Selama ini 'most of us' merasa sangat 'bangga', karena bisa membeli atau merasakan beberapa merk dagang yang secara sekilas sangat terasa 'Amerika' atau luar negeri nya.
Padahal setelah membaca tulisan berikut, kita pun akan merasa lebih bangga lagi.
Mengapa? Ya... karena merk-merk tersebut berikut adalah 'Indonesian Global Brands'.
Dan berikut merk-merk yang sementara bisa dibahas :
J.COPadahal setelah membaca tulisan berikut, kita pun akan merasa lebih bangga lagi.
Mengapa? Ya... karena merk-merk tersebut berikut adalah 'Indonesian Global Brands'.
Dan berikut merk-merk yang sementara bisa dibahas :
Siapa tidak kenal J.Co? Gerai donat asli lokal yang selalu menamai produknya dengan nama eksentrik seperti Da Vin Cheez, MONA PIZA, Alcapone, atau Why nut. Ketika gerai J.co Donuts and Coffee pertama dibuka pada 26 Juli 2005, banyak yang menyangka bahwa gerai donat ini merupakan waralaba asing. Maklum, sebab saat itu toko donat yang memiliki konsep open kitchen belum ada di Indonesia.
Perkembangan J.co bisa dibilang sangat pesat. Dua tahun semenjak gerai pertamanya di Supermal Karawaci dibuka, J.co telah memiliki 24 gerai dan memiliki 2 gerai di luar negeri, satu di Malaysia dan lainnya di Singapura. Tahun ini diperkirakan gerai J.Co akan mencapai 100 gerai. Prestasi ini tak lepas dari peran besar pendiri J.Co, Johnny Andrean. Johnny adalah anak perantauan yang berasal dari Singkawang, Kalimantan Barat. Orang tuanya adalah penjual hasil bumi dan pengelola salon. Johnny berangkat ke Jakarta pada tahun 80-an berbekal ilmu salon dari ibunya dan mampu bertahan hidup dengan mendirikan salon kecil di Jakarta Utara. Bisnis salonnya itu kemudian berkembang menjadi besar dan sangat terkenal. Selain salon, ia juga membeli izin waralaba BreadTalk dan mengembangkannya di Indonesia.
Suatu hari muncul ide untuk masuk ke bisnis donat. Johnny awalnya hendak menggunakan konsep yang sama dengan BreadTalk, di mana ia membeli hak waralaba dari luar negeri. Namun, donat yang hendak dibeli waralabanya itu ternyata memiliki banyak kelemahan mulai dari bahan baku hingga proses produksi yang kurang menjaga kualitas. Jhonny pun berusaha mengembangkan sendiri resep donatnya, dan sukses. Ia kemudian mengambil beberapa konsep penjualan donat di luar negeri; mencontoh Eropa untuk urusan penyajian, serta mencontoh jepang untuk urusan display.
Perkembangan J.co bisa dibilang sangat pesat. Dua tahun semenjak gerai pertamanya di Supermal Karawaci dibuka, J.co telah memiliki 24 gerai dan memiliki 2 gerai di luar negeri, satu di Malaysia dan lainnya di Singapura. Tahun ini diperkirakan gerai J.Co akan mencapai 100 gerai. Prestasi ini tak lepas dari peran besar pendiri J.Co, Johnny Andrean. Johnny adalah anak perantauan yang berasal dari Singkawang, Kalimantan Barat. Orang tuanya adalah penjual hasil bumi dan pengelola salon. Johnny berangkat ke Jakarta pada tahun 80-an berbekal ilmu salon dari ibunya dan mampu bertahan hidup dengan mendirikan salon kecil di Jakarta Utara. Bisnis salonnya itu kemudian berkembang menjadi besar dan sangat terkenal. Selain salon, ia juga membeli izin waralaba BreadTalk dan mengembangkannya di Indonesia.
Suatu hari muncul ide untuk masuk ke bisnis donat. Johnny awalnya hendak menggunakan konsep yang sama dengan BreadTalk, di mana ia membeli hak waralaba dari luar negeri. Namun, donat yang hendak dibeli waralabanya itu ternyata memiliki banyak kelemahan mulai dari bahan baku hingga proses produksi yang kurang menjaga kualitas. Jhonny pun berusaha mengembangkan sendiri resep donatnya, dan sukses. Ia kemudian mengambil beberapa konsep penjualan donat di luar negeri; mencontoh Eropa untuk urusan penyajian, serta mencontoh jepang untuk urusan display.
Johnny juga mendatangkan spesialis-spesialis donat dan kopi untuk membuat menu baru, dan tak segan mengirimkan tim risetnya ke luar negeri untuk mempelajari resep-resep baru. Untuk pemasaran, Johnny lebih percaya pada kekuatan public relations daripada iklan-iklan mahal di televisi dan koran.
OLYMPIC
KISAH DAN PENJELASANNYA
Kisah sukses Au Bintoro, pendiri Olympic Furniture, diawali tahun 1980. Ketika itu ia merasa bahwa toko furniture terlalu membebani konsumennya dengan ongkos kirim yang begitu besar. Mahalnya ongkos kirim itu disebabkan karena beratnya produk furniture sehingga untuk mengangkatnya dibutuhkan beberapa orang pekerja, selain itu pengusaha furniture tidak dapat membawa banyak barang sekaligus—satu truk kecil hanya bisa mengangkut beberapa meja belajar saja—sehingga tidak efesien. Bayangkan bila meja-meja tersebut harus diantarkan ke alamat pelanggan yang berada di pelosok-pelosok daerah, bukan tidak mungkin ongkos kirimnya lebih mahal dari harga meja itu sendiri.
Kisah sukses Au Bintoro, pendiri Olympic Furniture, diawali tahun 1980. Ketika itu ia merasa bahwa toko furniture terlalu membebani konsumennya dengan ongkos kirim yang begitu besar. Mahalnya ongkos kirim itu disebabkan karena beratnya produk furniture sehingga untuk mengangkatnya dibutuhkan beberapa orang pekerja, selain itu pengusaha furniture tidak dapat membawa banyak barang sekaligus—satu truk kecil hanya bisa mengangkut beberapa meja belajar saja—sehingga tidak efesien. Bayangkan bila meja-meja tersebut harus diantarkan ke alamat pelanggan yang berada di pelosok-pelosok daerah, bukan tidak mungkin ongkos kirimnya lebih mahal dari harga meja itu sendiri.
Au yang ketika itu masih berprofesi sebagai pembuat box speaker memutar keras otaknya agar bisa menemukan meja belajar yang lebih praktis, ringan, dan bisa diangkut dalam jumlah yang lebih banyak dalam satu truk. Au memiliki ide untuk membuat sebuah meja yang dapat dibongkar pasang. Dengan ide ini ia berharap pengangkutan meja jadi lebih mudah dan murah. Namun ia menemukan masalah, penggunaan kayu yang berat bobotnya menyebabkan timbul kesulitan membuat pasak-pasak yang cukup kuat untuk merekatkan bagian-bagian meja.
Ia kemudian mencoba-coba membuat meja dari bahan baku box speaker yang dimilikinya, dan ternyata sukses. Ia mampu menciptakan meja yang lebih kecil, ringan, dan mudah dibongar pasang. Meja belajar baru itu tersusun dari serpihan-serpihan papan partikel dengan perekat sekrup yang bisa di cucuk-cabut. Setiap bagian diberi tanda khusus untuk mencocokkannya dengan bagian lain. Ini mirip dengan mainan bongkar pasang anak-anak.
