GuidePedia

0

Polemik tentang komik Kharisma Jati yang dianggap memuat materi pedofil muncul saat ada kejadian penting: pengesahan revisi Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

tirto.id - Media sosial di Indonesia dua hari terakhir diramaikan kabar tentang materi komik yang dianggap bermuatan pedofil. Komik tersebut tak sekadar menunjukkan adegan seks yang vulgar, tapi dianggap merujuk pribadi tertentu. Komik ini dibuat Komikus asal Yogyakarta, Kharisma Jati, sementara karakter yang diserangnya adalah Sheila Rooswitha Putri. 

Keduanya adalah komikus, bedanya Jati kerap menghadirkan gambar dengan tema-tema radikal yang hendak menguji batas toleransi pembacanya, sementara Sheila adalah komikus yang menghadirkan keseharian keluarganya yang hangat.

Lantas apa yang membuat komik ini menjadi polemik dan menghadirkan keresahan? Komik ini menghadirkan adegan di mana karakter komik Sheila digambarkan melakukan hubungan intim dengan anaknya. Gambar ini diunggah Jati di akun twitternya @KoprofilJati. Sang kreator kemudian menghapus materi tersebut ketika banyak orang memberi respons negatif. 

Ya, cukup banyak yang mengecam tindakan ini. Aji Prasetyo, komikus asal malang, menyebut tindakan Jati sebagai sesuatu yang tidak pantas dan tidak etis. Komikus dan ilustrator di media sosial kemudian menghadirkan tagar #temennyaEmbu sebagai solidaritas terhadap Sheila.

Polemik ini jadi perdebatan yang hangat karena ia menghadirkan beberapa hal, seperti isu kebebasan berpendapat dan pornografi anak. Gambar Jati selama ini kerap menghadirkan gambar vulgar, baik kekejaman yang berlebihan (gore), kritik sosial, atau pornografi (hentai). 

Hikmat Darmawan, peneliti dan pengamat komik, menyebut karya-karya hentai dengan isi muatan seksual yang dipublikasikan ke publik luas jelas bermasalah. Di Indonesia selain melanggar hukum, secara sosial konten semacam itu belum diterima publik secara luas.

Ada regulasi yang memang melarang penyebaran konten semacam ini. Pada konteks kebebasan berpendapat, Hikmat menganggap bahwa kebebasan berpendapat tidak memberikan hak bagi orang untuk bertindak semaunya. 

“Yang orang sering salah kaprah, anggapan bahwa kebebasan berekspresi itu adalah izin untuk bebas mengungkapkan apa pun di media. Kebebasan berekspresi itu tidak meniadakan konsekuensi hukum sebuah penghinaan kepada orang lain di depan publik,” katanya. 

Tiap orang tak bisa menganggap kebebasan berpendapat sebagai hal ihwal yang serba gratis dan bisa diperlakukan semaunya. Mereka mesti siap terhadap konsekuensi ketika ia berpendapat di ruang publik, saat mengunggah materi-materi di ruang publik. Tak terkecuali di media sosial.

Meski dikritik dan mendapatkan tanggapan negatif, beberapa orang menganggap bahwa Jati tidak perlu dilarang berkarya. Kevin W dari, Direktur utama KAORI Nusantara, menulis di situsnya jika ada desakan yang menghendaki Kharisma Jati dihukum sama gegabahnya dengan gambar Jati itu sendiri. 

Ia menulis: “Rasa-rasanya ada yang salah dengan demokrasi di negeri ini. Kebebasan mengkritik adalah bagian dari menghargai kebebasan berpendapat,” katanya. 

Ia menganggap tindakan Jati kali ini sebagai hal yang salah. Ketika ada yang tidak suka, ia menganggapnya sebagai hal yang wajar. Tapi melarang seseorang berkarya adalah sebentuk pembungkaman.

Sebenarnya bagaimana ekspresi publik mesti disampaikan? Wisnu Prasetya Utomo, peneliti dari Remotivi, yang banyak fokus pada analisis media, menyebut bahwa kebebasan berpendapat/berekspresi harus tunduk terhadap perlindungan warga dari potensi penyalahgunaan. 

“Apa batasannya? Ya kemungkinan penyalahgunaan itu, seperti soal hate speech. Menurutku hate speech dan pornografi anak tidak termasuk dalam free speech,” katanya

Wisnu secara khusus menganggap pornografi anak sebagai tindakan yang sama sekali bukan mencerminkan kebebasan berpendapat. Baginya pornografi anak sudah merupakan pelanggaran serius dari sisi manapun. 

“Ia melanggar hukum formal, ia melanggar nilai-norma sosial, bahkan ia melecehkan akal sehat kita sebagai manusia,” katanya. Namun perlu disadari bahwa untuk membuat batasan dalam kebebasan berpendapat perlu parameter yang jelas, misalnya definisi hate speech dan pornografi anak.

Jika ada konten pornografi anak yang dibuat dengan tendensi kebencian, Wisnu sepakat harus ada hukuman. Namun ia keberatan jika pelakunya dijerat dengan UU ITE. Menurutnya pasal yang ada di ITE bisa digunakan untuk apa saja termasuk membungkam kritik. Wisnu setuju apabila ada aturan yang lebih spesifik mengatur soal pornografi anak di internet. “Aku sepakat bahwa pelaku pembuat/penyebaran harus dihukum berat,” katanya.

Hikmat Darmawan memberikan pandangan menarik tentang konteks pornografi anak dalam komik. Menurutnya kebebasan berekspresi dan kebebasan artistik seorang seniman tidak identik dengan kebebasan mempublikasikan pornografi. Ia mencontohkan di negara-negara Skandinavia yang paling liberal sekali pun, muatan pornografi dan muatan seksual eksplisit tetap dibatasi oleh regulasi. Dalam konteks polemik Kharisma Jati ini, bagi Hikmat, bukanlah soal "mengadili imajinasi".

"Tapi ini tentang adakah dampak yang merugikan bagi orang lain. Sebagai masyarakat beradab, semua semestinya bisa diserahkan pada hukum untuk diputuskan,” kata Hikmat.

Di Indonesia, telah ada regulasi yang mengatur pornografi di internet. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

UU 44/2008 lebih jelas memberikan definisi mengenai pornografi yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 



Untuk korban, pemerintah baru saja mengesahkan revisi UU ITE dan menambahkan ketentuan mengenai right to be forgotten atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26. Isinya, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. 

Itu artinya, jika ada korban pornografi di internet maka ia berhak meminta agar konten itu dihapus dan tidak didistribusikan lagi. 

Mengapa regulasi ini penting? Ia harus hadir untuk memberikan panduan bagaimana kita mesti bersikap di ruang publik. Dalam kasus Kharisma Jati Hikmat berpendapat bahwa pornografi tak mutlak berada di wilayah "kebebasan berekspresi". Ia menjelaskan tentang latar belakang komik hentai dan gore dengan nuansa inses di Amerika. Hikmat sendiri pernah meneliti subkultur manga di Jepang dan menganggap bahwa komik hentai atau porno berfungsi sebagai katarsis. 

“Semacam tempat sampah pikiran-pikiran gelap para pembuat maupun pembacanya, agar pikiran-pikiran gelap itu tidak dipikirkan sebagai bagian dari dunia nyata sehingga berisiko diaktualkan pula di dunia nyata,” tulis Hikmat.

Sumber


Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top