GuidePedia



Mongolia bukanlah negara sembarangan. Sekitar abad XII hingga XIV, Jengis Khan menguasai dunia dan menancapkan bendera Mongolian Imperium yang terbentang dari Asia Tenggara hingga Eropa. Bagaimana cerita Mongolia kini? Berikut catatan Zaenal Budiyono, Asisten Staf Khusus Presiden yang ikut dalam lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Mongolia, baru-baru ini.

= = = =

KINI kedahsyatan nama Jengis Khan seolah tak banyak tersisa. Negara yang sebagian besar tanahnya berupa padang rumput ini justru tampak seperti negara yang baru membangun, jauh dari kesan rapi.

Perjalanan dari Jhengis Khan International Airport menuju jantung kota Ulan Bator menyuguhkan denyut nadi rakyat setempat. Di sepanjang jalan yang tak rata, semak belukar menjuntai semaunya seakan mengucapkan selamat datang.

Kabut tipis jelang pergantian musim juga membuat rumput tak sehijau aslinya. Itu bukan kabut sebenarnya, melainkan debu kota Ulan Bator yang terbang terbawa angin dingin.

Iring-iringan mobil Presiden SBY terus melaju dengan sesekali bermanuver menghindari lubang. Guncangan dan getaran keras akan anda rasakan dalam van butut keluaran tahun 1990-an. Mungkin mirip Metro Mini di Jakarta.

Sepanjang perjalanan, masyarakat Ulaan Baatar tampak antusias menyambut Presiden Indonesia. Sepertinya alami, bukan mobilisasi yang dilakukan pemerintah kota. Rata-rata masyarakat yang berjajar di trotoar adalah orang dewasa dan pekerja kantor. Pakaian mereka modis dan trendi. Kaum lelaki sebagian mengekan jas, sementara yang remaja stylish layaknya ABG di Jakarta. Kaum perempuan juga tak mau ketinggalan dengan berdandan ala tren Korea dan Jepang. Inilah Mongolia di abad XXI.

Penghormatan yang terkesan berlebihan juga tampak dari ratusan polisi yang berdiri setiap 50 meter dari airport hingga tengah pusat di jalur yang dilewati Presiden SBY. Mereka tidak bersenjata dan tampak ramah. Namun kehadiran polisi berbaju biru muda itu cukup untuk mensterilkan jalur rombongan tamu negara dari Indonesia. Jangankan kendaraan, pejalan kaki saja tak boleh melintas. Polisi setempat tinggal mengangkat tangan kanan, maka seluruh aktifitas yang bergerak di hadapannya berhenti seketika.

Kota Ulan Bator setiap hari hampir selalu dikepung oleh kemacetan. Kebangkitan ekonomi mulai terlihat di negara dengan populasi 3,1 juta orang dan 50 juta hewan ternak ini. Walaupun masih kumuh dan semrawut, namun banyak gedung baru tengah dibangun di sejumlah titik ibu kota.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi (17,3 persen pada 2011) juga membuat masyarakat Mongolia meningkat kesejahteraanya. Aneka mobil mewah sekelas Hummer, Range Rover, Mercedes hingga Cadillac dapat kita jumpai dengan mudah. Sayangnya infrastruktur jalan tidak mendukung. Ruas jalan di ibu kota Mongolia ini rata-rata sempit, hanya dua lajur di tiap jalur.

Ironisnya, tak ada separator jalan yang memisahkan arus mobil sehingga saat salah seorang pengemudi nakal berulah dan saling serobot, suasana makin kacau. Tentu saja rombongan Presiden SBY tak akan ketemu macet karena pengawalan polisi yang sirinenya meraung-raung membelah langit Ulan Batar.

Namun itu tidak berlaku bagi mobil staf yang berada di barisan belakang. Terkadang mesin tua van tak bisa bohong, dan pasrah untuk mengejar Rolls Royce yang membawa Presiden dan Ibu Negara. Beberapa van bahkan terpisah dari rangkaian hingga akhirnya terjebak traffic.

Seperti dialami Sezargery Sumardi, salah seorang protokol dari Kementerian Luar Negeri, yang ikut bertanggungjawab atas kunjungan ini. Saat van yang dinaikinya terjebak kemacetan, tiba-tiba pengemudi mobil di sebelah kendaraan yang kami tumpangi mengetuk kaca di dekat driver. Sejurus kemudian kaca terbuka dan keduanya berdialog dalam bahasa Mongol.

Artinya kira-kira begini, pengemudi mobil menanyakan apakah van ini merupakan bagian dari rangkaian mobil Presiden Indonesia. Driver membenarkan. Ternyata masyarakat Ulaan Baatar aware terhadap kunjungan Presiden SBY. Televisi setempat juga meng-update setiap perkembangan dari kunjungan ini.

Sepintas sikap masyarakat Mongol terhadap Indonesia sangat ramah. Mereka melihat Indonesia sebagai negara besar yang terngah bangkit. Komunitas sipil Ulan Bator juga memuji demokratisasi di Indonesia. Posisi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan negara muslim terbesar di dunia juga diketahui dipuji mereka.

Sekedar informasi, Mongolia kini tengah merajut jalan menuju demokrasi, setelah negara ini lama berada dalam kekuasaan China dan Uni Soviet, dua negara yang tidak menerapkan demokrasi. Kegairahan akan kebebasan berekspresi juga tampak di dekat square depan Istana Presiden. Sejumlah goresan cat minyak bekas demonstrasi masih terpampang di sejumlah tembok. Isinya berupa tuntutan dari kelompok civil society.

Presiden SBY dan Presiden Elbegdorj dalam sesi meeting mengatakan bahwa demokrasi yang berkembang di Indonesia dan Mongolia merupakan prestasi rakyat dari kedua negara. Secara khusus Presiden SBY memuji pertumbuhan ekonomi Mongolia yang fantastis itu seraya meyakinkan bahwa demokrasi bukanlah problem atau halangan dalam pembangunan ekonomi.

Mongolia adalah contoh nyata bagaimana konsolidasi demokrasi berhasil membawa hasil positif bagi kesejahteraan masyarakatnya, kata SBY.

Jengis Khan kini sudah menjadi legenda. Namun rakyat Mongol tampaknya tak rela hanya menyaksikan kebesaran sang pahlawan dari sejarah. Mereka seperti ingin bangkit dan membuktikan kepada dunia bahwa Mongolian juga bisa melakukan karya besar di era modern.

Malam sebelum Presiden SBY bertolak dari Ulan Batar ke Vladivostok, Russia untuk mengikuti KTT APEC, Presiden Elbegdorj memberikan cendera mata berupa patung Jhengis Khan yang tengah berkuda. Biasanya hadiah semacam ini cukup diselesaikan secara adat antar protokol kedua negara.

Namun Presiden Mongolia bersikeras menyampaikan langsung ke Presiden SBY. Mungkin itu bentuk penghormatan terhadap Indonesia dan ungkapan terima kasih atas kunjungan Presiden SBY. (***)


Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

Beli yuk ?

 
Top