguan” pada sistem budaya yang ada dalam kondisi ekuilibrium dinamis, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan. Keadaan tidak seimbang inilah yang harus ditanggapi manusia melalui perubahan budaya dalam rangka mencapai keseimbangan kembali.
Kerangka pemikiran evolusi budaya itu tampaknya sangat tepat untuk menjelaskan perubahan teratur yang akhirnya menciptakan sistem budaya Jawa yang cukup maju dan mapan. Untuk dapat menunjukkan proses evolusi budaya yang pernah terjadi, tentu saja harus ditelusuri dan dipelajari terlebih dulu sejarah lingkungan sosial budaya maupun lingkungan fisik yang pernah terjadi dan dialami oleh masyarakat Jawa sekian lama.
Masa Prasejarah
Sekitar dua juta tahun yang lalu, ketika Nusantara masih terdiri atas Dataran Sunda dan Dataran Sahul, serta tertutup vegetasi tropikal yang sangat padat, sudah ada manusia-manusia purba yang hidup sebagai pemburu.
Para ahli paleo-antropologi menemukan beberapa tulang-belulang mereka di dekat Trinil, Ngandong, Sangiran dan di dekat Mojokerto, menamakan mereka Pithecantropus erectus. Manusia purba hidup dalam kelompok-kelompok kecil, bahkan mungkin dalam keluarga-keluarga yang terdiri dari 6 hingga 12 individu, yang memburu binatang di sepanjang lembah-lembah sungai di sepanjang Dataran Sunda. Cara hidup demikian agaknya berlangsung cukup lama, karena ditemukan sisa-sisa artefak berupa kapak dari batu di Pacitan pada suatu lapisan tanah yangberdasarkan penyelidikan geologi diperkirakan berumur 800 ribu tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan setidaknya sejak 800 ribu tahun lalu di Pulau Jawa telah memiliki suatu kebudayaan.
Para ahli paleo-antropologi saling berdebat apakah Pithecantropus erectus memiliki kebudayaan. Mula-mula mereka berpendapat – walaupun tidak dapat dibuktikan secara ilmiah – seperti Tichelman (1940) bahwa manusia purba itu sudah mempunyai kebudayaan dan oleh karena itu merupakan seorang mahluk manusia. Tetapi pendapat Teuku Jacob (1967) yang didasarkan atas bukti ilmiah yang lebih kuat, yakni suatu analisa paleoantropologi yang cermat atas 11 tengkorak, mengatakan manusia purba tidak memiliki kebudayaan; tetapi karena mereka sempat hidup di Jawa selama hampir satu juta tahun, maka tidak mustahil bahwa dalam jangka waktu itu mereka mengembangkan suatu bentuk kebudayaan.
Dapat dipastikan orang Jawa sekarang bukan keturunan manusia purba, Pithecantropus erectus. Hasil penelitian menunjukkan mereka punah dan digantikan oleh manusia modern yang sebenarnya, Homo sapiens. Kolonisasi Homo sapiens yang sebenarnya berasal dari Afrika, berhasil menggantikan manusia purba, karena mereka memiliki strategi hidup yang lebih baik dibandingkan para manusia purba, Pithecantropus erectus.
Pembuktian nenek moyang manusia modern seluruhnya berasal dari Afrika dibuktikan melalui pemetaan genetika kromosom (genom). Mutasi genetis bertindak sebagai peta untuk melacak pengembaraan. Mutasi pertama yang diketahui keluar dari Afrika adalah penanda M168 pada kromosom Homo sapiens yang keluar dari benua itu sekitar 50.000 tahun lalu. Penanda ini ada di semua manusia yang tidak tinggal di benua Afrika, termasuk manusia di Asia, Eropa dan Amerika.
Penduduk Jawa adalah keturunan dari imigrasi bertahap, yang dimulai ratusan ribu tahun lalu, dari Afrika, melewati daratan Asia dan yang bergerak ke arah tenggara melalui Semenanjung Melayu. Menurut Whitten, Soeriatmadja dan Afiff (1996), dikatakan penduduk “asli” pertama di Pulau Jawa (Homo sapiens) mungkin mirip dengan suku Aborigin di Australia yang pindah dari Indonesia sekitar 40.000 tahun lalu. Mereka disebut Australoid dan kemudian tersingkir oleh pendatang dari Asia Tenggara yang memiliki kebudayaan dan adaptasi yang lebih baik sebagai pemburu dan peramu makanan. Keturunannya tidak ada yang dapat hidup di Jawa, tetapi mereka saat ini dapat ditemukan sebagai suku Anak Dalam atau Kubu di Sumatera Tengah, dan sebagian lagi ditemukan terpisah-pisah di Indonesia bagian timur. Diperkirakan mereka adalah bangsa pertama yang membawa kepandaian bercocok tanaman umbi-umbian dan buah-buahan dengan teknik perladangan ke Pulau Jawa.
Temuan artefak di Malakunanja dan fosil di Danau Mungo, Australia, menunjukkan manusia modern berasal dari Afrika dan berkelana mengikuti rute pantai sepanjang Asia Selatan dan mencapai Australia 50.000 tahun lalu. Keturunan mereka, kaum Aborigin masih terisolasi secara genetis sampai sekarang. Selain serpihan peninggalan di Jawa dan Flores, juga ditemukan artefak peninggalan mereka di Gua Niah, Kalimantan.
Kemudian 3.000 sampai 5.000 tahun silam, arus pendatang selanjutnya yang disebut proto- Melayu datang ke Pulau Jawa. Keturunan mereka saat ini dapat dijumpai di Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, Tengger di Jawa Timur, Dayak di Kalimantan dan Sasak di Lombok. Setelah itu, arus pendatang yang disebut Austronesia atau deutero-Melayu yang berasal dari Taiwan dan Cina Selatan datang lewat laut ke Pulau Jawa, sekitar 1.000 sampai 3.000 tahun lalu. Sekarang keturunannya banyak tinggal di Indonesia bagian barat, dengan keahlian bercocok tanam padi, pengairan, membuat barang tembikar (pecah belah) serta kerajinan dari batu, seperti yang dipaparkan oleh Koentjaningrat.
Kegiatan budi daya tanaman yang tertua di Jawa mungkin sekali berasal dari wilayah Jawa Timur. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan-temuan arkeologis yang terdapat pada beberapa situs gua dan ceruk peneduh (rock-shelter) di daerah pegunungan kapur di wilayah itu. Temuan-temuan arkeologis itu kemudian dikenal dengan istilah: “budaya Sampung.” Nama Sampung diambil dari nama sebuah desa kecil yang terletak beberapa kilometer sebelah barat laut Ponorogo, tempat ditemukannya situs Gua Lawa yang sangat kaya akan peninggalan prasejarah.
Situs gua ini mulai menarik perhatian para pakar arkeologi ketika pada tahun 1926, seorang arkeolog bernama L. J. C. van Es mendapat berita ditemukannya fosil-fosil binatang di gua itu. Ketika ia mengunjung gua tersebut, ia berhasil mendapatkan cukup banyak tulang, yang ternyata sebagian telah dipergunakan manusia purba untuk alat-alat mereka. Penggalian segera dilakukan, dan hasilnya semakin menarik perhatian. Pada penggalian pertama, van Es menemukan lapisan budaya setebal 4 meter, yang mengandung sisa-sisa kegiatan manusia purba. Mulai tahun 1928, van Stein-Callenfels, ahli prasejarah yang terkenal ketika itu, mengambil alih penelitian di Gua Lawa hingga tahun 1931. Penggalian van Stein-Callenfels di Gua Lawa tercatat sebagai penggalian sistematis pertama pada situs prasejarah di Jawa.
Rangkaian penelitian yang dilakukan selama itu ternyata mampu mengungkapkan adanya lapisan-lapisan budaya di situs Gua Lawa di Sampung, namun batas antara lapisan-lapisan itu amat kabur dan sulit ditentukan dengan pasti. Lapisan teratas mengandung artefak dari masa sejarah – yaitu gerabah, pecahan kaca dan keramik dari Cina, alat-alat tembaga, perunggu, dan besi, serta mata uang Cina (kepéng). Pada lapisan di bawahnya terdapat pecahan gerabah, batu giling dan batu pelandas, alat logam, beberapa sudip dari tulang, manik-manik, serta beberapa beliung persegi. Lapisan budaya yang paling bawah mengandung banyak alat-alat dari tulang dan tanduk, perhiasan dari kerang dan gigi binatang, batu giling dan pelandasnya, mata-panah dari batu dan serpihan batu.