Produk ini selain mudah dibawa ternyata juga memberikan keuntungan lain bagi penjualnya, yaitu memperkecil biaya penggudangan (storage cost) karena penjual hanya perlu merakit satu produk saja sebagai display, sementara produk yang digudang dibiarkan dalam keadaan terbongkar sehingga tidak memakan banyak ruang.
Walau begitu Au belum memiliki cukup nyali untuk menjualnya secara massal, dan lebih memilih untuk menjualnya berdasarkan pesanan. Suatu hari seorang konsumen memesan meja itu dalam jumlah ribuan. Au girangnya bukan main. Setelah harga disepakati, pengerjaan meja itu dilakukan 24 jam nonstop agar selesai tepat waktu.
Namun malang di tengah jalan order itu diputus secara sepihak. Akibatnya Au terpaksa menumpuk produk dan bahan baku yang tersisa di gudang. Setelah menunggu tanpa kepastian, Au nekad menjual meja pesanana itu ke toko-toko furniture. Ternyata meja-meja itu laku keras dan habis terjual. Ini membuat Au semakin percaya bahwa konsumen telah lama menantikan sebuah meja belajar yang lebih praktis seperti buatannya. Pada tahun 1983, Au benar-benar menekuni bidang furniture dan meninggalkan profesinya sebagai pembuat box speaker. Setahun sebelumnya dia meresmikan sebuah pabrik Cahaya Sakti Multi Intraco yang khusus memproduksi meja (menyusul kemudian tempat tidur, meja serbaguna, lemari hias, lemari pakaian, rak televisi, meja kantor, dan hampir semua jenis furniture.
Au menamai merek produknya “Olympic Furniture” karena terinspirasi dengan Olimpiade XXIII yang berlangsung di Los Angeles pada 1984. Au mengutip ajang olahraga tersebut sebagai label dengan harapan Olympic dapat bergaung sehebat olimpiade yang terkenal di seluruh penjuru dunia. Inspirasi ini dikemudian hari menguntungkan Au karena konsumen lokal mengenalinya sebagai produk impor meskipun sebenarnya serpihan-serpihan perabot itu semuanya dibuat di Bogor dengan tenaga kerja lokal.
Pada tahun 1997, seperti kebanyakan pengusaha lain, Au mengalami goncangan dahsyat akibat Krisis Moneter yang melanda Indonesia ketika itu. Ongkos pembelian bahan baku membengkak gila-gilaan dan karyawan menginginkan kenaikan gaji, sementara rata-rata 5 dari 10 konsumen membatalkan membelian. Bisnis Au mengalami masa-masa paling suram dan hampir semua rencana besar terbengkalai begitu saja. Gara-gara krisis pula Au terpaksa menjual separuh lahan beserta gedung di daerah Sentul Jawa Barat yang awalnya direncanakan sebagai pusat produksi terpadu, mulai dari pengolahan kayu hingga finishing.
Au mendapatkan ide lain untuk mengatasi masalah ini. Bila sebelumnya ia hanya mengandalkan toko-toko furniture untuk menjual produknya, kini ia bekerja sama dengan peritel besar seperti Carrefour dan Giant. Ia juga bekerjasama dengan gerai kredit Columbia agar konsumen lebih mudah mendapatkan dana untuk membeli produknya. Strategi ini berhasil mengembalikan penjualan Olympic ke tingkat semula, bahkan lebih.
Memasuki tahun 2003 ia menggandeng perusahan furniture asal Jerman, Garant Mobel International dan bersama-sama mendirikan Garant Mobel Indonesia (GMI) dengan 75% saham dimiliki Olympic. GMI bertindak sebagai pemberi hak waralaba yang menghubungkan pemasok dan para peritel mebel merek Garant asal Jerman, dan merek kelas atas milik Olympic. Usaha ini menciptakan merek baru MER yang diwaralabakan dengan biaya minimal Rp.500 juta beserta show room seluas 100 meter persegi. Kerja sama ini menjadikan Au sebagai peritel furniture pertama di Indonesia.
Ia kemudian mencoba-coba membuat meja dari bahan baku box speaker yang dimilikinya, dan ternyata sukses. Ia mampu menciptakan meja yang lebih kecil, ringan, dan mudah dibongar pasang. Meja belajar baru itu tersusun dari serpihan-serpihan papan partikel dengan perekat sekrup yang bisa di cucuk-cabut. Setiap bagian diberi tanda khusus untuk mencocokkannya dengan bagian lain. Ini mirip dengan mainan bongkar pasang anak-anak.
Produk ini selain mudah dibawa ternyata juga memberikan keuntungan lain bagi penjualnya, yaitu memperkecil biaya penggudangan (storage cost) karena penjual hanya perlu merakit satu produk saja sebagai display, sementara produk yang digudang dibiarkan dalam keadaan terbongkar sehingga tidak memakan banyak ruang.
Walau begitu Au belum memiliki cukup nyali untuk menjualnya secara massal, dan lebih memilih untuk menjualnya berdasarkan pesanan. Suatu hari seorang konsumen memesan meja itu dalam jumlah ribuan. Au girangnya bukan main. Setelah harga disepakati, pengerjaan meja itu dilakukan 24 jam nonstop agar selesai tepat waktu.
Namun malang di tengah jalan order itu diputus secara sepihak. Akibatnya Au terpaksa menumpuk produk dan bahan baku yang tersisa di gudang. Setelah menunggu tanpa kepastian, Au nekad menjual meja pesanana itu ke toko-toko furniture. Ternyata meja-meja itu laku keras dan habis terjual. Ini membuat Au semakin percaya bahwa konsumen telah lama menantikan sebuah meja belajar yang lebih praktis seperti buatannya. Pada tahun 1983, Au benar-benar menekuni bidang furniture dan meninggalkan profesinya sebagai pembuat box speaker. Setahun sebelumnya dia meresmikan sebuah pabrik Cahaya Sakti Multi Intraco yang khusus memproduksi meja (menyusul kemudian tempat tidur, meja serbaguna, lemari hias, lemari pakaian, rak televisi, meja kantor, dan hampir semua jenis furniture.
Au menamai merek produknya “Olympic Furniture” karena terinspirasi dengan Olimpiade XXIII yang berlangsung di Los Angeles pada 1984. Au mengutip ajang olahraga tersebut sebagai label dengan harapan Olympic dapat bergaung sehebat olimpiade yang terkenal di seluruh penjuru dunia. Inspirasi ini dikemudian hari menguntungkan Au karena konsumen lokal mengenalinya sebagai produk impor meskipun sebenarnya serpihan-serpihan perabot itu semuanya dibuat di Bogor dengan tenaga kerja lokal.
Pada tahun 1997, seperti kebanyakan pengusaha lain, Au mengalami goncangan dahsyat akibat Krisis Moneter yang melanda Indonesia ketika itu. Ongkos pembelian bahan baku membengkak gila-gilaan dan karyawan menginginkan kenaikan gaji, sementara rata-rata 5 dari 10 konsumen membatalkan membelian. Bisnis Au mengalami masa-masa paling suram dan hampir semua rencana besar terbengkalai begitu saja. Gara-gara krisis pula Au terpaksa menjual separuh lahan beserta gedung di daerah Sentul Jawa Barat yang awalnya direncanakan sebagai pusat produksi terpadu, mulai dari pengolahan kayu hingga finishing.
