GuidePedia

0


SIANG itu (22/7) senyum lebar di bibir Theizard jadi sambutan hangat di sebuah kafe di sekitar kampus Universitas Pattimura Ambon, Maluku. Begitu memasuki kafe, terlihat beberapa lukisan dengan warna-warna alam seperti cokelat, hijau, oranye, hitam, dan putih menghiasi dindingnya.


Ada yang bergambar segelas kopi, sketsa wajah, hingga kopi yang tumpah dari dalam gelas. Ini beberapa lukisan yang beta gambar, kata Theizard yang langsung jadi pembuka obrolan di siang yang terik itu. Sekejap mahasiswa Jurusan Manajemen Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura tersebut mengeluarkan handphone dari dalam saku celananya. Dia lalu memperlihatkan foto lukisan di atas tiga kanvas yang terpisah. Saat kanvas-kanvas berukuran 120 x 80 cm itu dipisah, yang terlihat hanyalah penggalan lukisan yang belum tuntas. Namun, begitu disatukan, tiga lukisan tersebut menampakkan gambar anak lelaki yang sedang menyeruput papeda, makanan dari sagu khas Ambon. 

Sambil sesekali membetulkan bajunya, pria kelahiran 16 Mei 1992 itu mengatakan bahwa lukisan di tiga kanvas berbeda tersebut merupakan karya kolaborasi dirinya dengan dua remaja tunarungu dan seorang pengamat anak berkebutuhan khusus (ABK) dari Belanda bernama Nadine. Mereka melukis tanpa kesepakatan tema, ide, maupun gaya, secara terpisah namun hasil akhirnya di luar dugaan. Lukisan itu menjadi satu kesatuan yang utuh dan bercerita. Beta dan Nadine sempat kaget mengetahui hasilnya seperti itu. "Sungguh di luar dugaan kami," ujar Theiza -panggilan pemuda hitam manis itu- mengenang aksi kolaborasi April lalu. 

Menurut sulung tiga bersaudara tersebut, kolaborasi itu tercipta setelah dirinya berkenalan dengan Nadine yang selama ini banyak berkecimpung menangani ABK di ibu kota Maluku tersebut. Sedangkan Theiza sendiri aktif di komunitas Kanvas Alifuru, gerakan jujaro mungare (sebutan anak muda lelaki dan perempuan dalam bahasa Ambon) anti-mainstream. Mereka berkiprah di dunia seni, tapi bukan seni musik seperti kebanyakan orang Ambon. Komunitas itu lebih banyak bergerak di bidang seni rupa. Dari perkenalan tersebut, Theiza dan Nadine sepakat untuk berkolaborasi melakukan kerja seni bersama. Mereka juga mencari bakat-bakat terpendam dalam diri anak-anak berkebutuhan khusus. 

Pencarian itu membawa mereka bertemu Gio dan Elvis. Dua remaja 16 tahun tersebut punya kelebihan. Gio dan Elvis itu tunarungu. Keduanya suka menggambar. "Tapi hanya mau menggambar objek yang sama setiap hari," papar nyong Ambon yang juga piawai membunyikan harmonika tersebut. Berbekal kemampuan melukis secara otodidak, Theiza dan Nadine kemudian intens berkomunikasi dengan Gio dan Elvis tentang rencana kerja seni rupa kolaborasi itu. Mereka tidak menggunakan kata-kata verbal, namun dengan isyarat tangan, ekspresi wajah, dan gerakan bibir. Mereka mengajari dua remaja tunarungu tersebut tentang garis lurus, ruang, dan persepsi dengan hanya mengandalkan insting dan kepekaan menangkap maksud gerakan bibir dan tangan. Tak ada alat peraga, alat bantu dengar, atau penerjemah khusus. 

Beberapa saat kemudian, Theiza mengajari mereka soal bentuk dan garis. Sedangkan Nadine mengajari soal warna dan persepsi. Sambil sesekali Theiza memintanya mengikuti gerakan tangan yang membentuk sebuah garis di atas kertas. Saat itulah terlihat bakat terpendam dua remaja tersebut di bidang seni rupa. "Karena mereka punya bakat alamiah, tak sulit bagi beta mengajari mereka, "ungkap Theiza yang tinggal di Kayu Putih, Ambon. 

Saat aksi melukis kolaborasi dimulai, Theiza mendapat giliran pertama menggoreskan kuasnya di kanvas secara on the spot itu. Awalnya sekumpulan titik dan garis, kemudian muncul bentuk wajah seorang anak laki-laki yang sedang makan papeda. Lukisan tersebut diselesaikan sekitar 20 menit. Aksi kedua dilakukan Nadine di kanvas kedua. Hasil goresannya berupa tangan yang sedang bale papeda (mengambil papeda). Tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut warga Belanda tersebut saat itu (kini sudah pulang ke negaranya). Yang jelas, lukisan tersebut ternyata nyambung dengan lukisan Theiza sebelumnya di kanvas lain. Setelah itu, giliran Gio dan Elvis menjadi penutup aksi melukis kolaborasi tersebut di kanvas ketiga. Tanpa canggung mereka menyambar kuas dan menuangkan imajinasi ke bidang gambar di depannya. 

"Selama proses melukis itu, kami sama sekali tidak berkomunikasi. Kami diam membisu berjam-jam sampai ketiga kanvas selesai dilukis. Hanya sesekali mata kami melihat lukisan karya yang sudah jadi," jelas Theiza. "Semua mengalir begitu saja. Beta juga seng (tidak, Red) cerita pada Nadine dan Gio-Elvis soal ide lukisan itu. Tapi, hasilnya kok bisa menyatu dan bercerita," tambah pelukis yang serius melukis sejak 2003 itu keheranan. 

Lukisan tiga kanvas tersebut ketika digabung ternyata menggambarkan seorang anak laki-laki mengenakan kaus sedang menyeruput papeda dari dalam piring menggunakan gata-gata (alat berbentuk garpu dengan dua ujung panjang terbuat dari kayu). Karya itu menghasilkan gambar yang tidak mereka duga sebelumnya. Lukisan itu lalu dibawa Nadine ke negaranya. Kata dia mau diikutkan dalam sebuah pameran lukisan di sana, kata alumnus SMAN 2 Ambon tersebut dengan bangga. 

Lelaki asal Kampung Aboru, Maluku Tengah, itu menjelaskan, ide lukisan objek makan papeda tersebut muncul saat dirinya makan siang bersama dua remaja tunarungu dan tunawicara itu. Menu utamanya papeda. Tanpa pikir panjang, Theiza menuangkan ide spontan seorang anak makan papeda ke kanvas tersebut. Bagi anggota komunitas Ambon Bergerak itu, papeda adalah salah satu warisan budaya khas orang timur, orang Maluku. Sehingga dia memilih konsep yang tak muluk-muluk, namun punya arti mendalam. 

"Beta hanya pakai feeling. Apa yang terjadi saat itu beta gambar," katanya. Tak diduga, Nadine dan Gio-Elvis punya imaji yang sama. Saat ini Theiza tengah sibuk menyiapkan karya terbaru untuk mengikuti pameran bersama para pelukis Ambon September mendatang. Dia menyiapkan delapan lukisan. "Yang empat sudah disimpan di kantor dinas kebudayaan. Empat lainnya masih di rumah," paparnya sambil menunjukkan salah satu lukisannya. "Beta tidak menggambar manusia, tapi menggambar kemanusiaan," tandasnya.
 

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top