Selain artefak, penggalian tersebut juga berhasil menemukan rangka-rangka manusia yang dikuburkan dalam sikap terlipat. Kedua kakinya ditekuk sehingga pahanya menyentuh dada dan kedua tangannya disilangkan di atas dada. Di antara rangka itu terdapat kerangka seorang anak yang mengenakan kalung dari rangkaian kerang.
Ternyata temuan arkeologis seperti yang terdapat pada Gua Lawa di Sampung ditemukan juga di beberapa gua dan ceruk peneduh lain di Jawa Timur. Pada tahun 1936, temuan yang mirip dengan Sampung diperoleh dari penggalian von Koeningswald di sebuah ceruk peneduh pada Bukit Cantelan, dekat Punung. Temuan serupa juga dilaporkan van Es di Gua Kramat dan Gua Lawang, dekat Dander, Bojonegoro. Dari ujung paling timur Jawa, van Heekeren melaporkan adanya unsur-unsur Budaya Sampung pada sejumlah gua yang digalinya, yakni Gua Sodong dan Gua Marjan dekat Puger, serta Gua Lawa – yang disebut Gua Bekpuruh oleh penduduk setempat yang berbahasa Madura – dekat Pacalan, Situbondo. Sementara itu, sejumlah peneliti lain, seperti W. J. A. Willems dan J. H. Houbolt menemukan data arkeologi yang sama pada gua-gua di sekitar Semanding, Tuban. Dari laporan-laporan tersebut, untuk sementara dapat disimpulkan Budaya Sampung tersebar secara terbatas pada gua-gua di perbukitan kapur Jawa Timur.
Berdasarkan penelitian terhadap artefak dan ekofak yang ditinggalkan, termasuk rangka manusianya, dapat diduga pendukung Budaya Sampung adalah masyarakat yang sudah cukup mapan. Mereka tidak saja mengandalkan perburuan dengan menggunakan matapanah batu yang bagus untuk menunjang kehidupannya, tetapi mungkin sekali mereka sudah mulai lebih banyak memanfaatkan sumber pangan dari tumbuh-tumbuhan. Dugaan ini dibuktikan dengan temuan sudip sudip dari tulang dan batu giling disertai pelandasnya.
Bentuk sudip dari tulang ini dapat dibagi dalam dua jenis: sudip pipih yang mirip sendok atau pisau, dan sudip tebal yang mirip tugal atau beliung persegi. Sudip yang pipih mungkin sekali dipakai untuk mengolah makanan, membersihkan kulit umbi-umbian, atau untuk mengambil (menyendok) bahan makanan dari atas batu pelandas.
Sudip tebal diduga digunakan untuk menggali tanah, sangat mungkin untuk mencari umbi-umbian bahan pangan, atau bisa jadi malah menjadi ujung tugal, yaitu alat pembuat lubang di tanah untuk ditanami biji atau tunas tanaman. Sudip tebal yang mirip beliung atau kapak persegi ini mungkin merupakan bentuk awal (prototip) dari beliung atau kapak persegi yang muncul pada masa kemudian. Beliung persegi dari batu biasanya digunakan untuk mengerjakan kayu atau sebagai alat bercocok tanam. Sementara batu giling dan pelandasnya dipakai mengolah bahan pangan dari tumbuh-tumbuhan dan menghaluskan bahan-bahan lainnya, seperti bahan pewarna.
Bukti lain yang dapat mendukung bahwa masyarakat pendukung Budaya Sampung banyak mengandalkan kehidupan bercocok tanam, adalah pada organisasi sosialnya. Munculnya aktifitas bercocok tanam mengubah organisasi sosial masyarakat. Ketika masih berburu dan mengumpulkan serta meramu makanan, sifat masyarakatnya egalitarian; kedudukan seseorang akan ditentukan oleh prestasi selagi dia hidup. Namun, pada kehidupan bercocok tanam masyarakatnya berubah menjadi masyarakat bertingkat, yang memperhitungkan faktor keturunan dalam menetapkan kedudukan sosial seseorang. Masyarakat bertingkat muncul karena adanya kebutuhan akan pola penjadwalan, serta meningkatnya interaksi antar anggota kelompok, dan antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya.
Untuk mengetahui bentuk organisasi sosial masyarakat purba, dapat dilakukan antara lain dengan meneliti cara-cara penguburan manusianya. Data seperti itu terdapat pada situs-situs Budaya Sampung. Salah satu hal menarik adalah temuan penguburan anak-anak yang memakai kalung di lehernya. Padahal, orang dewasa yang dikuburkan justru tidak diberi bekal kubur yang bernilai. Ini menandakan masyarakat pendukung Budaya Sampung sudah tidak terlalu egaliter lagi.
Sebab, di dalam masyarakat yang egaliter, kedudukan seseorang ditentukan oleh prestasi yang diperolehnya, maka tentu untuk orang-orang yang masih muda, apalagi kanak-kanak, akan cenderung memiliki kedudukan yang rendah. Jadi, apabila ditemukan rangka anak-anak yang diberi bekal kubur lebih baik dari pada orang dewasa, maka bisa diduga masyarakat ketika itu telah mengenal jenjang sosial. Hal ini dapat menjadi petunjuk adanya kehidupan yang lebih mengandalkan pada perolehan makanan dari bercocok-tanam.
Sebenarnya tidak mengherankan jika pendukung Budaya Sampung lebih menggantungkan hidup mereka pada cara bercocok tanam sederhana, karena lingkungan yang mereka pilih memang cocok untuk itu. Umumnya mereka memilih tempat bermukim di bukit-bukit kapur yang tidak jauh dari suatu dataran banjir atau lembah yang memiliki jaringan sungai. Wilayah seperti ini biasanya merupakan daerah yang subur dan aman. Subur dikarenakan cukup tersedia air dan tanah yang di lembah itu merupakan endapan banjir yang kaya zat hara. Aman dikatakan karena bukit-bukit kapur menyediakan tempat tinggal yang bebas banjir, dapat melindungi mereka serangan binatang buas dan serangan kelompok manusia lainnya. Apalagi, lingkungan di Jawa Timur adalah lingkungan berhutan tropis musiman.
Lingkungan ini merupakan ekosistem peralihan yang menyediakan bahan pangan beragam sepanjang tahun. Kondisi ini tentu saja membuat manusia betah tinggal lebih lama, sehingga tidak terlalu sering berpindah-pindah (nomaden) lagi sehingga dapat mempelajari jenis-jenis tanaman yang dapat dibudidayakan. Oleh karena itu dugaan bahwa pendukung Budaya Sampung adalah masyarakat tertua di Jawa yang membudidayakan tanaman, memiliki dasar yang kuat. Memang cara bercocok-tanam yang dilakukan oleh para pendukung Budaya Sampung masih kuat dan amat sederhana. Dulunya mereka mungkin hanya memanen jenis umbi-umbian tertentu, seperti keladi atau uwi di habitat aslinya. Namun lama kelamaan mereka makin memahami cara reproduksi tanaman itu, sehingga sebagian dari umbi-umbian tadi lalu ditanam kembali dalam lubang-lubang yang telah digali, sebagai tunas yang diharapkan akan tumbuh dewasa hingga panen berikutnya. Teknik budidaya tanaman seperti itu seperti disebut vegeculture itu dapat dianggap sebagai pola awal cocok-tanam yang dapat dikenalkan Temuan sudip tulang berbentuk tugal yang berbentuk mirip beliung serta tanduk rusa yang dibuat sebagai alat penggali, menyiratkan penerapan teknik vegeculture itu oleh pendukung Budaya Sampung.
Tampaknya pola budidaya tanaman seperti itu berlangsung cukup lama, antara 2.500 hingga 3.000 tahun sebelum Masehi. Seperti halnya di berbagai tempat di Indonesia lain, sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi, Pulau Jawa didatangi oleh imigran dari Asia Tenggara bagian utara. Mereka adalah orang-orang yang memiliki bahasa induk Austronesia. Mereka dulunya mendiami kawasan sekitar Taiwan dan kepulauan Filipina bagian barat. Tanpa sebab yang jelas, mereka berimigrasi ke selatan dengan membawa serta kebudayaan mereka yang telah mengenal bercocok-tanam padi. Bangsa itu akhirnya tinggal menetap di Kepulauan Nusantara, menularkan kebudayaan mereka dan hidup bercampur dengan penghuni lama, hingga secara etnis membentuk mayoritas penghuni Kepulauan Nusantara hingga kini.