Au mendapatkan ide lain untuk mengatasi masalah ini. Bila sebelumnya ia hanya mengandalkan toko-toko furniture untuk menjual produknya, kini ia bekerja sama dengan peritel besar seperti Carrefour dan Giant. Ia juga bekerjasama dengan gerai kredit Columbia agar konsumen lebih mudah mendapatkan dana untuk membeli produknya. Strategi ini berhasil mengembalikan penjualan Olympic ke tingkat semula, bahkan lebih.
Memasuki tahun 2003 ia menggandeng perusahan furniture asal Jerman, Garant Mobel International dan bersama-sama mendirikan Garant Mobel Indonesia (GMI) dengan 75% saham dimiliki Olympic. GMI bertindak sebagai pemberi hak waralaba yang menghubungkan pemasok dan para peritel mebel merek Garant asal Jerman, dan merek kelas atas milik Olympic. Usaha ini menciptakan merek baru MER yang diwaralabakan dengan biaya minimal Rp.500 juta beserta show room seluas 100 meter persegi. Kerja sama ini menjadikan Au sebagai peritel furniture pertama di Indonesia.
Au juga mulai mengibarkan merek-merek baru untuk menguasai pasar, misalnya Solid Furniture, Albatros, Procella, Olympia, dan furniture berharga murah Jaliteng. Diversifikasi produk itu dibuat berdasarkan daya beli target market-nya. Albartos misalnya mencoba menampilkan desain klasik dan minimalis yang disesuaikan dengan tren perkembangan desain rumah masyarakat kelas atas yang berselera ala Eropa dan Asia modern..
Hoka Hoka Bento
KISAH DAN PENJELASANNYA
Profil & Sejarah Hoka Hoka Bento
1985
Pada tanggal 18 April 1985, Hoka Hoka Bento pertama kali didirikan dibawah naungan PT. Eka Bogainti. Dengan restoran pertama berlokasi di Kebun Kacang, Jakarta. Hoka Hoka Bento menyajikan makanan jepang yang sehat, variatif, higienis, cepat saji dengan harga terjangkau serta suasana yang nyaman. Hal ini menjadikan Hoka Hoka Bento sebagai restoran dengan konsep “Japanese Fast Food” terbesar di Indonesia.
1990
Hoka Hoka Bento mengembangkan sayap ke Bandung dan sampai saat ini telah ada 12 store yang tersebar di seluruh kota Bandung.
2005
Hoka Hoka Bento membuka store pertama di Surabaya. Seiring dengan perjalanan waktu hingga saat ini sudah ada 10 store di Surabaya dan mulai tanggal 18 Juli 2008 Hoka Hoka Bento pertama dibuka di kota Malang.
2008
Tepatnya sampai dengan Juli 2008, selama kurun waktu 23 tahun, Hoka Hoka Bento telah tumbuh dan berkembang dengan menghadirkan 97 store yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Cilegon, Surabaya dan Malang. Kini, resto cepat saji yang membeli hak nama dari Jepang itu mempunyai 99 gerai dengan omzet sekitar Rp. 13,85 miliar /tahun.
Hendra sebagai pemilik PT Eka Bogainti tertarik mengembangkan resto cepat saji ala Jepang karena pada 1985 konsep itu belum ada di Indonesia. Ia pun melakukan studi banding ke Jepang dan kemudian membeli izin untuk menggunakan merek dan technical assistance Hoka Hoka Bento di Indonesia. Eka Bogainti memiliki penuh hak cipta atas merek merek Hoka Hoka Bento. Sementara itu, usaha serupa dengan merek sama yang ada di Jepang sudah tidak ada lagi.
Awalnya, Hoka Hoka Bento berbisnis makanan take away (pesan ambil/ bawa pulang). Konsep take away kemudian diubah menjadi fast food (cepat saji), mengadopsi tren cara makan yang praktis dan higienis ala Jepang.
Saat ini, Hoka Hoka Bento ditangani generasi kedua, anak dari Hendra Arifin yakni Paulus Arifin yang menjadi direktur operasional PT Eka Bogainti. Menurut Paulus, dampak krisis global membuat pengunjung resto sedikit berkurang sehingga ia menerapkan strategi khusus untuk menarik minat konsumen dengan berbagai menu spesial.
Selain itu, efisiensi terus dilakukan tanpa harus melakukan perampingan tenaga kerja. Kini, Hoka Hoka Bento mempekerjakan sekitar 4.000 tenaga kerja. Pengalaman saat krisis moneter 1998 menjadi pelajaran berharga bagi Hoka Hoka Bento sehingga tetap bertumbuh rata-rata 5-7% per tahun. “Tahun 2009, kami menargetkan pertumbuhan penjualan sekitar 10%, memang agak sulit tetapi kalau berusaha keras pasti bisa.
Meskipun 2009 dipenuhi ketidakpastian ekonomi, Hoka Hoka Bento berencana menambah satu gerai. “Untuk menggenapi jadi 100 gerai,” ungkap Hendra. Saat ini, 99 gerai Hoka Hoka Bento tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang (Jabodetabek), Bandung, Surabaya, dan Malang.
Ini salah satu gerai Hok Ben di Nagoya (tidak ada kesamaan logo dengan hok ben di Indonesia)
Profil & Sejarah Hoka Hoka Bento
1985
Pada tanggal 18 April 1985, Hoka Hoka Bento pertama kali didirikan dibawah naungan PT. Eka Bogainti. Dengan restoran pertama berlokasi di Kebun Kacang, Jakarta. Hoka Hoka Bento menyajikan makanan jepang yang sehat, variatif, higienis, cepat saji dengan harga terjangkau serta suasana yang nyaman. Hal ini menjadikan Hoka Hoka Bento sebagai restoran dengan konsep “Japanese Fast Food” terbesar di Indonesia.
1990
Hoka Hoka Bento mengembangkan sayap ke Bandung dan sampai saat ini telah ada 12 store yang tersebar di seluruh kota Bandung.
2005
Hoka Hoka Bento membuka store pertama di Surabaya. Seiring dengan perjalanan waktu hingga saat ini sudah ada 10 store di Surabaya dan mulai tanggal 18 Juli 2008 Hoka Hoka Bento pertama dibuka di kota Malang.
2008
Tepatnya sampai dengan Juli 2008, selama kurun waktu 23 tahun, Hoka Hoka Bento telah tumbuh dan berkembang dengan menghadirkan 97 store yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Cilegon, Surabaya dan Malang. Kini, resto cepat saji yang membeli hak nama dari Jepang itu mempunyai 99 gerai dengan omzet sekitar Rp. 13,85 miliar /tahun.
Hendra sebagai pemilik PT Eka Bogainti tertarik mengembangkan resto cepat saji ala Jepang karena pada 1985 konsep itu belum ada di Indonesia. Ia pun melakukan studi banding ke Jepang dan kemudian membeli izin untuk menggunakan merek dan technical assistance Hoka Hoka Bento di Indonesia. Eka Bogainti memiliki penuh hak cipta atas merek merek Hoka Hoka Bento. Sementara itu, usaha serupa dengan merek sama yang ada di Jepang sudah tidak ada lagi.
