GuidePedia

Hari ke-140 #TNTrtw

Bila Anda menganggap apply visa Amerika Serikat atau Eropa itu sulit, tunggu sampai Anda apply visa ke negara Bolivia yang tidak memiliki kedutaan di Indonesia. Negara kecil yang hampir tidak terdengar di dunia ini “menggetok” syarat visa bagi WNI yang sungguh tidak masuk akal. Bayangkan, meski sudah berada di Puno, perbatasan Peru-Bolivia, saya tetap harus menyertakan tiket pesawat bolak-balik Indonesia-Bolivia dan reservasi hotel yang sudah dibayar. Harus memiliki surat keterangan kelakuan baik dari polisi Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol tersumpah dan dilegalisir. Harus menyertakan surat keterangan dari dokter di Indonesia yang menyatakan sehat dan tidak membawa penyakit menular, disertakan dengan sertifikat suntik yellow fever – semuanya diterjemahkan dan dilegalisir. Kalau semua dokumen sudah lengkap, maka proses visa ini akan memakan waktu selama 2 bulan dengan membayar USD 135! Gila!

Bukankah dengan makin banyak turis masuk ke suatu negara maka makin baik? Rupanya tidak bagi Bolivia. Memang salah satu ketakutan negara adalah masuknya imigran gelap. Saya yakin cukup banyak (oknum) Warga Negara Indonesia yang tinggal secara ilegal di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Mereka pula lah yang membuat turis biasa yang niat jalan-jalan menjadi lebih sulit dapat visa. Tapi ngapain kita kerja, apalagi ilegal, di Bolivia – negara yang lebih miskin daripada kita?

Ketika saya curhat kepada teman saya asal Eropa mengenai paspor RI yang tidak laku di sebagian besar negara di dunia, ia mengatakan bahwa visa itu sistemnya adalah reciprocal, artinya atas persetujuan kedua negara yang disebut sebagai visa waiver agreements. Bisa jadi pemerintah Indonesia saja yang kurang bernegoisasi dengan negara lain. Saya langsung terhenyak.

Sejak 20 tahun yang lalu saya traveling keliling dunia, daftar negara yang bebas visa bagi pemegang paspor Indonesia tidak banyak berubah. Sekarang hanya nambah Laos, negara tetangga. Kita bisa masuk tanpa visa ke negara-negara anggota ASEAN, kecuali Myanmar. Juga bebas visa ke Hongkong, Macau, dan beberapa negara di Amerika Selatan dan Afrika yang udah pasti jarang banget warga kedua negara saling berkunjung.

Herannya, kita dan Timor Leste yang bekas propinsi RI pun tidak saling bebas visa. WNI yang ke sana di-charge Visa on Arrival USD 30, padahal warga Timor Leste ke Indonesia hanya di-charge USD 25. Wew, “harga diri” kita lebih murah USD 5 dong! Lebih sakit hati lagi, membandingkan puluhan negara yang bisa masuk ke Indonesia hanya dengan Visa on Arrival sementara kita masih tetap “jungkir balik” apply visa sana-sini. Silakan protes kepada saya, tapi bukankah itu artinya negara kita memang inferior?

Ketika saya menyentil hal ini via Twitter, salah seorang pejabat menjelaskan, “Negosiasi untuk visa waiver ini sangat panjang untuk paspor diplomatik, apalagi paspor reguler”. Duh, pernyataan clitoris eh retoris banget! Saya pun membalasnya, “Kok Thailand dan Filipina bisa, kita nggak?”

Ya, saya masih terima bahwa paspor RI sulit apply visa, namun kalau negara tetangga kita bisa, mengapa kita tidak? Tahukah Anda bahwa paspor Singapura dan Malaysia bisa bebas masuk Eropa tanpa visa? Karena mereka memang negara lebih maju, saya “rela”. Namun ternyata pemegang paspor Thailand dan Filipina lebih banyak jumlah negara yang dapat bebas visa daripada Indonesia. Suriname yang nenek moyangnya orang Indonesia, justru paling ribet syarat visanya bagi WNI, padahal pemegang pasport Filipina bisa bebas masuk (WN Suriname bisa masuk Indonesia hanya dengan Visa on Arrival)! Thailand bisa bebas masuk Brazil dan Korea Selatan tanpa visa. Bahkan Vietnam bisa masuk Bolivia hanya dengan Visa on Arrival. Nah lho, salah siapa coba?

Bicara soal reciprocal, saya sangat salut dengan pemerintah Brazil. Mereka memberlakukan peraturan keimigrasian yang menyatakan bahwa warga negara Amerika Serikat wajib membayar visa USD 140/orang untuk masuk ke negaranya karena pemegang paspor Brazil juga dikenakan charge USD 140 untuk masuk ke Amerika Serikat. Teman saya yang warga negara AS menerima kwitansi pembayaran visa Brazil dengan kalimat yang diterjemahkan kira-kira begini “ini adalah bukti pembayaran visamu, karena negaramu juga men-charge visa kepada warga kami”. Inilah reciprocal dalam arti sebenarnya! Hebat bukan?

Argh, saya memang buta dengan hubungan diplomatik antarnegara. Mungkin memang negara-negara yang saya kunjungi tidak ada untungnya bagi pemerintah kita sehingga tidak penting memberikan visa waiver. Saya jadi penasaran sampai saya buka situs Kemenlu. Apa yang saya temui? Di bagian Landasan, Visi, Misi Politik Luar Negeri, salah satu strategi Kemenlu adalah “Memperluas perjanjian bebas visa diplomatik dan dinas dengan negara lain”. Jiaaah… pantesan pemegang paspor hijau milik rakyat biasa nggak digubris, lah yang diurusin paspornya dhewek!

Saya pun mewek karena gagal menjelajahi Salar de Uyuni, dataran garam terluas di dunia, padahal Bolivia sudah membentang di depan mata…


*Edited version dari tulisan ini dimuat di rubrik “Insight” Majalah JalanJalan April 2013.  
 

Beli yuk ?

 
Top