Sejak itulah di Indonesia, dikenal budidaya tanaman padi pada tingkat sederhana. Berbeda dengan budidaya tanaman bertunas, budidaya padi (Oryza sativa) menuntut teknologi bercocoktanam yang sedikit lebih rumit. Padi bukan tanaman asli kepulauan ini, sehingga agar bisa tumbuh dengan baik, harus dibuatkan habitat tiruan yang mirip dengan habitat aslinya. Atau, dengan rekayasa genetik secara sederhana, misalnya dengan penyilangan, dilakukan usaha mencari benih yang lebih cocok dengan lingkungan barunya, walaupun usaha dengan cara terakhir ini sangat mungkin belum dipraktekkan pada taraf seawal ini. Untuk menciptakan habitat yang sesuai itu, tentu saja diperlukan perkakas yang lebih handal. Kebutuhan itu mendorong para pendukung Budaya Sampung itu untuk membuat beliung atau kapak batu.
Alat ini jelas lebih berdaya guna, terutama untuk menebas pohon dan membabat hutan membuka lahan baru yang diperlukan untuk menanam padi. Sejumlah beliung dari batu juga ditemukan di situs Gua Lawa, Sampung, pada lapisan yang agak ke atas. Temuan tersebut memberi petunjuk, pada akhir Budaya Sampung, pendukung budaya itu juga terlihat dalam upaya alih teknologi budidaya tanaman yang lebih maju.
Budidaya tanaman padi rupanya memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan budidaya umbi-umbian, sehingga penerapan cara bercocok-tanam ini seringkali dianggap sebagai pendorong pertambahan penduduk. Sebaliknya, pertambahan penduduk akan menuntut perolehan hasil pertanian yang lebih banyak. Hal ini dapat dipenuhi dengan dua cara, yakni: memperluas lahan dengan membuka hutan (disebut ekstensifikasi) dan melakukan intensifikasi. Di Jawa, karena daerah hutan yang tersedia pada saat itu masih cukup luas, rupanya pilihan jatuh pada yang pertama. Semakin banyak hutan dibuka, tentu saja semakin banyak pula kebutuhan akan beliung batu. Sebagai akibat permintaan yang cukup tinggi akan perkakas-perkakas batu, kemudian muncul semacam “industri” pembuatan perkakas dari batu – yang umumnya terletak dekat dengan sumbersumber bahan batuannya.
Di Jawa Timur, “industri” perkakas batu terdapat paling tidak di dua tempat, yaitu di daerah Kendenglembu, Jember dan di Punung, dekat Pacitan. Situs pembuatan beliung batu di Kendenglembu pernah digali oleh van Heekeren (1941) namun akibat Perang Dunia ke 2, hasil penelitiannya musnah sehingga tidak dapat dikaji lebih lanjut. Pada tahun 1968, situs ini digali kembali oleh Soejono. Penelitian Soejono mampu mengungkapkan adanya dua lapisan budaya, yaitu lapisan budaya Majapahit ditandai dengan penemuan mata uang Cina, kepéng, bata, gerabah baru, keramik dan cincin besi. Sementara itu, pada lapisan prasejarah ditemukan lebih banyak beliung batu yang belum jadi, tatal-tatal batu sisa pembuatan, batu asahan dan sejumlah beliung yang sudah jadi. Pada lapisan itu juga ditemukan cukup banyak gerabah – sehingga itu menguatkan dugaan van Heekeren bahwa bengkel itu juga merupakan tempat bermukim. Temuan-temuan ini paling tidak memberikan gambaran tentang suatu industri beliung batu dari zaman prasejarah di Jawa.
Desakan penduduk yang bertambah jumlahnya untuk mendapatkan lebih banyak bahan makanan dari usaha bercocok-tanam akhirnya mendorong “industri” perkakas batu. Lebih menarik lagi, adalah adanya kompleks perbengkelan di Punung, Pacitan. Di daerah ini van Stein Callenfels pernah mencatat sekitar 100 situs yang termasuk tempat usaha perbengkelan pada zamannya.
Bengkel-bengkel batu di Punung tidak saja menghasilkan beliung batu namun juga mata-panah dari batu yang bentuk maupun bahannya mirip benda-benda sejenis dari Gua Lawa di Sampung, Ponorogo. Oleh karena itu, amat beralasan jika van Stein-Callenfels menduga ada hubungan antara manusia yang pernah tinggal di Sampung dengan para pengrajin beliung dan mata-panah di Punung. Hanya saja, sulit diketahui sejauh mana hubungan antara kedua komunitas tersebut. Namun, yang jelas bengkel di sekitar Punung telah menghasilkan ribuan beliung batu dan mata-panah batu. Dengan perkiraan produksi yang mencapai ribuan – bahkan mungkin puluhan ribu beliung – dapat dibayangkan kebutuhan akan perkakas tersebut tentu saja cukup besar. Hal ini sekaligus menunjukkan di daerah Jawa Timur saja terdapat cukup banyak masyarakat yang mempraktekkan cocok tanam sederhana, peladang berpindah dengan cara tanam tebang bakar (slash and burning cultivation). Cara-cara bercocok tanam seperti itu memang dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduk, bahkan dapat meningkatkan ketersediaan bahan pangan karena menciptakan suatu kesenggangan waktu yang pada gilirannya justru merangsang pertumbuhan penduduk dan mengembalikan kandungan zat hara pada tanah.
Namun, apabila pertumbuhan penduduk sudah melampaui daya dukung dari cadangan pangan yang dapat disediakan, maka diperlukan cara-cara baru untuk meningkatkan perolehan makanan. Untuk daerah yang sesempit Jawa, dengan penduduk yang semakin padat, cara-cara meningkatkan hasil pangan dengan cara ekstensifikasi – atau membuka hutan menjadi lahan baru – sudah tidak memungkinkan. Cara ekstensifikasi tidak saja terkendala oleh aspek lingkungan fisik belaka, namun juga secara sosial budaya. Apabila cara-cara itu dilakukan secara terus-menerus maka akan timbul konflik antar kelompok untuk memperebutkan lahan. Konflik ini kerapkali berlanjut menjadi perang. Situasi seperti ini perlu dihindarkan, dan rupanya memang dihindari oleh manusia sejak zaman prasejarah di Jawa. Bagi mereka, beradaptasi adalah cara terbaik, sehingga mereka memilih proses intensifikasi dalam bercocok tanam. Sebagai akibat pilihan ini, maka manusia prasejarah di Jawa memilih untuk menetap, kemudian mengembangkan teknologi bercocok tanam yang lebih baik, serta menyusun organisasi sosial yang lebih teratur.
Kehadiran komunitas manusia yang hidup menetap dengan mengembangkan teknologi bercocok tanam yang intensif di Jawa Timur terwakili antara lain oleh masyarakat megalitik yang antara lain meninggalkan bekas-bekas peninggalan di sekitar Bondowoso. Penelitian arkeologis di tempat itu telah dilakukan sejak awal ke 20 dan mengungkapkan keberadaan dari kelompok-kelompok masyarakat prasejarah yang memiliki susunan cukup kompleks.
Bukti-bukti adanya kehidupan prasejarah di wilayah itu dilaporkan pertama kali oleh Asisten Residen Bondowoso, H. E. Steinmetz pada tahun 1898. Bangunan peninggalan masyarakat megalitik itu berwujud bangunan dari batu-batuan yang besar, seperrti kubur batu yang oleh masyarakat setempat disebut pandhusa, peti kubur atau sarkopagus, batu-batu tegak (menhir) dan batu-batu pipih berlubang yang menyerupai dakon, lesung batu dan susunan batu bertonjol yang disebut kenong. Peninggalan megalitik ini tersebar cukup luas dan meliputi beberapa desa sekaligus! Terutama di Desa Kemuningan, Tlogosari, Gerahan, Meraan dan Pakauman. Luas sebarannya dapat memberikan gambaran betapa besar dan rumitnya komunitas yang dulu pernah tinggal di situ.
Kubur batu atau pandhusa, merupakan bangunan megalitik yang khas ditemukan di daerah ini. Bentuknya merupakan perpaduan antara peti kubur (sarkopagus) dan tumpukan batu. Bangunan ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian wadah dan tutup. Bagian wadah terbuat dari sejumlah lempengan batu yang disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai peti yang terbuka bagian atasnya. Pada salah satu sisi peti itu dibuat lubang yang menyerupai ambang pintu yang tepat di depannya diberi susunan batu sehingga membentuk suatu lorong kecil. Penutup pandhusa dibuat dari sebuah batu yang lebih besar, yang dibentuk serupa setengah bola yang lonjong, atau dibentuk agak persegi dengan bagian dasar lebih lebar sehingga menyerupai sebuah topi.