Awalnya, Hoka Hoka Bento berbisnis makanan take away (pesan ambil/ bawa pulang). Konsep take away kemudian diubah menjadi fast food (cepat saji), mengadopsi tren cara makan yang praktis dan higienis ala Jepang.
Saat ini, Hoka Hoka Bento ditangani generasi kedua, anak dari Hendra Arifin yakni Paulus Arifin yang menjadi direktur operasional PT Eka Bogainti. Menurut Paulus, dampak krisis global membuat pengunjung resto sedikit berkurang sehingga ia menerapkan strategi khusus untuk menarik minat konsumen dengan berbagai menu spesial.
Selain itu, efisiensi terus dilakukan tanpa harus melakukan perampingan tenaga kerja. Kini, Hoka Hoka Bento mempekerjakan sekitar 4.000 tenaga kerja. Pengalaman saat krisis moneter 1998 menjadi pelajaran berharga bagi Hoka Hoka Bento sehingga tetap bertumbuh rata-rata 5-7% per tahun. “Tahun 2009, kami menargetkan pertumbuhan penjualan sekitar 10%, memang agak sulit tetapi kalau berusaha keras pasti bisa.
Meskipun 2009 dipenuhi ketidakpastian ekonomi, Hoka Hoka Bento berencana menambah satu gerai. “Untuk menggenapi jadi 100 gerai,” ungkap Hendra. Saat ini, 99 gerai Hoka Hoka Bento tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang (Jabodetabek), Bandung, Surabaya, dan Malang.
Ini salah satu gerai Hok Ben di Nagoya (tidak ada kesamaan logo dengan hok ben di Indonesia)
Untuk meningkatkan pelanggan, Hoka Hoka Bento mengembangkan bisnis pesan antar. Kontribusi penjualan antar-pesan kini mencapai 30-40% dari total penjualan. “Untuk layanan ini, konsumen dikenakan biaya Rp 5.000 per antar dan tidak ada batas minimum order.
KISAH DAN PENJELASANNYA
Kisah Ceres dimulai puluhan tahun lalu, saat tentara Jepang datang menduduki Indonesia di tahun 1942. Ketika itu ribuan orang Belanda yang tak mau ditawan Jepang lari tunggang langgang, tak terkecuali seorang Belanda pemilik pabrik cokelat bernama NV Ceres yang menjual pabriknya dengan diskon besar kepada MC Chuang, orang Indonesia keturunan Tionghoa.[1] Artikel ini menceritakan bagaimana Chuang dan keluarganya membangun sebuah pabrik cokelat rumahan menjadi perusahaan cokelat terbesar ketiga di dunia, dan terbesar di Asia.
Setelah Indonesia merdeka, Chuang mengganti nama NV Ceres menjadi Perusahaan Industri Ceres. Chuang cukup beruntung karena di awal usahanya, ia mendapatkan order besar saat konferensi Asia Afrika diadakan tahun 1955 di Bandung. Karena order ini pula ia memindahkan pabriknya dari Garut ke Bandung.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari bahan racikan Chuang atau cara Chuang membuat cokelatnya,kecuali memainkan tempratur pada alat-alat pemanas cokelat. Ia membuat cokelat seperti kebanyakan pabrik ketika itu; berbahan dasar kakao, gula, dan susu. Namun cokelat itu terkenal lezat, bahkan konon saking lezatnya, Presiden Soekarno hanya mau memakan cokelat buatan Chuang. Konon, yang menjadi senjata rahasia Chuang dalam membuat cokelat adalah indra perasanya yang peka sehingga ia dapat mengetahui apakah cokelat produknya sudah dibuat dengan tepat atau belum.
Chuang juga termasuk orang yang cerdik. Kecerdikannya terlihat saat ia menciptakan cokelat batangan pertamanya pada tahun 1950-an, Silver Queen. Gagasan menjual cokelat dalam bentuk batangan sebetulnya merupakan hal mustahil ketika itu seab belum ada teknologi untuk membuatnya tidak meleleh ketika dipajang di toko karena iklim tropis Indonesia yang panas. Chuang tidak kekurangan akal, dia mencampur adonan cokelatnya dengan kacang mede yang membuat cokelat batangan seperti beton bertulang yang kuat dan pada akhirnya justru membuat Silver Queen unik. Tahun-tahun selanjutnya diisi Chuang dengan mengembangkan teknologi di pabriknya, ia berusaha mencari tahu cara-cara moderen membuat sebuah adonan cokelat yang sempurna.
Chuang memiliki cara yang unik dalam menciptakan varian-varian cokelat-cokelat baru. Dia tidak memanfaatkan liburan ke luar negeri hanya untuk berleha-leha, tetapi juga menyempatkan waktu berburu makanan-makanan berbahan cokelat di mana pun dia berada. Cokelat-cokelat itu diborong sebagai oleh-oleh, sebagian kemudian diserahkan pada bagian riset perusahaan untuk dibedah komposisinya. Dia melancong ke Amsterdam, Belanda, belajar ke pabrik cokelat Cj Van Houten yang sudah memproses kakao menjadi cokelat sejak 1828. Dia juga merayu manajemen Van Houten agar memberinya hak untuk menjual merek itu. Lobi ini sukses dan hasilnya bukan saja Ceres mendapatkan hak memasarkan Van Houten, melainkan juga ilmu dan teknologi mengenai pengolahan kakao menjadi cokelat lezat.
Ilmu-ilmu itulah yang kemudian dipakai untuk memperbaiki rasa Silver Queen, dan membuatnya semakin populer dari hari kehari. Selain Silver Queen Chuang juga mengembangkan berbagai merek lain seperti Ritz, Delfi, Chunky, wafer Briko, Top, dan biskuit Selamat. Tidak banyak yang diketahui tentang Chuang karena sifatnya yang tertutup, namun Chuang dikenal sangat akrab dengan para karawannya. Di tak segan-segan turun langsung ke pabrik dan berbincang di sana. Sikapnya ini lah yang membuat ia sangat dicintai oleh anak buahnya.
Sepeninggal Chuang, perusahaan dilanjutkan oleh ketiga anaknya John, Joseph, dan William Chuang. Ketiganya dikenal memiliki talenta yang sama dengan ayahnya dalam urusan cokelat. Joseph, sebelum dipanggil pulang keIndonesia, merupakan seorang pebisnis cokelat di Filipina. Ia mengembangkan jalur distribusi Ceres sampai ke pelosok tanah air, melengkapi armadanya dengan 500 truk berpendingin yang tersebar dari Banda Aceh sampai Jayapura. Ia juga mengakuisisi merek Hudson dan membeli merek Delfi dari Swiss pada tahun 2001.
