Dalam skema Perang Asimetris yang dilancarkan AS di Indonesia, soal ISIS ini sekadar tebar isu, untuk mengolah kembali perlunya melancarkan Perang terhadap Terorisme di Indonesia, maupun di beberapa negara berpenduduk mayoritas Islam lainnya.
Sekadar informasi, yang dulu diuntungkan dengan adanya proyek ganyang terorisme di Indonesia khususnya sejak 2002 lalu adalah Hendropriyono, yang kala itu Ketua BIN, dan Dai Bachtiar, yang ketika itu Kapolri. Bahkan semasa Dai menjabat Kapolri, dibentuklah Densus 88.
Berdasarkan keterangan di Wikipedia, Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana.
Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28). Undang-undang tersebut populer di dunia sebagai "Anti-Terrorism Act".
Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu.
Selain itu masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit antiteror yang disebut Densus 88, beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas teror di daerah. Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara R.I.
Densus 88 adalah salah satu dari unit antiteror di Indonesia, di samping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror, Detasemen 81 Kopasus TNI AD (Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan antiteror), Detasemen Jala Mengkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL, Detasemen Bravo 90 (Denbravo) TNI AU, dan Satuan Antiteror BIN.
Densus 88 dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Luar Negeri AS (State Department) dan dilatih langsung oleh instruktur dari CIA, FBI, dan U.S. Secret Service.
Dana AS yang mengalir kepada Polri untuk mendirikan unit khusus anti-teror di Indonesia sangat besar, dan setiap tahunnya mengalami peningkatan.Tim Advokasi Forum Umat Islam Munarman mengatakan, berdasarkan dokumen Human Right Watch tentang Counter Terorism yang dilakukan AS, pembentukan Densus 88 di Indonesia pada tahun 2002 didanai AS sebesar 16 juta dollar, dan sebelumnya pada tahun 2001 Polri telah menerima dana untuk penanganan terorisme sebesar 10 juta dollar.
Bahkan dari data-data resmi Departemen Pertahanan, dana untuk penanggulangan terorisme dunia yang dikeluarkan oleh pemerintah AS itu setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada 2007 dananya sebesar 93 milyar dollar, dan untuk tahun 2008 sebesar 141 milyar dollar yang dialokasikan ke seluruh dunia.
Dari paparan faktual tersebut di atas jelaslah sudah bahwa keberadaan Densus 88 tak bisa dilepaskan dari gencarnya kampanye War on Terrorism yang dilancarkan Presiden George W Bush sejak 2001, yang kemudian berdampak pada Indonesia, menyusul terjadinya peristiwa Bom Bali I dan II.
ISIS Mainan Baru AS Untuk Hidupkan Kembali Terorisme Jadi-Jadian?
Nampaknya memang seperti itulah adanya. Baru-baru ini, mantan karyawan US National Security Agency (NSA), Edward Snowdeen mengungkapkan, intelijen Inggris, Amerika Serikat dan Israel (Mossad) bekerja sama membentuk gerilyawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Dilansir dari situs globalresearch.ca, Jumat (1/8), Snowdeen mengatakan badan intelijen tiga negara menciptakan sebuah organisasi teroris yang mampu menarik semua ekstrimis dunia ke satu tempat. Mereka menggunakan strategi yang disebut "sarang lebah".
Dokumen NSA menunjukan implementasi strategi sarang lebah untuk melindungi entitas Zionis dengan menciptakan slogan-slogan agama dan Islam.
Menurut dokumen yang dirilis oleh Snowden, "Satu-satunya solusi untuk melindungi negara Yahudi adalah untuk menciptakan musuh dekat perbatasannya".
Data tersebut juga mengungkapkan bahwa pemimpin ISIS Abu Bakar Al Baghdadi mengambil pelatihan militer intensif selama satu tahun di tangan Mossad, selain program dalam teologi dan seni berbicara.
Tak pelak lagi, bergulirnya isu keberadaan ISIS sejatinya merupakan reinkarnasi dari keberadaan kelompok teroris jadi-jadian kreasi CIA macam Al Qaeda seperti di era kepresidenan Bush 2000-2008. Yang pastinya dengan bergulirnya terus isu ISIS ini akan dimanfaatkan oleh berbagai kalangan yang berkepentingan baik di Kepolisian maupun Badan Nasional Pemberantasan Terorisme(BNPT) untuk meluncurkan sebuah tema baru: Perang terhadap Aksi Terorisme yang dimotori oleh kelompok-kelompok Islam radikal dengan menggunakan ISIS sebagai icon-nya.
Yang krusial dari tren ini adalah, betapa para pemangku kepentingan di bidang politik dan keamanan nasional kita, akan masuk dalam ritme dan irama yang dimainkan oleh AS-Inggris-Israel melalui penerapan strategi Sarang Lebah untuk menjaring kelompok-kelompok Islam radikal agar berkumpul di satu tempat yang sama. Sehingga mudah dikendalikan dan dijinakkan melalui kerangka operasi intelijen yang dilancarkan ketiga negara tersebut yang kerap dikenal dengan sebutan FALSE FLAG OPERATION(OPERASI BENDERA PALSU).
Dalam false flag operation ini, kelompok-kelompok Islam beranggapan bahwa mereka sedang menjalankan misi suci keagamaannya secara independen dan bertujuan menghadapi negara-negara adidaya yang mereka pandang anti Islam. Namun pada prakteknya, gerakan mereka sepenuhnya berada dalam kendali dan pengawasan dari agen-agen intelijen CIA-M6-MOSSAD. Sehingga gerakan kelompok-kelompok Islam radikal tersebut justru kontra produktif bagi citra dan kredibilitas kelompok-kelompok Islam yang bersangkutan, bahkan membawa citra buruk bagi umat Islam pada umumnya.
Alhasil, jika para pemangku kepentingan nasional kita kemudian malah ikut membesar-besarkan keberadaan ISIS sebagai ancaman nasional, pada perkembangannya kita justru mematikan potensi-potensi keunggulan kelompok-kelompok Islam di tanah air, ketimbang mengasah dan memupuk bakat-bakat khusus mereka bagi kepentingan nasional kita kini dan kelak.
Penulis: Hendrajit
Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Post a Comment Blogger Facebook