Azan subuh belum lagi berkumandang di Semarang dan sekitarnya ketika saya menapak turun dari kereta yang beberapa jam sebelumnya bertolak dari Jakarta. Sendirian saya mendatangi kota ini di bulan Februari 2013 untuk menghadiri pernikahan teman. Sendirian, karena teman-teman lain kebetulan tidak bisa menyesuaikan jadwal dengan undangan tersebut. Saya nekad saja, padahal belum pernah sekalipun ke Semarang.
Saya membeli tiket kereta Gambir-Semarang Tawang secara daring melalui Tiket. Prosedurnya menurut saya cukup mudah, bisa memilih kursi pula. Dengan semangat saya memilih kursi di tepi jendela dengan maksud menikmati pemandangan… Lalu baru kemudian ingat hal itu percuma saja, karena saya memilih kereta yang berjalan di malam hari, haha. Di hari keberangkatan, saya cukup mendatangi loket penukaran bukti pembelian daring dan memperoleh tiket saya di situ.
Singkat cerita, kini saya telah berada di Tawang. Hari masih gelap-gulita, dan daripada keburu keluar serta sulit menemukan tempat untuk solat, saya memutuskan mengisi perut dengan minuman hangat terlebih dahulu di Dunkin Donuts. Kebetulan cabang DD yang pintunya menghadap ke peron ini sudah buka, sementara tempat makan lain rata-rata masih tutup.
Usai subuh, barulah saya melangkah keluar dari peron. Dan wuih, langsung didekati beberapa orang yang menawarkan jasa becak. Sesopan mungkin saya menolak. Seorang di antaranya masih cukup keukeuh mengikuti saya beberapa lama, berharap saya berubah pikiran mungkin. Kasihan juga, tetapi saya memang berniat berjalan kaki saja pagi itu.
Setelah sejenak melihat-lihat stasiun yang cukup tua usianya ini (karena saya akan pulang naik pesawat, tidak akan kembali ke stasiun ini) saya pun mencari jalan menuju tempat yang saya tuju: Gereja Immanuel, populer sebagai ‘Gereja Blenduk’. Benar-benar tanpa tahu arah, tidak pegang peta, hanya sempat melihat-lihat peta Semarang melalui Google Maps. Hanya mengandalkan bertanya. Untunglah bapak-bapak yang saya tanya menjawab meyakinkan, “Tidak jauh kok mbak, lurus saja sampai mentok, lalu belok kiri. Dekat kok, tuh dari sini juga kelihatan…” Baiklah.
Saya melintasi polder yang airnya berwarna kehijauan di depan stasiun, lantas tanpa terlalu pikir-pikir menyusuri jalan-jalan kota tua Semarang yang diapit bangunan-bangunan tua. Banyak yang tampak megah dan cantik, namun tidak sedikit pula yang terlihat kurang terawat. Terkadang, bau kurang sedap meruah dari saluran-saluran air yang tampak nyaris kepenuhan oleh air berwarna hitam, mungkin sisa limpahan rob, yang memang sering membanjiri wilayah ini.
Seandainya lebih terurus lagi daripada kondisinya sekarang, pasti kawasan kota tua ini semakin menarik. Saya sendiri sangat menyukai bangunan-bangunan era kolonial sehingga sangat menikmati jalan-jalan pagi saya ini. Seorang bapak menegur ramah, bertanya saya dari mana, kok pagi-pagi sudah jalan-jalan, rumahnya di mana. Saya jawab saja saya baru dari stasiun (tidak bohong, kan?).
Puas menemukan dan mengagumi arsitektur Gereja Blenduk dan beberapa gedung di sekitarnya dari luar, saya meneruskan ke jalan-jalan kecil di kawasan itu. Saya coba bayangkan seperti apa dahulu kawasan ini, ketika kehidupan kota Semarang masih ramai terpusat di sini.
Saya kembali ke titik awal, Stasiun Tawang, dan meminta sebuah taksi Blue Bird untuk mengantarkan saya ke tujuan berikutnya, kelenteng Sam Poo Kong, yang agak jauh letaknya dari stasiun. Sang supir mengira saya orang Tionghoa yang hendak beribadah di kelenteng. Saya tertawa dan berkata, Bukan, ayah saya orang Manado, makanya mungkin wajah saya terlihat seperti orang Tionghoa. Kami pun jadi bercakap-cakap di sepanjang perjalanan.
“Saya dari kecil tinggal di sini. Kalau saya bilang, kota ini perkembangannya lambat,” katanya.
“Tapi tentram toh Pak?” Saya berkomentar.
“Iya, tentram.” Tahu saya dari Jakarta, ia berkata, “Maaf ya Mbak, saya memang orang Indonesia. Tapi saya tidak berniat pindah ke Jakarta. Saya memang belum pernah ke sana. Tapi kalau lihat di TV, orangnya kelihatan banyak sekali. Kali Ciliwung juga tampak kotor. Habis banjir-banjir gitu kan Mbak? Rumah Mbak kena nggak?”