John yang sebelumnya memiliki karir sebagai Vice Chairman Bank of California dan Presiden Wardley Development Inc., California membantu Ceres menguasai bisnis hulu kakao di level dunia–sekarang 70% pendapatan mereka berasal dari pengelolaan kakao. Cokelat memang sepertinya mengalir dalam darah mereka, ketika diwawancarai sebagai salah satu keluarga terkaya di Singapura, John berkata “Ketika bangun pagi, dalam benak saya hanya ada kakao; siang dan malam hari, cuma memikirkan kakao dan cokelat.” Distribusi, konsistensi membangun merek, dan upaya untuk fokus pada bisnis cokelat memang menjadi pilar sukses keluarga Chuang. Akan tetapi, nilai kekeluargaan yang dibangun dalam keluarga ini tak pelak juga menjadi pilar suksesnya.[2] Di keluarga Chuang, pemutusan hubungan kerja diharamkan terjadi. Salah satu filosofi M.C. Chuang adalah jangan pernah mengeluarkan karyawan kecuali karena dua hal :
mati dan mencuri. Jangan heran bila menjumpai karyawan yang puluhan tahun, sampai 40 tahun, bekerja di perusahaan ini. Atau yang seperti Udja, dipekerjakan kembali setelah pensiun. Kerja keras, loyalitas, kejujuran dan kekeluargaan menjadi values.
Dan nilai-nilai ini ditanamkan sejak M.C. Chuang merintis usaha dan memindahkan operasional Ceres dari Garut ke Bandung di 1950-an.[2]
Sayangnya Ceres kini sudah menjadi tamu di negerinya sendiri. Sejak krisis moneter tahun 1997, John dan adik-adiknya mengubah status Ceres di Indonesia menjadi perusahaan penanaman modal asing (PMA) dan mengalihkan pusat usahanya ke Singapura. Mereka juga sudah tidak mengandalkan Indonesia lagi sebagai pengolahan kakao utama, setelah memiliki pabrik di Malaysia, Thailand, Brasil, Meksiko, dan Filipina.
Kisah Ceres dimulai puluhan tahun lalu, saat tentara Jepang datang menduduki Indonesia di tahun 1942. Ketika itu ribuan orang Belanda yang tak mau ditawan Jepang lari tunggang langgang, tak terkecuali seorang Belanda pemilik pabrik cokelat bernama NV Ceres yang menjual pabriknya dengan diskon besar kepada MC Chuang, orang Indonesia keturunan Tionghoa.[1] Artikel ini menceritakan bagaimana Chuang dan keluarganya membangun sebuah pabrik cokelat rumahan menjadi perusahaan cokelat terbesar ketiga di dunia, dan terbesar di Asia.
Setelah Indonesia merdeka, Chuang mengganti nama NV Ceres menjadi Perusahaan Industri Ceres. Chuang cukup beruntung karena di awal usahanya, ia mendapatkan order besar saat konferensi Asia Afrika diadakan tahun 1955 di Bandung. Karena order ini pula ia memindahkan pabriknya dari Garut ke Bandung.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari bahan racikan Chuang atau cara Chuang membuat cokelatnya,kecuali memainkan tempratur pada alat-alat pemanas cokelat. Ia membuat cokelat seperti kebanyakan pabrik ketika itu; berbahan dasar kakao, gula, dan susu. Namun cokelat itu terkenal lezat, bahkan konon saking lezatnya, Presiden Soekarno hanya mau memakan cokelat buatan Chuang. Konon, yang menjadi senjata rahasia Chuang dalam membuat cokelat adalah indra perasanya yang peka sehingga ia dapat mengetahui apakah cokelat produknya sudah dibuat dengan tepat atau belum.
Chuang juga termasuk orang yang cerdik. Kecerdikannya terlihat saat ia menciptakan cokelat batangan pertamanya pada tahun 1950-an, Silver Queen. Gagasan menjual cokelat dalam bentuk batangan sebetulnya merupakan hal mustahil ketika itu seab belum ada teknologi untuk membuatnya tidak meleleh ketika dipajang di toko karena iklim tropis Indonesia yang panas. Chuang tidak kekurangan akal, dia mencampur adonan cokelatnya dengan kacang mede yang membuat cokelat batangan seperti beton bertulang yang kuat dan pada akhirnya justru membuat Silver Queen unik. Tahun-tahun selanjutnya diisi Chuang dengan mengembangkan teknologi di pabriknya, ia berusaha mencari tahu cara-cara moderen membuat sebuah adonan cokelat yang sempurna.
Chuang memiliki cara yang unik dalam menciptakan varian-varian cokelat-cokelat baru. Dia tidak memanfaatkan liburan ke luar negeri hanya untuk berleha-leha, tetapi juga menyempatkan waktu berburu makanan-makanan berbahan cokelat di mana pun dia berada. Cokelat-cokelat itu diborong sebagai oleh-oleh, sebagian kemudian diserahkan pada bagian riset perusahaan untuk dibedah komposisinya. Dia melancong ke Amsterdam, Belanda, belajar ke pabrik cokelat Cj Van Houten yang sudah memproses kakao menjadi cokelat sejak 1828. Dia juga merayu manajemen Van Houten agar memberinya hak untuk menjual merek itu. Lobi ini sukses dan hasilnya bukan saja Ceres mendapatkan hak memasarkan Van Houten, melainkan juga ilmu dan teknologi mengenai pengolahan kakao menjadi cokelat lezat.
Ilmu-ilmu itulah yang kemudian dipakai untuk memperbaiki rasa Silver Queen, dan membuatnya semakin populer dari hari kehari. Selain Silver Queen Chuang juga mengembangkan berbagai merek lain seperti Ritz, Delfi, Chunky, wafer Briko, Top, dan biskuit Selamat. Tidak banyak yang diketahui tentang Chuang karena sifatnya yang tertutup, namun Chuang dikenal sangat akrab dengan para karawannya. Di tak segan-segan turun langsung ke pabrik dan berbincang di sana. Sikapnya ini lah yang membuat ia sangat dicintai oleh anak buahnya.
Sepeninggal Chuang, perusahaan dilanjutkan oleh ketiga anaknya John, Joseph, dan William Chuang. Ketiganya dikenal memiliki talenta yang sama dengan ayahnya dalam urusan cokelat. Joseph, sebelum dipanggil pulang keIndonesia, merupakan seorang pebisnis cokelat di Filipina. Ia mengembangkan jalur distribusi Ceres sampai ke pelosok tanah air, melengkapi armadanya dengan 500 truk berpendingin yang tersebar dari Banda Aceh sampai Jayapura. Ia juga mengakuisisi merek Hudson dan membeli merek Delfi dari Swiss pada tahun 2001.
John yang sebelumnya memiliki karir sebagai Vice Chairman Bank of California dan Presiden Wardley Development Inc., California membantu Ceres menguasai bisnis hulu kakao di level dunia–sekarang 70% pendapatan mereka berasal dari pengelolaan kakao. Cokelat memang sepertinya mengalir dalam darah mereka, ketika diwawancarai sebagai salah satu keluarga terkaya di Singapura, John berkata “Ketika bangun pagi, dalam benak saya hanya ada kakao; siang dan malam hari, cuma memikirkan kakao dan cokelat.” Distribusi, konsistensi membangun merek, dan upaya untuk fokus pada bisnis cokelat memang menjadi pilar sukses keluarga Chuang. Akan tetapi, nilai kekeluargaan yang dibangun dalam keluarga ini tak pelak juga menjadi pilar suksesnya.[2] Di keluarga Chuang, pemutusan hubungan kerja diharamkan terjadi. Salah satu filosofi M.C. Chuang adalah jangan pernah mengeluarkan karyawan kecuali karena dua hal :
mati dan mencuri. Jangan heran bila menjumpai karyawan yang puluhan tahun, sampai 40 tahun, bekerja di perusahaan ini. Atau yang seperti Udja, dipekerjakan kembali setelah pensiun. Kerja keras, loyalitas, kejujuran dan kekeluargaan menjadi values.
