GuidePedia

0
 http://fn.bmj.com/content/97/4/F284/F1.large.jpg
DOKTER Vicky S. Budipramana prihatin betul. Dia menyaksikan pasien kanker usus besar (kolon) terus bergelimpangan dengan kulit perut yang iritasi pada sebuah luka menganga.Yang cukup menyedihkan adalah tatkala dia merawat pasien kanker kolon pada 2005 asal Surabaya. Sehabis operasi, bagian ujung usus besar pasien tersebut dibuat menjulur keluar lewat sebuah lubang di perut. Itulah yang disebut sebagai kolostomi. Lubang itu berfungsi untuk mengeluarkan feses tanpa melalui anus. Karena itu, setiap pasien kolostomi akan dipasangi kantong penampung tinja yang bisa lepas-pasang. Kantong tersebut ditempelkan di sekitar kulit yang jadi pintu keluar kotoran itu. Beberapa hari kemudian, Vicky melihat ada perubahan pada kulit yang ditempeli kantong tersebut. Kulit sekitar kolostomi itu merah, mengelupas, perih, dan mengalami iritasi. Kondisinya buruk sekali, kata Vicky. Belum lagi usus besar yang seharusnya menjulur keluar malah mendelep. Setiap hari dokter asal Madura itu harus melihat si pasien menahan perih dengan luka yang menganga. 
 
 
Makin hari, dia makin tidak tega. Iritasi pasien kian buruk lantaran perut mengeluarkan keringat yang bercampur cairan usus. Kulit pun lembap. Itu menjadi tempat subur bagi pertumbuhan kuman dan bakteri. Saat dipasangi kantong kolostomi, setiap hari pasien harus pasang-lepas perekat kantong. Akibatnya, sebagian lapisan kulit ikut terkelupas, menempel pada perekat tersebut. Sekali lagi, iritasi makin menjadi. Tidak tinggal diam, pria lulusan FK Unair 1974 itu mencari solusi. Dokter bedah digestif tersebut berpikir bahwa dirinya harus menemukan bahan yang berbentuk parabola. Ya, batok kelapa, katanya. Untung, ketika itu kerabat pasien yang dirawatnya adalah perajin. Dia bisa membuatkan batok kelapa sesuai pesanan Vicky. Saya sesuaikan desain supaya enak dipakai, kata pria kelahiran Bangkalan, 11 September 1955, itu. 
 
Berdasar desain Vicky, batok kelapa itu dibelah menjadi hampir seperempat bulatan. Bentuknya persis seperti mangkuk. Tapi, tidak terlalu dalam. Persis alas cangkir, tapi sedikit lebih cembung. Nah, bagian dasarnya diberi lubang yang ukurannya sama seperti lubang usus pada perut pasien. Mangkuk batok itu diletakkan di perut. Dasarnya, bagian luar batok menempel pada lubang dan mulutnya -bagian dalam batok- menganga ke luar. Dua bagian samping batok itu lalu dibor dan diberi tali karet. Persis karet pada topeng anak-anak yang lantas dicantolkan di telinga. Nah, telinga batok itulah yang kemudian diberi sabuk dan diikatkan di perut. Kan nggak bisa lepas, imbuhnya. Bagian dalam atau cekungan batok itu ditempeli plastik sebagai penampung kotoran. 
 
Batok pertama buatannya lantas dicoba si pasien. Hasilnya, pasca pemakaian, iritasi hilang. Kulitnya pun kering. Dirasa cocok, kreasi batok itu lalu ditawarkan kepada beberapa pasien yang kurang mampu. Sebab, kala itu batoknya gratis. Bandingkan dengan colostomy bag berperekat karaya gum yang harganya selangit. Karaya gum itu perekat berbahan getah alami pohon. Sebenarnya, aman dan bisa serap air, jelasnya. Idealnya, lanjut dokter yang berdinas di departemen bedah sejak 1998 itu, memang perekat yang bagus adalah yang berbahan karaya gum. Namun, tidak semua pasien mampu membelinya. 
 
Lama-kelamaan kian banyak pasien yang tertarik dengan si keras berwarna cokelat itu. Ketika dipakai, kulit di sekitar kolostomi selalu kering. Tak merah, apalagi iritasi. Vicky pun penasaran. Baru pada 2008 rasa penasaran tersebut terjawab. Lelaki penggemar tenis itu meneliti batok kolostomi tersebut. Dia membeli sekantong penuh batok dari pasar. Ya, dia membeli. Dulu gratis sekarang bayar. Karena banyak sentra kerajinan yang juga pakai batok, ujarnya. Batok-batok tersebut lantas direndam selama enam jam dalam 600 ml air, kemudian ditimbang massanya. Setelah itu, batok dijemur di bawah terik matahari selama enam jam, pukul 09.00-15.00. Terik jam segitu masih bagus. Jadi, batok bisa kering, ungkapnya. 
 
Hasilnya bukan main. Selain kering, batok tersebut malah bisa digunakan lagi. Sebab, batok tersusun dari cellulose (selulosa) dan lignin. Keduanya merupakan serat dan pengikat. Karena itu, meski dijemur dan kembali digunakan, air tetap bisa terserap maksimal. Selain panas matahari, batok bisa dikeringkan dalam oven dengan suhu tertentu. Itu untuk jaga-jaga kalau musim hujan dan tidak ada sinar, katanya. Hasil uji cobanya dalam oven adalah pada suhu 110 derajat Celsius, batok kering dalam waktu 60 menit. Bila 120 derajat Celsius, keringnya 40 menit, sedangkan pada suhu 130 derajat Celsius, hanya butuh 30 menit atau setengah jam. Eksperimen itu juga membuktikan daya serap batok sama dengan bahan karaya gum. Dua bahan alami tersebut sama-sama terbentuk dari selulosa dan lignin. Jadi, dipastikan aman dan ampun mencegah iritasi. Tidak menunggu lama, ide kreatif, hemat, dan mudah itu diwujudkan. 
 
Lelaki beranak dua tersebut mulai mencari perajin yang bisa membuat batok kreasinya. Setidaknya kreasi sederhana itu membantu pasien yang kesulitan biaya. Juga agar mereka bisa memakai alat yang lebih layak. Sebab, keterbatasan dana tidak berarti terbatas ide. Penyuka makanan tradisional Jawa itu mengakui, ada kalanya pasien membuat kantong dari bahan-bahan yang tidak biasa. Mulai penutup galon air, kobokan, disumbat kain sarung, hingga bra pun disulap jadi kantung kolostomi. Kasihan kalau lihat pasien pakai kobokan di perutnya. Tapi, juga lucu, hehe, ujarnya, lantas tertawa. 
 
Untungnya, penelitian itu didukung Kepala Departemen Ilmu Bedah dr Agung Prasmono SpB BTKV K MARS dan segera digunakan sebagai alternatif. Alhasil, banyak pasien yang terbantu. Selain menghemat biaya, mereka terhindar dari iritasi bila memakai colostomy bag non-karaya gum. Batok kolostomi itu bisa dibeli seharga Rp 6.000. Sebenarnya, Vicky pun tidak ingin menarik biaya. Namun, hasil jualan tersebut digunakan sepenuhnya untuk membayar jasa tukang bor batok serta membeli bahan baku yang tidak lagi gratis. (Priska Birahy/c6/dos) 
 
 Sumber 

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top