Yah, saya sendiri secara pribadi berpendapat tinggal di kota yang tidak terlalu besar seperti Semarang atau Balikpapan tampaknya lebih menyenangkan daripada setiap hari disergap kemacetan dan polusi di Jakarta. Toh kalau yang kita khawatirkan adalah segala kenyamanan kota besar modern seperti restoran-restoran cepat saji atau kafe-kafe internasional, kini mereka pun sudah mudah ditemukan di ibukota-ibukota provinsi berukuran sedang. Saya tidak merasa pak supir perlu meminta maaf karena lebih memilih berdiam di Semarang yang mungkin bagi banyak orang Jakarta bukan kota yang perlu dilirik sebagai tempat tinggal.
Meskipun tadi telah mengulur-ulur waktu di kota tua, saya tiba kepagian di Sam Poo Kong. Loket belum buka, namun penjaga di situ membolehkan kami—saya dan beberapa wisatawan lain—masuk. “Silakan saja, bayarnya nanti saja,” ucapnya ramah. Saya melewati gerbang dan langsung disambut keteduhan pepohonan yang menaungi sejumlah meja batu beserta kursi-kursinya. Beberapa lama saya duduk di depan salah satu meja, menikmati pagi, memandang ke arah bangunan-bangunan dalam kompleks kelenteng, baik yang telah lama selesai dibangun maupun yang sedang dibangun. Saya bertanya-tanya apa kegunaan bangunan yang belum selesai itu nantinya: panggung sandiwara Cina kah? Aula untuk peribadahan?
Hampir sejam setelahnya baru saya berdiri dan mulai berjalan-jalan berkeliling. Tampak sekelompok pria yang sepertinya petugas keamanan tengah di-briefing dan kemudian berlatih. Bangunan-bangunan utama peribadahan kelenteng dipisahkan oleh saluran air yang ditata bagai sungai kecil dari pelataran luas di depannya. Berbekalkan tiket khusus ke bagian itu, saya pun menyeberang dan mengamati bangunan-bangunan tersebut dari dekat. Warna merah terang tentu mendominasi, namun juga ada warna hijau, dan bila saya tidak salah, sentuhan Jawa pada arsitektur atap bangunan utama. Beberapa bagian tidak bisa dimasuki oleh orang yang tidak berniat beribadah, dan di beberapa bagian kita harus mencopot sepatu. Aturan-aturan ini tentu harus kita hormati.
Figur paling dihormati di kelenteng ini adalah sang pelaut Muslim dari negeri Cina, Cheng Ho. Patung raksasanya gagah berdiri di depan bangunan utama peribadahan. Di kelenteng ini pun terdapat beberapa relik yang berhubungan dengan dunia maritim. Kura-kura, si perlambang usia panjang, juga banyak menghiasi kelenteng ini, baik kura-kura sungguhan maupun yang dari batu.
Saya lalu mendatangi sekumpulan bapak-bapak yang duduk di bawah pepohonan tempat saya sempat bercokol sekitar sejam tadi. Dengan ramah mereka melayani pertanyaan saya mengenai cara pergi ke Pagoda Buddhagaya Watugong. Berdasarkan petunjuk mereka, saya menyeberang di depan kelenteng, dan menaiki bis kecil – seukuran Metro Mini – ke arah Banyumanik. Cukup jauh juga perjalanan ke pagoda tersebut, namun buat saya sama sekali tidak membosankan, karena ini kali pertama saya melihat semua yang terpampang di hadapan mata.
Tiba di Pagoda Buddhagaya Watugong, terlintas sebuah pikiran konyol di benak saya yang rupanya telah terpenjara kehidupan bertahun-tahun di Jakarta: Wah, rasanya seperti bukan di Indonesia, seperti di negara asing saja. Ini konyol. Tentu saja ini Indonesia. Indonesia yang merupakan keseharian bagi penduduk daerah ini. Indonesia yang berbeda dari Jakarta ,tapi tidak kurang Indonesia-nya.
Di pagoda ini pun penjaganya sungguh ramah. Ia mempersilakan saya masuk. Untuk mencapai pagoda, kita harus mendaki undak-undakan. Sebelum sampai di bangunan utama pagoda, kita disambut patung Dewi Kwam In di tengah-tengah pelataran, sementara tak jauh darinya, sebuah patung Buddha berwarna keemasan bersemayam damai di bawah sebatang pohon boddhi yang rindang.
Di bagian belakang kelenteng terdapat kamar mandi yang cukup bersih. Saya manfaatkan untuk mencuci muka yang sejak kemarin belum tersentuh air mandi. Segar rasanya. Saya lantas meneruskan mengelilingi pagoda yang sebenarnya tidak seberapa luas, mengamati sebanyak mungkin detail: patung-patung dan ukiran-ukiran naga, kura-kura, singa, pita-pita merah yang diikat di berbagai objek.