Dan nilai-nilai ini ditanamkan sejak M.C. Chuang merintis usaha dan memindahkan operasional Ceres dari Garut ke Bandung di 1950-an.[2]
Sayangnya Ceres kini sudah menjadi tamu di negerinya sendiri. Sejak krisis moneter tahun 1997, John dan adik-adiknya mengubah status Ceres di Indonesia menjadi perusahaan penanaman modal asing (PMA) dan mengalihkan pusat usahanya ke Singapura. Mereka juga sudah tidak mengandalkan Indonesia lagi sebagai pengolahan kakao utama, setelah memiliki pabrik di Malaysia, Thailand, Brasil, Meksiko, dan Filipina.
WINGS
KISAH DAN PENJELASANNYA
WINGS Corporation didirikan pada tahun 1948 di Surabaya, Indonesia. Selama lima puluh tahun terakhir perusahaan ini telah berkembang dari sebuah industri rumah kecil menjadi pemimpin pasar (market leader) yang mempekerjakan ribuan orang dengan pabrik-pabrik berlokasi di Jakarta dan Surabaya.
Tujuan WINGS Corporation adalah memproduksi produk-produk berkualitas internasional dengan harga ekonomis. Produksi pertama Wings dimulai dengan pembuatan sabun cuci hijau buatan tangan. Dengan produk ini Wings berhasil menembus pasar kompetitif pada akhir 1940-an. Segera setelah itu, mereka memperkenalkan sebuah produk baru - krim deterjen yang sangat membantu kebutuhan toileteries rumah tangga. Seiring dengan perkembangan Wings yang begitu pesat, maka pabrik kedua P.T. Sayap Mas Utama, dibangun di Jakarta.
Wings menghasilkan produk antara lain toilet sabun, bedak dan bar deterjen, floorcleaners, pelembut kain, dan pembalut untuk market di seluruh Indonesia dan sekitarnya. Sedangkan pabrik ketiga P.T. Lionindo Jaya dibangun di Jakarta bersama-sama dengan Lion Corporation Jepang untuk memproduksi merek seperti Emeron, Halaman Satu, Ciptadent, dan Mama. Produk mereka termasuk shampoo, shower gel, produk perawatan kulit, pasta gigi, dan mencuci piring cair. Setelah lima tahun, merek ini berhasil menangkap pangsa pasar yang signifikan di Indonesia.
Kemudian Wings mengembangkan sayap usahanya secara vertikal dan horizontal, bahkan ke sektor lain seperti bahan bangunan. Dengan tetap berpijak pada filosofi 'To produce Quality and Affordibility at the Convenience of our customers.'
Sejak tahun 1948 Wings telah berproduksi meski sangat sederhana dengan menggunakan minyak kelapa untuk memproduksi sabun cuci, dan menjual dari pintu ke pintu. Selanjutnya WINGS menghasilkan ratusan produk pembersih rumah tangga, dari pasta gigi dan shampo, untuk deterjen dan pembersih porselen. Bukan itu saja mereka juga mempekerjakan ribuan orang di puluhan pabrik manufaktur dan pusat distribusi di seluruh Indonesia. Merek utama seperti Ekonomi, SoKlin, dan GIV dikenal sebagai produk yang sangat baik dan berkualitas.
Dengan kekuatan yang dimilikinya, WINGS mencoba berekspansi dengan mengekspor produk ke beberapa negara di dunia, dari Nigeria sampai Filipina. Wings telah berinvestasi baik integrasi hulu dan hilir. Sehingga memungkinkan bagi mereka menghasilkan secara konsisten produk-produk berkualitas dengan biaya lebih rendah berupa harga jual yang lebih rendah dibanding pesaingnya.
Keberhasilan Wings ini didukung oleh berbagai aspek diantaranya karyawan yang berdedikasi tinggi untuk menghasilkan produk berkualitas dan competitive bagi pelanggan. Dan Wings sendiri yang mampu mempertahankan kualitas sekaligus melakukan efisiensi sehingga saat krisis-pun justru dijadikan pelaung untuk meluncurkan produk seperti Daia yang dipatok dengan harga lebih rendah dari Rinso dan Soklin.
WINGS mendorong perekonomian bukan hanya nasional tapi internasional (khususnya Asia) melalui investasi dalam kapasitas tambahan, memperkenalkan produk-produk inovatif baru, mendorong proyek-proyek perbaikan seluruh organisasi, serta fokus pada human resource fokus kami HR. Sehingga pada akhirnya Wings dapat menjamin kesuksesan di milenium baru mendatang.
Periode sejarah Wings:
- 1948, Ferdinand Katuari dan Harjo Sutanto mendirikan Fa Wings, memproduksi sabun colek skala home industri, melalui sistem door to door. - 1950 sabun mandi Wings mulai dipasarkan. - 1971, membangun perusahaan sabun dan detergen, misal merek Ekonomi.
- 1980, merek Wings Biru dan Dangdut dilepas ke pasaran. Mendirikan PT Unggul Indah Cahaya, produsen alkybenzene, bahan baku produk detergen, bersama beberapa inverstor. - 1983 mendirikan PT Multipack
- 1986 mengembangkan PT Petrocentral (intregasi vertical horizontal)
- 1989, terjun kebisnis keramik; PT Adyabuana Persada, merek Milan dan Hercules. Dan dibidang finance; Bank Ekonomi. Aliansi dengan Lion Corporation mendirikan PT Lionindo Jaya.
- 1990, merek Extra Aktif dan detergen merek So Klin.
- 1991, Fa Wings berganti menjadi PT Wings Surya.
- 1995, membeli plantation PT Damit Mitra Sekawan dan PT Gawi Makmur Kalimantan, menghasilkan oleochemical. Bersama Siam Cement bisnis gypsum dan semen fiber melalui PT Siam-Indo Gypsum Industry (merek Elephant).
- 1998, meluncurkan Daia saat krismon.
- 2000, membeli saham Ecogreen Oleochemical melalui konsorsium
- 2001, mendirikan perusahaan sekuritas, EkoKapital
- 2002 merambah property; Pulogadung Trade Center, bersama Djarum.
- 2003, meluncurkan Mie Sedaap
- WINGS dikenal dari kualitas produk, harga terjangkau, dan dapat dibeli dimanapun berada (terdistribusi secara menyeluruh. Wings berfokus pada kepentingan customer, supplier, company, karyawan. - Wings fokus pada pengembangan sumber daya manusia. Menyadari bahwa orang-orang di Wings sangat penting bagi keberhasilannya. - Misi Wings; meningkatkan-cabang kedua - Tujuan: meningkatkan standar hidup dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan WINGS, hidup terus lebih baik!
Wings menghasilkan produk antara lain toilet sabun, bedak dan bar deterjen, floorcleaners, pelembut kain, dan pembalut untuk market di seluruh Indonesia dan sekitarnya. Sedangkan pabrik ketiga P.T. Lionindo Jaya dibangun di Jakarta bersama-sama dengan Lion Corporation Jepang untuk memproduksi merek seperti Emeron, Halaman Satu, Ciptadent, dan Mama. Produk mereka termasuk shampoo, shower gel, produk perawatan kulit, pasta gigi, dan mencuci piring cair. Setelah lima tahun, merek ini berhasil menangkap pangsa pasar yang signifikan di Indonesia.