Bangunan batu lainnnya adalah susunan batu yang memiliki bentuk menonjol, serupa alat musik kenong dalam khazanah gamelan Jawa di masa kini. Batu kenong memiliki bentuk dasar menyerupai tabung, bagian atasnya agak meruncing dan tumpul. Batu-batu ini umumnya disusun dalam suatu tatanan tertentu – kebanyakan membentuk persegi empat, oleh karena itu sering ditafsirkan sebagai umpak penopang tiang bangunan. Untuk mengungkapkan kehidupan masyarakat megalitik di daerah itu, serangkaian penelitiandilakukan van Heekeren pada tahun 1929-1932 dan dilanjutkan Willems pada tahun 1938. Penelitian itu memastikan, pandhusa dan sarkopagus memang digunakan untuk penguburan.
Di dalam kubur itu disertakan pula bekal kubur berupa periuk, gigi binatang, manik-manik, besi dan keramik Cina dari abad ke 9 Masehi. Penggalian pada susunan batu kenong memberikan hasil yang tidak jauh berbeda, yakni ditemukan gigi binatang, pecahan gerabah, manik-manik, batu pemukul, gelang besi, dan fragmen (pecahan) alat besi yang ditafsirkan sebagai sejenis mata pahat. Temuan-temuan sejenis juga didapatkan dalam penggalian oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1983. Selain itu ditemukan pula di dekat susunan batu kenong, sebuah fragmen alat besi yang diduga adalah mata bajak. Bentuk fragmen besi hasil penggalian Willems tidak berbeda jauh dengan mata bajak yang ditemukan, sehingga mungkin saja alat besi itu bukan mata pahat tapi juga mata bajak. Hasil penelitian itu menunjukkan, pendukung kebudayaan megalitik di Bondowoso merupakan suatu komunitas yang kompleks. Temuan bangunan megalitik dan umpak-umpak batu membuktikan mereka sudah hidup menetap.
Tampaknya, mereka sudah melakukan kegiatan pertanian yang intensif, dibuktikan oleh temuan mata bajak dari besi. Bajak diperlukan untuk mengolah tanah yang tidak punya cukup waktu untuk memulihkan zat hara secara alami, misalnya karena segera akan ditanami kembali. Pemakaian bajak di daerah Bondowoso sekitarnya, pada lahan yang merupakan bekas hutan musiman atau sabana, memerlukan perhitungan yang masak. Jika ditetapkan dengan kurang benar justru dapat mengakibatkan kerusakan tanah. Rupanya, pengolahan tanah dengan bajak telah dikuasai dengan benar oleh masyarakat megalitik di Bondowoso saat itu, nyatanya mereka tetap dapat hidup dengan cara bercocok tanam seperti itu hingga Jawa memasuki masa sejarah, setidaknya sampai abad ke 9 atau lebih. Ini tentu karena mereka mampu mengelola sumber pangan yang dapat diandalkan dengan penguasaan cara pertanian yang baik.
Penerapan cocok tanam yang intensif oleh masyarakat prasejarah di Jawa Timur dapat dibuktikan juga dengan temuan batu pemukul. Batu pemukul ini berbentuk persegi dengan panjang sekitar 8 cm dan lebar 2,5 cm. Pada alat batu itu tertanam goresan-goresan seperti kolom yang diisi dengan beberapa lubang kecil, tiap kolom dan lubang memiliki jarak tertentu yang menunjukkan adanya suatu algoritma yang direkam pada batu itu. Para arkeolog menduga, batu pemukul itu sebenarnya memiliki fungsi untuk menghitung musim, dan bukan perimbas. Selain itu, ditemukannya pula tulang-belulang hewan di sekitar pandhusa dan batu kenong menunjukkan adanya pemeliharaan ternak sebagai pendukung cocok tanam yang intensif. Ternak dimanfaatkan tenaganya untuk menarik bajak, mengangkut hasil panen, dan digunakan kotorannya untuk pupuk, selain dipersembahkan dalam acara-acara ritual mereka.
Adanya beragam bentuk kubur, dengan bekal yang bermacam-macam pula, menunjukkan kompleksitas kehidupan religi danorganisasi sosial dari masyarakat prasejarah di Jawa. Masyarakat megalitik umumnya melakukan berbagai kegiatan ritual untuk memuja arwah nenek moyang. Kehidupan mereka sehari-hari diwarnai dengan upacara-upacara yang pada dasarnya bertujuan untuk memohon berkah dari para leluhur agar mereka hidup sejahtera. Upacara-upacara ini erat dikaitkan dengan berbagai fenomena kekuatan alam, seperti matahari terbit dan terbenam, gerhana bulan, badai, petir dan letusan gunung berapi, atau dengan unsur-unsur alam yang dominan, seperti sungai yang besar, gunung yang menjulang atau pohon-pohon yang besar. Melalui upacara-upacara itu mereka mengharapkan agar apa yang mereka miliki, terutama tanah dan ternak, memberikan hasil yang sebaik-baiknya.Hal ini sebenarnya menunjukkan ketergantungan masyarakat megalitik di Jawa pada sektor agraria. Keadaan ini pada gilirannya akan mendorong munculnya organisasi sosial yang lebih rumit daripada masyarakat yang mengandalkan pertanian ladang berpindah.Pengaturan akan hak pemilikan dan pengolahan tanah serta perolehan hasilnya menjadi penting, sehingga di dalam masyarakat itu muncullah lapisan sosial. Pemusatan kepemilikan akan memunculkan suatu kelompok elite yang akhirnya menjadi kelompok pemimpin.
Untuk melegitimasi kedudukan di dalam masyarakat, kelompok ini akan mengadakan pesta pesta jasa (honour feastings) dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik beserta upacara korban. Upacara-upacara tadi dilaksanakan secara teratur dan akibat dari meningkatnya aktifitas religi akhirnya memunculkan para pemimpin upacara yang biasanya sekaligus menjadi perantaraantara masyarakat dan leluhur mereka. Sementara itu, kebutuhan akan peralatan dan teknologi yang makin maju, antara lain untuk mendirikan bangunan megalitik dan menyediakan peralatan logam, yang memerlukan ketrampilan tertentu, menghadirkan kelompok perajin. Semuanya itu menyebabkan suatu struktur sosial yang teratur sangat diperlukan. Oleh karena itu dapat dikatakan, di sekeliling bangunan megalitik sebenarnya terdapat komunitas-komunitas prasejarah yang memiliki susunan kemasyarakatan kompleks.
Masyarakat prasejarah yang kompleks tidak hanya ditemui di Bondowoso, namun juga di Cepu, Bojonegoro, Tuban, bahkan di Pacet, Mojokerto. Berbagai peninggalan megalitik, yang berujud kubur-kubur dari peti batu, selain tulang belulang manusia ditemukan bersama-sama hasil penggalian arkeologi yang mendapatkan manik-manik, berbagai jenis gerabah, perhiasan dari emas, alat perunggu dan besi, keramik dari Cina serta tulang dan geligi binatang. Sayang sekali, penelitian di Cepu, Bojonegoro, Tuban dan Pacet masih belum dapat memberikan gambaran yang rinci mengenai keadaan masyarakat yang meninggalkan temuan-temuan tersebut. Selain sejumlah kubur dari peti batu, sejumlah batu tegak dan batu datar dengan lubang-lubang mirip alat permainan dakon, penelitian yang lebih mendalam masih perlu dilakukan. Namun, jika ditilik dari kemiripan bentuk tinggalan arkeologis yang ditemukan, serta lingkungan fisik di mana situs-situs itu berada, tampak corak kehidupan dari masyarakat megalitik di lokasi-lokasi tersebut tidak berbeda jauh dengan kehidupan prasejarah di Bondowoso.