Hari sudah siang sekali ketika saya meninggalkan pagoda, naik angkot ke terminal Banyumanik, dilanjutkan dengan bis Trans Semarang yang nyaman. Saya turun di halte SMA 5 Pemuda, tepat di seberang hotel Amaris Pemuda, tempat saya menginap. Saya memilih hotel ini karena melihat letaknya yang cukup dekat ke beberapa objek wisata di Semarang, seperti Lawang Sewu, selain harganya yang memadai untuk kantong saya dan pengalaman saya selama ini di cabang-cabang lain yang tidak mengecewakan. Ternyata beberapa keuntungan lain menginap di hotel ini adalah: hanya selemparan batu dari halte Trans Semarang; di bagian bawah hotel ada cabang Dunkin Donuts dan Gramedia; kalau perlu apa-apa juga mal Paragon dan Carrefour bisa didatangi dengan berjalan kaki.
Setelah beristirahat sejenak di kamar hotel, saya keluar lagi untuk mencari makan di Carrefour, sekalian menuju Lawang Sewu. Karena lapar, saya pilih saja sebuah restoran cepat saji yang menyajikan makanan Asia. Hmmm… rasanya biasa saja sih, harganya pun setara dengan restoran cepat saji lain alias ‘harga Jakarta’, tapi ya sudahlah. Namanya orang lapar. Tapi saya bertekad, sehabis ini kalau mau makan harus di luar mal!
Ah, tapi sebelumnya saya perlu bicarakan dulu tentang betapa enaknya berjalan kaki di banyak bagian Semarang. Trotoar luas, rapi, kerap kali dinaungi pohon rindang. Dari hotel ke Lawang Sewu, saya melewati kantor walikota dan DPRD yang megah, dan juga papan-papan di mana surat kabar hari itu ditempelkan, bebas dibaca oleh warga yang kebetulan lewat. Kota-kota Indonesia perlu lebih banyak trotoar semacam ini!
Tiba di Lawang Sewu, yang mungkin merupakan ikon paling kenamaan Kota Semarang, saya pun membeli tiket dan magnet kulkas berbentuk Lawang Sewu. Selain itu, saya harus membayar pemandu yang mengantar saya menyambangi berbagai pojok Lawang Sewu yang sudah dibuka untuk umum (karena sebagian bangunan masih berada dalam tahap renovasi, termasuk bagian di mana terdapat jendela kaca patri yang indah). Pak pemandu menemani saya dengan berbagai kisah sejarah maupun ‘urban legend’ yang juga membuat kompleks bangunan ‘berpintu seribu’ ini terkenal. Pasti semua juga sudah pernah kan mendengar tentang kejadian-kejadian seram yang konon terjadi di Lawang Sewu?
Dalam hati, saya sendiri merasa seandainya gedung-gedung di kompleks ini terawat baik semuanya, dan juga digunakan secara aktif, tentu tidak terasa (terlalu) menyeramkan. Atmosfernya tidak akan ‘wingit’, tidak akan jadi lokasi favorit ‘uji nyali’ (kalau mau, Anda bisa lho ikut tur malam hari di gedung ini). Malah gedung-gedung tersebut pastilah cantik sekali di masa jayanya, ramai oleh orang-orang yang berlalu-lalang, sibuk dengan berbagai aktivitas mereka.
Di bagian yang sudah direnovasi dan dijadikan museum PT KAI, saya belajar banyak tentang sejarah dan kondisi perkereta-apian di Indonesia sekarang. Wah, ternyata di Sumatra masih ada lokomotif yang menjalankan tugas luar biasa, menarik 40 sampai 60 gerbang sekaligus! Sedihnya, tersaji pula peta rute-rute daerah-daerah operasional KAI, yang juga menunjukkan stasiun-stasiun yang sudah ‘dimatikan’ alias ditutup. Ah! Padahal dulu kereta merupakan salah satu alat transportasi utama yang menghubungkan kota-kota di Sumatra dan Jawa.
Saya sempat ditawari masuk ke lorong-lorong bawah tanah, tempat difilmkannya video hantu yang popular di TV maupun Youtube. Saya menolak sambil tertawa.
“Kenapa? Kan sayang sudah jauh-jauh ke sini,” kata penjaga di depan tangga turun ke lorong-lorong tersebut. (Untuk turun, kita harus membayar lagi biaya masuk yang juga mencakup penyewaan sepatu bot, karena di bawah sana air kerap menggenang.)
“Nggak ah Pak. Saya tidur sendirian di hotel dekat sini,” saya berseloroh.
Beberapa kali mereka mencoba membujuk saya, namun gagal. Bener deh, saya tidak ada niat turun ke bawah, meskipun katanya di bawah sana sedang ramai oleh pengunjung, tidak menakutkan. Memang sih masih siang. Saya hanya malas saja kalau malam nanti jadi terbayang-bayang suasana di lorong-lorong itu.
Bukannya percaya takhayul ya, tapi kebetulan sekali malam harinya saat saya pulang dari Simpang Lima usai makan malam, saya kembali melintas di samping Lawang Sewu saat berjalan kaki menuju hotel. Tanpa diduga, di depan saya cabang pohon yang cukup besar tahu-tahu jatuh ke trotoar di depan saya! Seandainya saya tadi tidak melambatkan langkah karena menengok layar telepon genggam, mungkin cabang pohon yang tumbuh di tepi kompleks Lawang Sewu itu bakal menimpa saya.
Ups.
Anggaplah sambutan pertanda saya diterima di Semarang! Hehehe.
Bersambung ke bagian kedua…