Kemudian Wings mengembangkan sayap usahanya secara vertikal dan horizontal, bahkan ke sektor lain seperti bahan bangunan. Dengan tetap berpijak pada filosofi 'To produce Quality and Affordibility at the Convenience of our customers.'
Sejak tahun 1948 Wings telah berproduksi meski sangat sederhana dengan menggunakan minyak kelapa untuk memproduksi sabun cuci, dan menjual dari pintu ke pintu. Selanjutnya WINGS menghasilkan ratusan produk pembersih rumah tangga, dari pasta gigi dan shampo, untuk deterjen dan pembersih porselen. Bukan itu saja mereka juga mempekerjakan ribuan orang di puluhan pabrik manufaktur dan pusat distribusi di seluruh Indonesia. Merek utama seperti Ekonomi, SoKlin, dan GIV dikenal sebagai produk yang sangat baik dan berkualitas.
Dengan kekuatan yang dimilikinya, WINGS mencoba berekspansi dengan mengekspor produk ke beberapa negara di dunia, dari Nigeria sampai Filipina. Wings telah berinvestasi baik integrasi hulu dan hilir. Sehingga memungkinkan bagi mereka menghasilkan secara konsisten produk-produk berkualitas dengan biaya lebih rendah berupa harga jual yang lebih rendah dibanding pesaingnya.
Keberhasilan Wings ini didukung oleh berbagai aspek diantaranya karyawan yang berdedikasi tinggi untuk menghasilkan produk berkualitas dan competitive bagi pelanggan. Dan Wings sendiri yang mampu mempertahankan kualitas sekaligus melakukan efisiensi sehingga saat krisis-pun justru dijadikan pelaung untuk meluncurkan produk seperti Daia yang dipatok dengan harga lebih rendah dari Rinso dan Soklin.
WINGS mendorong perekonomian bukan hanya nasional tapi internasional (khususnya Asia) melalui investasi dalam kapasitas tambahan, memperkenalkan produk-produk inovatif baru, mendorong proyek-proyek perbaikan seluruh organisasi, serta fokus pada human resource fokus kami HR. Sehingga pada akhirnya Wings dapat menjamin kesuksesan di milenium baru mendatang.
Periode sejarah Wings:
- 1948, Ferdinand Katuari dan Harjo Sutanto mendirikan Fa Wings, memproduksi sabun colek skala home industri, melalui sistem door to door. - 1950 sabun mandi Wings mulai dipasarkan. - 1971, membangun perusahaan sabun dan detergen, misal merek Ekonomi.
- 1980, merek Wings Biru dan Dangdut dilepas ke pasaran. Mendirikan PT Unggul Indah Cahaya, produsen alkybenzene, bahan baku produk detergen, bersama beberapa inverstor. - 1983 mendirikan PT Multipack
- 1986 mengembangkan PT Petrocentral (intregasi vertical horizontal)
- 1989, terjun kebisnis keramik; PT Adyabuana Persada, merek Milan dan Hercules. Dan dibidang finance; Bank Ekonomi. Aliansi dengan Lion Corporation mendirikan PT Lionindo Jaya.
- 1990, merek Extra Aktif dan detergen merek So Klin.
- 1991, Fa Wings berganti menjadi PT Wings Surya.
- 1995, membeli plantation PT Damit Mitra Sekawan dan PT Gawi Makmur Kalimantan, menghasilkan oleochemical. Bersama Siam Cement bisnis gypsum dan semen fiber melalui PT Siam-Indo Gypsum Industry (merek Elephant).
- 1998, meluncurkan Daia saat krismon.
- 2000, membeli saham Ecogreen Oleochemical melalui konsorsium
- 2001, mendirikan perusahaan sekuritas, EkoKapital
- 2002 merambah property; Pulogadung Trade Center, bersama Djarum.
- 2003, meluncurkan Mie Sedaap
- WINGS dikenal dari kualitas produk, harga terjangkau, dan dapat dibeli dimanapun berada (terdistribusi secara menyeluruh. Wings berfokus pada kepentingan customer, supplier, company, karyawan. - Wings fokus pada pengembangan sumber daya manusia. Menyadari bahwa orang-orang di Wings sangat penting bagi keberhasilannya. - Misi Wings; meningkatkan-cabang kedua - Tujuan: meningkatkan standar hidup dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan WINGS, hidup terus lebih baik!
NEXIAN
KISAH DAN PENJELASANNYA
Ketika hampir semua industri lokal di Indonesia kisruh atas realisasi perjanjian zona perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina (ACFTA), hanya perusahaan handphone lokal Indonesia, Nexian, yang tidak mau ambil pusing. Demikian pernyataan M. Syakur Usman juru bicara PT Metrotech Jaya Komunika kepada Majalah Globe Asia edisi Maret silam. Ya, perusahaan handset Nexian asal Indonesia seakan tidak terpengaruh dengan berbagai harga miring produk buatan Cina yang semakin membanjiri pasar pascapemberlakuan ACFTA.
Dalam pemberlakuan perjanjian sejak 1 Januari lalu mengenai penghapusan bea masuk, secara otomomatis membuat produk industri rumahan Cina mengancam eksistensi industri besar lokal. Terutama, bagi pengusaha yang selama ini menikmati berbagai jenis fasilitas dan proteksi dari pemerintah menjadi kelabakan.
Dalam pemberlakuan perjanjian sejak 1 Januari lalu mengenai penghapusan bea masuk, secara otomomatis membuat produk industri rumahan Cina mengancam eksistensi industri besar lokal. Terutama, bagi pengusaha yang selama ini menikmati berbagai jenis fasilitas dan proteksi dari pemerintah menjadi kelabakan.
Namun, menurut Presiden Direktur Metrotech Jaya Komunika, Martono Jaya Kusuma, dengan strategi menggandeng jaringan provider komunikasi terkenal seperti Telkomsel, XL, Esia dan Flexi, membuat Nexian menempati posisi kedua setelah Nokia di Indonesia.
Bahkan ketika, terjadi 'demam' BlackBerry dengan percaya diri Nexian membuat terobosan produk NexianBerry dengan mengembangkan rumus 'Qwerty Keypad'. Qwerty keypad merupakan rumusan baku peletakan tombol huruf pada keyboard atau mesin tik.
Produk NexianBerry yang awalnya dipandang sebelah mata, berhasil mencapai prestasi penjualan tertinggi sejak diluncurkan Mei tahun lalu, yaitu sebanyak 1,8 juta unit sebulan atau hampir 21 hingga 22 juta unit setahun.
Bahkan berdasarkan data penjualan distributor besar di Jawa Barat, tahun lalu setiap bulannya produk Nexian diklaim terjual rata-rata sebanyak 120.000 unit lebih besar dibanding Nokia yang hanya mencapai 80.000. Martono Jaya Kusuma pun mengklaim, baru pertama kali begitu banyak konsumen menginginkan produk Nexian dengan pemesanan seperti halnya penjualan Nokia tipe E90, dua tahun lalu.