Alhasil dapat dikatakan, tatanan kehidupan pada masyarakat megalitik di sepanjang poros yang menghubungkan Cepu, Bojonegoro, Tuban, Pacet hingga Bondowoso, merupakan suatu corak kehidupan yang pernah dominan di Jawa Timur, bahkan sangat mungkin meliputi seluruh Pulau Jawa pada masa prasejarah. Salah satu peninggalan megalitik yang cukup menonjol di luar lengkung yang membentang dari Cepu, Bojonegoro, Tuban, Pacet hingga Bondowoso, terletak di Gunung Padang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pada situs megalitik ini dapat dilihat bahwa 2.500 hingga 1.500 tahun sebelum Masehi, telah berkembang budaya megalitik yang cukup maju. Gunung Padang sendiri merupakan perbukitan terjal dengan ketinggian sekitar 1.000 m. Pada awal masa Miosen (sekitar 38 juta tahun lalu), Gunung Padang masih merupakan laut. Secara bertahap mengalami pembentukan menjadi suatu dataran dari batuan beku hasil letusan gunung berapi (andesit). Situs megalitik Gunung Padang terdiri atas bangunan berundak-undak yang berukuran panjang 118 meter dan lebar 40 meter, pada teras pertama. Bangunan itu terdiri dari lima tingkatan, yang makin meninggi makin luasnya menyempit. Teknik penyusunan serta bentuk batu-batunya yang digunakan mirip dengan bangunan berteras serupa di wilayah Samudera Pasifik yang disebut marae.
Struktur bangunan berteras dengan susunan batu besar juga ditemui di kawasan timur Indonesia. Rumah adat baileo di Maluku didirikan pada tanah yang ditinggikan, dan berfungsi sebagai tempat pertemuan warga. Umumnya bangunan itu juga dilengkapi suatu tahta batu yang diletakkan di dekat salah satu penjuru rumah.
Hari Sukendar memperkirakan bangunan itu kemungkinan merupakan suatu tempat berkumpul para pemimpin masyarakat dalam memutuskan suatu perundangan atau aturan-aturan yang harus dipatuhi masyarakat saat itu. Hal ini didasarkan pada studi analogi etnografi di Nias dan Flores, Timor Barat. Teras-teras yang lebih tinggi digunakan dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan pemujaan arwah. Penempatan dan perekayasaan batu andesit tersebut jelas dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam arsitektur prasejarah, karena kemungkinan bangunan itu runtuh sangat besar jika dibangun tanpa keahlian. Demikian, jelaslah di Cianjur, Jawa Barat, pernah berkembang suatu komunitas masyarakat megalitik yang “relatif maju” jika ditilik dari kemampuan mereka untukmelaksanakan rekayasa konstruksi. Komunitas demikian pastilah ditumpu oleh suatu system sosialkemasyarakatan yang mantap, karena sumberdaya yang digunakan untuk membangun suatu kompleks megalitik, pastilah besar.
Pola kehidupan yang menetap, dengan mengolah lahan pertanian secara intensif, merupakan cara adaptasi terbaik yang dipilih masyarakat prasejarah di Jawa dalam menghadapi desakan kebutuhan pangan. Beberapa serpihan dari mata bajak yang ditemukan menunjukkan, pengolahan lahan sudah dilakukan dengan teratur dan disertai perhitungan yang sesuai musim. Cukup banyak pakar berpendapat, tidak tertutup kemungkinan jaringan irigasi yang teratur beserta organisasi sosial yang mendukung pengelolaannya telah diterapkan di Pulau Jawa sejak zaman prasejarah.
Tukar menukar barang sudah berlangsung, termasuk dengan orang-orang dari tanah seberang. Kelebihan hasil pertanian dan ladang ditukar dengan benda-benda yang tidak dapat mereka hasilkan sendiri,seperti bahan logam (khususnya besi), manik-manik, dan juga keramik (pada masa-masa yang lebih kemudian). Melalui cara hidup seperti itulah masyarakat di Jawa dapat mempertahankan keseimbangan sistem budayanya, mempertahankan suatu ekuilibrium dinamis, sehingga kehidupan semacam itu dapat berlangsung cukup lama. Masuknya Jawa ke dalam masa sejarah, ternyata tidak membawa perubahan berarti dalam sistem pertanian.
Masa Sejarah – Pembentukan Kekuasaan Raja yang Lamban
Pulau Jawa memasuki babak sejarah setidaknya lewat para pengelana India sejak abad pertama Masehi telah melawat negeri ini. Bahkan diberi nama yāvadvipa yang kurang lebih berarti tanah jewawut atau padi.
Selain beberapa kutipan yang kabur, teks-teks dari sastra India adalah petunjuk paling awal mengenai penamaan Pulau Jawa. Dalam kisah Ramayana disebut yāwadvipa, nama untuk Pulau Jawa yang disanskertakan, demikian pula dalam Niddesa, sebuah teks kanonik berbahasa Pali yang pasti berasal dari abad-abad pertama tarikh Masehi, disebut pelbagai nama tempat yang kemungkinan berada di Asia Tenggara. Demikian hasil penelitian sastra India oleh S. Lévi, Pour l’histoire du Ramayana (1918) dan “Ptolémée, le Niddesa et la Brihatkath” dalam Etudees Asiatique, EFEO II (1925).
Walau telah dikenal sejak abad pertama, Jawa baru diketahui seluk-beluk masyarakatnya, atau dikatakan benar-benar mengalami masa sejarah, setelah kerajaan-kerajaan kecil bermunculan sebagai akibat pengaruh indianisasi. Pengaruh kebudayaan India pada hakikatnya hanya mampu menembus menerobos kehidupan keagamaan, dengan dianutnya agama Hindu dan Budha oleh beberapa kelompok masyarakat, khususnya para elite yang saat itu menguasai perniagaan hasil bumi, yang kerap bergaul dengan para pedagang India. Mereka meminjam nama-nama, ungkapan-ungkapan, dan secara lebih luas, bahasa dari India untuk dipakai di lingkungan mereka. Menurut van Naerssen dan de Iongh, struktur birokrasi dari kerajaan-kerajaan (Hindu) mula-mula di Jawa sebenarnya berakar dari kelembagaan adat pra-Hindu. Sebelum kedatangan agama Hindu, sudah ada dua lembaga adat yang mengatur kehidupan masyarakat desa, yakni pada tingkat desa (wanua) yang dipimpin seorang patron atau tetua desa (raka), serta federasi dari raka-raka yang membentuk suatu simbiose.
Prasasti-prasasti pertama yang ditemukan di Jawa berasal dari Pasundan sebelah utara, dekat Jakarta dan Bogor, serta sedikit ke arah barat, di Lebak. Jumlahnya lima buah dan membentuk suatu rangkaian yang dapat diperkirakan berasal dari zaman yang sama. Prasasti itu dibuat dalam bahasa Sansekerta dan ditatah di atas batu besar dengan huruf Pallawa, yang dapat memberikan perkiraan pembuatannya adalah sekitar abad ke 5. Disebutkan keberadaan sebuah kerajaan bernama Tārūma dengan raja bernama Pūrnnawarmmā, yang dipuji karena menjadi pengikut setia Dewa Wisnu.
Atas perintahnya, digali sebuah saluran di daerah Tugu – tidak jauh dari lokasi yang kini menjadi Pelabuhan Tanjungpriok. Prasasti-prasasti dengan dua sampai lima barisan tulisan ini menjadi bukti pertama dari masuknya Jawa ke dalam masa sejarah. Peristiwa-peristiwa di tanah Pasundan yang direkam dalam prasasti-prasasti ini tidak dilanjutkan sampai munculnya prasasti lain pada abad ke 14. Proses pembentukan kerajaan dan kebudayaan Jawa, muncul justru di wilayah Jawa Tengah dan Timur kurang lebih 3 abad setelah prasasti Raja Pūrnnawarmmā.
Prasasti-prasasti dari Jawa Tengah yang muncul dari awal abad ke 8, mengungkapkan tentang tumbuhnya sejumlah penguasa setempat, yang disebut raka atau rakryan, yaitu penguasa yang telah berhasil menguasai sejumlah wanua atau komunitas pertanian. Para raka atau rakryan ini berusaha meningkatkan prestise mereka dengan membangun berbagai tempat pemujaan. Dari prasastiprasasti itu dapat diketahui, di Jawa Tengah sedang berlangsung proses penyatuan (integrasi) yang untuk ukuran zaman itu, terbilang cukup maju. Sejumlah wanua yang masing-masing dipimpin rama, tampaknya telah mengelompokkan diri dalam federasi-federasi regional atau yang disebut watak yang dipimpin seorang raka. Misalnya, rakai Pikatan berarti “penguasa dari Pikatan.” Para raka tampaknya berada dalam situasi yang mirip dengan apa yang dialami kelompok pemimpin pada zaman megalitik di Jawa, karena untuk melegitimasi kedudukan mereka di dalam masyarakat, kelompok elit ini mengadakan pesta-pesta jasa (honour feastings) untuk memelihara stabilitas kekuasaan mereka. Kerap kali, mereka membuka tanah untuk dianugerahkan kepada komunitas Hindu atau Buddha – yang sebaliknya akan menganugerahkan kepada mereka berbagai gelar simbolis yang meningkatkan gengsi sang raka. Ketika hubungan jasa ini semakin melembaga, para raka pun semakin berusaha menyenangkan hati komunitas-komunitas keagamaan, dengan membangun berbagai tempat pemujaan secara besar-besaran, seperti hal Candi
Borobudur, Pawon dan Mendut. Agaknya beberapa wangsa raja pernah saling berhadapan, bersaing secara geografis.
Sayang sekali batas wilayah dari para raka tidak diketahui secara persis. Di luar para raka yang tidak diketahui, dapat disebut wangsa Sanjaya sebagai wangsa yang paling cemerlang sebab pendirinya adalah raka di Mataram, wangsa Walaing dari daerah di sekitar Candi Ratu Baka (dekat Yogyakarta), wangsa Śailendra dan akhirnya, wangsa Patapan.
Pada abad ke 9, tanah Jawa untuk pertamakali disatukan. Seorang penguasa bernama Śri Maharāja Rakai Kayuwangi, yang telah mengeluarkan sejumlah prasasti antara tahun 873 hingga 882, menyatakan diri sebagai satu-satunya raja yang berhak memberikan anugerah. Sehingga dapat disimpulkan ia adalah penguasa tertinggi di dalam federasi dari raka-raka di Jawa saat itu. Penggantinya, Dyah Balitung, raka di Watukura, memperkokoh keadaan itu dan pada tahun 907 memerintahkan pembuatan prasasti panjang yang menyatakan dirinya keturunan Sanjaya dan menyebutkan pendahulu-pendahulunya yang sah. Salah satu hal penting di dalam inskripsi yang ditinggalkan raja ini adalah menyebutkan Jawa Timur sebagai salah satu wilayah kekuasaannya.
Sampai saat itu, Jawa Timur hanya diketahui dari sejumlah prasasti kecil yang ditemukan terpisah-pisah; dan sedikit peninggalan kecil, berupa Candi Badut, sebuah reruntuhan candi dan sejumlah batu berukir menyerupai perangkat gamelan di Mertojoyo, yang seluruhnya berada di sekitar Kota Malang. Di kemudian waktu, peran Jawa Timur akan menjadi besar sekali. Raja Daksa, Tulodong dan Wawa, yang berkuasa setelah Dyah Balitung, masing-masing dengan masa pemerintahan yang sangat pendek, juga mengeluarkan prasasti-prasasti baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Akan tetapi pada tahun 928, raja Mataram bernama Mpu Sindok memindahkan keratonnya untuk selama-lamanya ke Jawa Timur dan sejak saat itu untuk waktu yang lama tidak ada lagi prasasti dari Jawa Tengah.
Pemindahan pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur banyak dipertanyakan sebabnya; apakah karena rakyat telah kehabisan tenaga untuk membangun berbagai candi megah? Atau, serangan dari negara asing? Ada pula yang mengeluarkan teori bencana alam, gunung yang meletus misalnya, seperti waktu sebuah candi kecil ditemukan di Sambisari, dekat Yogyakarta dalam keadaan terkubur tanah koluvial sampai puncaknya. Apapun sebab perpindahan ini, untuk selanjutnya selama hampir 6 abad lamanya, pusat kekuasaan berada di Jawa Timur, barulah pada abad ke 16 muncul seorang penguasa Jawa Tengah yang berhasil mendirikan “kerajaan Mataram kedua.”
Setelah prasasti terakhir Mpu Sindok, tahun 948, sekitar 70 tahun kemudian baru muncul sebuah prasasti dari Airlangga yang berangka tahun 1021. Dalam sebuah prasasti yang dibuat kemudian, raja dari Jenggala ini menyebut adanya suatu “bencana besar” (pralaya) pada 1016, namun tidak menyebutkan apa bentuknya, kecuali membanggakan diri telah menyelamatkan negeri dari bencana tersebut atas permintaan kaum brāhmana. Para sejarawan menduga, bencana itu terkait dengan letusan gunung berapi (Gunung Kelud) atau banjir yang diakibatkan perubahan morfologi Sungai Brantas.
Airlangga sendiri berayahkan orang Bali, rupanya menempatkan pusat kerajaannya di dekat pantai, di daerah Janggala (sekitar Surabaya atau Sidoarjo pada masa kini).
Setelah Airlangga wafat (1049), pusat kekuasaan di Jawa kembali ke pedalaman. Menurut sastra tradisional, Mpu Bharada – seorang tokoh spiritual – membagi kerajaan itu menjadi dua: Janggala dan Daha. Garis pemisah kedua kerajaan itu merupakan diagonal yang membelah daerah pengaliran Sungai Brantas tepat menjadi dua. Hal ini menunjukkan kekayaan alam suatu daerah pengaliran sungai adalah aset strategis yang diperlukan kedua kerajaan tersebut.
Surutnya Janggala setelah Airlangga, digantikan kemajuan Daha di pedalaman Jawa Timur, tepat di jantung DPS Kali Brantas. Kekuasaan di Jawa Timur pun berpindah pusatnya, dari pesisir menuju pedalaman, tepat di pusat Kerajaan Daha sekitar Kadiri (yang kini disebut kota Kediri). Daha mengalami kejayaannya antara 1059-1205 dan terkenal sampai mancanegara. Raja-raja yang memerintah Kadiri ini umumnya mengaku sebagai titisan Dewa Wisnu, dan dari kekayaan sastra yang mereka tinggalkan tampak mereka adalah pelindung kebudayaan. Selain itu, mereka tetap memelihara hubungan baik dengan Pulau Bali – dari mana Airlangga berasal. Berkat kesusasteraan itu pula kita dapat memahami bagaimana sesungguhnya kehidupan masyarakat di Jawa saat itu dan itu pula yang akhirnya melengkapi informasi-informasi pendek pada prasasti-prasasti. Pada pokoknya, di sekeliling raja terdapat kelompok bangsawan yang memakai gelar pańji dan mengembangkan budaya yang sangat maju, halus, bahkan piawai. Naskah sastra kaya dengan perlambang atau sindiran yang memiliki artian ganda. Pemakaian candrasangkala menyebar, yakni pengungkapan angka tahun dengan kata-kata khas yang masing-masing memiliki nilai angka. Dikenal pula jenis “tulisan persegi dari Kediri” yang pembacaannya sulit karena semua aksara berbentuk bujur sangkar (atau lebih tepat persegi empat) dengan perbedaan-perbedaan yang sangat kecil antara satu dengan lainnya.
Masyarakat di Kadiri hidup dalam keadaan aman dan damai. Hal ini terlihat dari berita negeri Cina yang menyebutkan mata pencaharian penduduk adalah bercocok tanam dan orang bekerja di sawah dengan rambut terurai. Rumah-rumah yang dihuni, tertata bersih dan rapi, berlantai ubin berwarna hijau dan kuning. Tiap bulan ke lima pada bulan palguna çaitra diadakan pesta air di Sungai Brantas dan banyak orang berperahu dengan gembira.
Sesudah prasasti terakhir dari Kerajaan Kadiri yang dikeluarkan pada tahun 1205, sekitar 60 tahun kemudian, pada tahun 1264 muncul prasasti pertama seorang raja berikutnya, yang memerintah di Singhasari (lebih ke timur letaknya, di sebelah utara Kota Malang). Namun kali ini peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara kedua prasasti dapat diketahui berkat teks-teks sastra, seperti Nagarakertagama (syair panjang yang ditulis pada tahun 1365) dan Pararaton atau “kitab para raja” (sebuah prosa yang dikarang pada awal abad ke 16).
Kisah itu justru dimulai dari cerita mengenai Kén Angrok yang telah diangkat menjadi raja dengan gelar penobatan: Rajasa. Ia menggulingkan wangsa Kadiri pada tahun 1222 dan mendirikan kerajaan baru berpusat di Singhasari. Sambil mengembangkan sektor pertanian – yang maju karena tanah di situ subur serta cukup tersedia air – ia tetap waspada terhadap negeri Jenggala yang terbuka ke arah laut itu. Raja Singhasari yang terbesar adalah Kertanegara (memerintah 1286-1292) yang seperti kita ketahui, menjalankan suatu politik luar negeri yang sesungguhnya. Sesudah serangan Cina-Mongol pada tahun 1292-1293 yang merupakan suatu trauma dahsyat bagi seluruh wilayah, seorang pangeran bernama Radén Wijaya, yang mengaku keturunan Rajasa dan telah menikahi anak Kertanegara, berhasil memulihkan kerajaan dan memakai gelar penobatan sebagai Kertarajasa. Dia mendirikan pusat kerajaan di Trowulan, lebih ke pedalaman dari Jenggala, yang kini termasuk daerah Mojokerto dan menamai kerajaannya Mojopahit.
Puncak kejayaan Mojopahit dan kekuasaan raja-raja Jawa baru dicapai dalam pengertian pada abad berikutnya, khususnya pada pemerintahan Hayam Wuruk (atau Rajasanagara, memerintah pada 1350-1389). Bagaimana pun juga informasi paling memadai mengenai periode ini adalah dari Nagarakertagama selain sejumlah teks tambahan yang ditemukan terpisah-pisah sebagai bagian kesastraan Jawa saat itu. Kemasyhuran Jawa kemudian menyebar hingga ke luar pulau, tidak hanya berkat administrasi pemerintahan Mojopahit yang kuat, atau angkatan perangnya (di bawah jenderal terkenal, Gajah Mada), namun lebih karena keberhasilan spasial menata suatu wilayah secara ekonomi, yang ternyata memberi hasil optimal.
Budaya Pertanian di Jawa
Gambaran mengenai budaya pertanian di Jawa sebelum kehadiran teknologi bercocok tanam modern oleh para kolonialis Eropa, hanya diketahui dari beberapa sumber data yang sangat terbatas, seperti prasasti, karya sastra Jawa Kuno, relief, baik yang bersifat artefaktual maupun tidak. Di antara sumber-sumber data tersebut, prasasti, karya sastra dan relief merupakan data yang cukup penting untuk merekonstruksikan budaya pertanian di Jawa.
Ada beberapa prasasti yang ditemukan di Jawa Timur yang dapat mengungkapkan kehidupan pertanian dari masa sejarah sebelum kehadiran sistem pertanian modern sebagaimana dianut sekarang. Beberapa prasasti tersebut adalah: Kwak I 879 M, Ngabean V (disebut juga Ra Tawun I) 883 M, Kamalagi 831 M, Watukura I 902 M, Harinjing 921 M, Bakalan (disebut juga Wulig) 934 M, Kamalagyan 1037 M, Prasasti Kandangan 1035 M, dan Trailokyapuri 1468 M.
Dari sumber prasasti-prasasti tersebut terdapat keterangan yang berhubungan dengan kehidupan pertanian, antara lain mengenai jenis-jenis pertanian, pejabat yang mengurusi soal pertanian, pajak-pajak pertanian, serta usaha-usaha yang dilakukan penguasa dalam memajukan sektor tersebut. Bahkan ada pula prasasti yang memuat keterangan mengenai proses bertani padi, mulai dari mengolah padi, mulai mengolah tanah, menyebar benih, menanam, menuai dan mengolah hasil pertanian. Keterangan yang serupa juga diperoleh dari karya-karya sastra Jawa Kuno. Sumber-sumber ini mencakup Kakimpoi Ramayana, Kitab Tantu Panggelaran, Kitab Arjunawiwaha, Sutasoma dan Pararaton. Keterangan lain yang melengkapi tentu adalah relief-relief, yang merupakan “foto” yang mengabadikan kehidupan pada masa lalu.
Berbicara mengenai jenis-jenis pertanian pada dasarnya dapat dibedakan menjadi: pertanian lahan kering dan lahan basah. Pertanian lahan kering adalah usaha bercocok tanam yang dilakukan pada tanah tegalan, di ladang atau kebun, sedangkan pertanian lahan basah adalah usaha bercocok tanam di lahan yang terendam air (sawah). Dari sumber sejarah, diketahui bahwa kedua jenis pertanian ini dikembangkan di Jawa. Jenis pertanian lahan kering lebih dulu dikenal, mungkin pada cocok tanam slash and burn yang dimulai sejak nenek moyang orang Jawa bermukim di pulau ini lebih dari 3.000 tahun lalu. Sedangkan bercocok tanam lahan basah dikenal setelah arus pendatang yang disebut kaum deutero-Melayu dari Taiwan dan Cina Selatan datang lewat laut ke Pulau Jawa, sekitar 1.000 sampai 3.000 tahun lalu.
Jenis-jenis tanaman yang dapat dibudidayakan di lahan kering berupa ladang (tegalan) jumlahnya lebih bervariasi. Tanaman di tegalan dapat menghasilkan tanpa adanya sistem pemberian air, irigasi atau pengairan, umumnya meliputi jenis umbi-umbian dan biji-bijian, termasuk jenis tanaman padi gaga (padi kering). Salah satu prasasti yang pertama kali menyebut adanya tanaman padi kering ini adalah Prasasti Watukura I 902 M. Jenis pertanian lahan kering lainnya adalah pertanian di kebun. Jenis pertanian di kebun ini dibedakan dari tegalan karena perbedaan letak.
Ladang atau tegalan letaknya terpisah dari tempat hunian (perumahan), sedangkan kebun adalah letaknya berdekatan dengan tempat hunian. Oleh karena itu, ladang biasanya lebih terbuka, sedangkan kebun lebih banyak ditumbuhi jenis tanaman peneduh dan atau sayur mayur. Kitab Arjunawiwaha, Pupuh 20 dan 21 menyebutkan di sekitar sebuah pertapaan ditanam buah kapundung (kepundung atau Baccaurea racemosa), duryan (durian atau Durio zibethinus Murr.), langsep (duku atau Lansium domesticum Corr.) dan pisang (Musa paradisa).
Di samping jenis pertanian kering seperti yang diuraikan di atas, masyarakat Jawa pada zaman dulu juga mengenal jenis pertanian basah (sawah). Jenis ini dihubungkan dengan penanaman padi. Oleh karena penamanan padi dengan cara basah ini memerlukan air, maka sistem pertanian lahan basah dilakukan dengan memberikan air (irigasi). Berdasarkan pengairan, pertanian padi di sawah dapat dibedakan menjadi sawah sorotan dan sawah tadahan. Sawah sorotan mendapatkan air dari sumber mata air atau sungai. Sawah tadahan menerima air dari hujan. Selain dua jenis sawah tersebut di dalam sumber-sumber prasasti sering ditemukan istilah renek atau rawa, yang berarti penanaman padi yang dilakukan pada lahan berupa rawa-rawa.
Dalam beberapa prasasti yang ditemukan di Jawa, terdapat petunjuk adanya keterlibatan penguasa kerajaan dalam memajukan kegiatan bidang pertanian tersebut, terutama dalam hal turut menyediakan sarana pengairan. Usaha-usaha yang dilakukan penguasa mencakup pembuatan tanggul, waduk, bendung, saluran air dan lain-lain. Hal ini dinyatakan antara lain dalam Prasasti Harinjing 921 M, Bakalan (Wulig) 934 M, Kamalagyan 1037 M, Kandangan 1272 M dan Trailokyapuri 1486 M. Pada Prasati Harinjing disebutkan Kerajaan Mataram Kuno menganugerahkan pembebasan pajak kepada masyarakat yang dipimpin Bhagawanta Bhari atas jasanya membangun sebuah bendung di Sungai Serinjing, Jawa Timur.
Usaha yang sama juga dilaporkan Prasasti Kamalagyan, yang menceritakan bahwa pengendalian Sungai Brantas yang hampir tiap tahun menimbulkan ancaman banjir bagi para petani. Untuk mengendalikannya dibangunlah tanggul-tanggul oleh Raja Airlangga.
Sementara itu Prasasti Kandangan menceritakan pembangunan sebuah bendung (dawuhan) oleh Bhatara Matahun. Sedangkan Prasasti Bakalan (Wulig) menceritakan pembangunan suatu sistem irigasi untuk mengairi sawah-sawah di daerah Kapulungan, Wuatan Wulas dan Wuatan Tanya. Pembuatan sistem irigasi ini diperintahkan oleh Rakryan Bini Haji Rakryan Mengibil.
Berbicara mengenai teknologi pertanian, bukti-bukti sejarah seperti prasasti, karya sastra dan relief menunjukkan keberadaan pelbagai alat yang digunakan mengolah tanah, seperti cangkul, bajak dan garu. Meskipun artefak dari ketiga jenis alat itu belum ditemukan, tetapi penggunaan alat-alat tersebut dapat dibuktikan dari sumber prasasti, karya sastra dan relief.
Mengenai alat cangkul, buktinya ditemukan pada Prasasti Kembangarum 902 M dan Poh 905M. Prasasti Kembangarum mencatat sejumlah alat pertanian yang digunakan untuk upacara penetapan sima (tanah bebas pajak), berupa: wadung, kapak, petel, alat penusuk, linggis, cangkul, trisula dan pisau. Alat cangkul dapat dideskripsikan secara etnografis, terdiri atas dua bagian yakni ujung cangkul (pacul) dan tangkai (doran). Ujung cangkul atau pacul terdiri atas suatu lempengan dari bahan logam – umumnya besi – di mana bagian yang tajam disebut tajaman menyatu dengan bagian belakang yang tumpul (bawak). Bagian belakang ini diberi lubang untuk memasukkan doran.
Cara memasang doran sangat tergantung pada kondisi tanah yang dikerjakan, pada tanah yang gembur dan lunak umumnya digunakan cangkul yang doran-nya dipasang dengan sudut kemiringan yang cukup tajam bila dibandingkan cangkul untuk lahan yang kering dan keras. Pada daerah yang tanahnya kering dan keras dikembangkan jenis cangkul dengan doran yang dipasang tegak atau nyaris tegak lurus terhadap pacul.
Jenis pengolah tanah lain adalah bajak, yang disebut luku. Pada salah satu panel relief yang dipahat pada Candi Borobudur terdapat gambar seorang petani mengolah tanah dengan bajak yang ditarik lembu. Dari relief itu dapat diketahui adanya bagian-bagian bajak, yakni singkal, buntut, racuk dan pasangan. Bagian singkal merupakan bagian utama dari bajak yang membelah tanah, bagian ini terdiri atas bantalan, sumingkir dan kejen. Bagian bantalan dan sumingkir terbuat dari kayu sedangkan kejen adalah serupa tajaman pada cangkul, terbuat dari bahan logam. Bagian bantalan dibuat rata, sedangkan sumingkir berbentuk cekung dan miring ke arah kanan – untuk memindahkan tanah yang dibelah bajak tersebut. Sedangkan kejen berbentuk seperti kapak berujung runcing dengan maksud memudahkan proses pembelahan tanah yang dilalui bajak. Tanah yang telah ditembus kejen akan terangkat ke atas dan ditahan bagian bidang sumingkir, karena bajak ditarik maka tanah yang tertahan tadi akan terangkat dan jatuh terbagi dua ke kiri dan kanan.
Bagian lain dari bajak adalah racuk dan buntut. Bagian racuk dihubungkan langsung dengan singkal, terbuat dari kayu dan berfungsi untuk menarik singkal. Alat ini berbentuk memanjang, dengan bagian pangkal melengkung dan pada ujungnya dipasang kayu menyilang yang dinamakan olang-aling, yang merupakan pengikat pasangan. Bagian pasangan adalah bagian yang diikatkan pada leher hewan penarik bajak, bagian ini dapat sekaligus digunakan untuk mengendalikan hewan tersebut. Adapun bagian buntut merupakan ujung bajak yang berada di belakang singkal, dan berfungsi sebagai pelengkap untuk mengendalikan bajak tersebut.
Dari relief pada Candi Borobudur diketahui, racuk yang digunakan hanya satu, ini berarti mata bajak itu hanya sebuah namun ditarik dua hewan sehingga bagian pasangan-nya ganda. Data etnografi dari daerah lain memberi petunjuk, masyarakat petani tertentu juga menggunakan bajak dengan racuk ganda, artinya ada dua mata bajak yang digunakan sekaligus.
Tahap pertama yang dilakukan petani Jawa dalam bercocok tanam adalah amabaki, yaitu membersihkan tanah garapan dari rerumputan atau sisa tanaman lama. Pekerjaan berikutnya setelah amabaki adalah amaluku, yakni membajak mencangkul. Kedua tahap ini direkam dalam Prasasti Songan Tambahan.
Tahap selanjutnya setelah membajak adalah manggaru. Keterangan mengenai tahap ini ditemukan antara lain dalam Kitab Arjunawiwaha. Kegiatan ini merupakan lanjutan setelah membajak atau mencangkul, di mana bongkahan tanah hasil pembajakan atau pencangkulan, dihancurkan dengan cara menggaru. Dalam pertanian tradisional, pekerjaan menggaru dikenal dengan istilah angler. Pekerjaan angler ini dilakukan setelah tahapan mbedah, nglawet atau nrojoli, yang merupakan proses pencangkulan ulangan sebanyak dua kali untuk menghasilkan tanah yang bersifat remah.
Tahap selanjutnya setelah tanah selesai diolah adalah menanam, yang juga disebut atanam atau atandur. Perlu dijelaskan di sini, tahap pekerjaan ini sebenarnya telah didahului proses penyiapan benih tanaman. Umumnya para petani telah menyiapkan sepetak tanah untuk persemaian benih dari tanaman yang akan dibudidayakan. Sambil menunggu benih ini tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam, petani melakukan pengolahan tanah. Gambaran mengenai persemaian bibit ini ditemukan pula pada relief peninggalan dari zaman Kerajaan Majapahit, bahkan dari Kitab Arjunawiwaha diketahui proses penyiapan benih ini disebut angurit.
Setelah bibit tanaman cukup umur untuk dipindahtanam ke tanah yang telah dipersiapkan, dilakukan pekerjaan ndhaut yaitu mencabut bibit yang siap tanam. Penanaman bibit ini disebut oleh sumber-sumber tertulis sebagai atanam atau atandur. Berdasarkan relief yang ditemukan di Trowulan, Jombang maka penanaman padi misalnya, dilakukan dari muka ke belakang atau berjalan mundur. Hal ini masih dilakukan sampai sekarang. Sesudah tahap menanam maka dilakukan pekerjaan menyiangi, yang disebut mamatuni. Pekerjaan ini dilakukan dengan tujuan membersihkan rumput dan tanaman liar yang dapat mengganggu kesuburan di sekitar tanaman padi. Pekerjaan mamatuni termasuk salah satu cara memelihara tanaman padi, selain pemupukan dan pemberantasan hama penyakit.
Tahap pekerjaan setelah menanam dan menyiangi adalah menuai, bila tanaman tersebut telah berbuah. Pada tanaman padi, penuaian ini dilakukan dengan memotong tanaman pada pangkalnya menggunakan sebentuk pisau yang disebut ani-ani. Bukti penggunaan alat ini terdapat pada Prasasti Songan Tambahan yang menyebut kata ahani untuk pekerjaan memotong padi. Gambaran menuai padi pada masa lalu di Jawa dapat dilihat pada relief yang ditemukan di Candi Rimbi. Kegiatan selanjutnya adalah adalah menumbuk dan menyimpan padi.
Pada Candi Borobudur terdapat suatu relief yang menggambarkan orang sedang mengemasi padi yang telah dituai. Relief tersebut menunjukkan cara yang sama dengan yang dilakukan masyarakat petani tradisional zaman sekarang. Padi yang telah dituai diikat menjadi unting-untingan yang kemudian saling diikat menjadi satu dan disebut prenthil. Setelah padi dikemas dan dibawa pulang, selanjutnya untuk memisahkan butiran padi dari kulit selubungnya dilakukan pekerjaan menumbuk. Sekali lagi Prasasti Songan Tambahan memberi penjelasan, pekerjaan itu dikenal dengan nama anutu. Pekerjaan ini umumnya dilakukan dengan menggunakan lesung atau lumpang sebagai wadahnya, dan alu atau antan sebagai alat penumbuk.
Bukti pada relief Candi Rara Jonggrang di Prambanan, menunjukkan penggunaan lesung dan alu untuk pekerjaan menumbuk padi.
S. Lévi – Pour l’histoire du Ramayana 1918. S. Lévi – Ptolémée, le Niddesa et la Brihatkath – Etudees Asiatique, EFEO II (1925). Ph. Subroto – “Sektor Pertanian sebagai Penyangga Kehidupan Perekonomian Majapahit” dalam 700 Tahun Majapahit, 1997. Sri Lestari, Jenis Pertanian dan Sistem Irigasi Jaman Kuno, 1984
N.C. van Setten van der Meer, Sawah Culvitation in Ancient Java: Aspects of Development during the Indo-Javanese Period 5th to 15th Century. Faculty of Asian Studies, Australian National University, Canberra.
Post a Comment Blogger Facebook