Semoga saja kelak Nexian mampu menembus pasar Cina, bahkan internasional. Membawa bendera bangsa Indonesia yang selama ini hanya dikenal sebagai penikmat produk asing.
Nexian adalah market leader di bidang penyedia perangkat telekomunikasi tetap (fixed) dan bergerak (mobile) di Indonesia sejak 2006.
* Seluler Award 2010 sebagai The Best Local Brand dan The Best Favourite Music Concept
* Golden Ring Award 2010 sebagai The Best Qwerty Local Brand 2010 (NX-G801), The Best Entry Level Phone 2010 (NX-G330 Dangdut POD) dan The Best Local Brand 2010.
* Golden Ring Award 2009 sebagai The Most Favorite Local Brand.
* Dari majalah Forsel (Kompas Group) pada Desember 2008 product Nexian FP333 dinobatkan menjadi ponsel CDMA Favorit.
Mei 2010, Nexian memperoleh penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia sebagai telepon seluler pertama yang menjadi sarana peluncuran album musik (Grup Musik SLANK – Album Jurus Tandur no. 18). Hal tsb melengkapi eksistensi Nexian sebagai brand local pertama dan satu-satunya yang sempat memiliki instalasi pabrik perakitan di Indonesia membuat perusahaan ini mendapatkan penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai merek local yang berhasil memproduksi sekaligus menjual 100 ribu ponsel hanya dalam waktu 6 bulan.
* Telkom Flexi (Flexi Home, tahun 2006),
* Fren (ponsel CDMA NX970, tahun 2007)
* Indosat StarOne (sebagai mitra tunggal program migrasi dari pita frekuensi 1900MHz ke 800 MHz, tahun 2007),
* XL (NX900 dan NX900 Pelangi, tahun 2009 serta NX G801 – G821, tahun 2010),
* Indosat (NX911 dan NX T911, tahun 2009 serta NX G501-T910, tahun 2010),
* Telkomsel (NX922, tahun 2009 dan NX G912-T901-G381i-G503, tahun 2010).
Sampai Maret 2010, ponsel Nexian telah digunakan oleh lebih dari 5.500.000 masyarakat Indonesia.
Saat ini, Nexian didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia melalui jaringan Selular Shop, Metroshop serta modern channel seperti Carefour, Giant, Hypermart dan lainnya.
KISAH DAN PENJELASANNYA
Matahari kembali menunjukkan taringnya dengan berekspansi di ritel hipermarket.
Pengusaha Mochtar Riady dan anaknya James T. Riady meresmikan toko ritel hipermarket baru dari grup PT Matahari Putra Prima (MPP), yang dibangun di atas tanah seluas 6.500 meter2. MPP yang dulunya bernama PT Matahari Departemen Store, sejak 1997 dibeli sahamnya oleh PT Multipolar, perusahaan di bawah kelompok Lippo.
Hingga 31 Desember 2003, PT Multipolar Corporation Tbk menguasai 43,9602 % saham MPP dan 6,2982% dikuasai oleh PT Lippo E-Net Tbk. Langkah MPP membuka Hypermart ini menjadi tonggak sejarah bagi Matahari Group masuk ke segmen baru ritel hipermarket, menyaingi toko ritel hipermarket yang sudah ada, seperti Carrefour dan Giant.
Selama lebih dari 50 tahun, Matahari sukses mengembangkan Matahari Department Store, Matahari Supermarket dan yang terakhir Matahari Market Place, yang merupakan supermarket untuk segmen premium di Kelapa Gading, Serpong, Metropolis dan GTC di Makasar.
Sebagai tambahan sejak November 2002, MPP juga mengoperasikan 46 kedai Boston Drugs & Pharmacy di dalam supermarketnya guna menunjang konsep belanja di satu tempat (one-stop shopping)
Pengusaha Mochtar Riady dan anaknya James T. Riady meresmikan toko ritel hipermarket baru dari grup PT Matahari Putra Prima (MPP), yang dibangun di atas tanah seluas 6.500 meter2. MPP yang dulunya bernama PT Matahari Departemen Store, sejak 1997 dibeli sahamnya oleh PT Multipolar, perusahaan di bawah kelompok Lippo.
Hingga 31 Desember 2003, PT Multipolar Corporation Tbk menguasai 43,9602 % saham MPP dan 6,2982% dikuasai oleh PT Lippo E-Net Tbk. Langkah MPP membuka Hypermart ini menjadi tonggak sejarah bagi Matahari Group masuk ke segmen baru ritel hipermarket, menyaingi toko ritel hipermarket yang sudah ada, seperti Carrefour dan Giant.
Selama lebih dari 50 tahun, Matahari sukses mengembangkan Matahari Department Store, Matahari Supermarket dan yang terakhir Matahari Market Place, yang merupakan supermarket untuk segmen premium di Kelapa Gading, Serpong, Metropolis dan GTC di Makasar.
Sebagai tambahan sejak November 2002, MPP juga mengoperasikan 46 kedai Boston Drugs & Pharmacy di dalam supermarketnya guna menunjang konsep belanja di satu tempat (one-stop shopping)
Toko hipermarketnya ini menambah panjang jaringan ritel Matahari di seluruh Indonesia, menjadikannya salah satu perusahaan ritel terbesar di Asia Tenggara.
Hingga akhir tahun 2004, menurut Direktur dan Corporate Secretary Matahari, Danny Kojongian, MPP berencana untuk membangun 6 hipermarket baru, dengan alokasi dana Rp15-20 miliar untuk satu hipermarketnya.
Hadirnya Hypermart ini bisa jadi merupakan perwujudan semangat dan ambisi Noel Trinder, yang baru terpilih sebagai Chief Executive Officer (CEO) Matahari Supermarket (MSM) Februari lalu. Menurut Trinder secara total, Matahari akan menginvestasikan dana sebesar Rp1 triliun untuk menunjang strategi ekspansi MSM secara keseluruhan, dalam jangka waktu 3-5 tahun mendatang. Untuk pengembangan Hypermart, dana yang khusus dialokasikan adalah sebesar Rp600 miliar.
“Kami akan terus mengembangkan keberadaan Hypermart dengan membuka kurang lebih 50 hipermarket di berbagai lokasi strategis di Indonesia,” ujarnya. Dana ini di luar dana MSM untuk mengembangkan gerai supermarket konvensionalnya, yang dialokasikan sebesar Rp150 miliar
Optmisme diperlihatkan oleh James T. Riady, Chairman Lippo China Resources Ltd, Hong Kong. Menurut James Matahari sebagai perusahaan publik dengan dukungan 2700 suppliers adalah retailer terbesar yang unik karena multi format.
“Ada department store, supermarket, ada Market Place dan sekarang Hypermart,” ujarnya. Hypermart yang merupakan gabungan dari konsep supermarket dan general merchandize menurut James layak terus dikembangkan dalam 5 tahun yang akan datang. ”Hypermart yang akan datang semuanya akan lebih besar dari ini,” ujarnya. Menurut James, Hypermart harus siap bersaing dengan Carrefour dan Giant yang sudah terlebih dulu hadir.
“Kalau Makro dan Goro beda, itu formatnya cash and carry,” ujarnya. Dengan volume penjualan Rp 6 triliun per tahun menurut James, akan mudah bagi Matahari mendapatkan leverage (daya dongkrak) dari pemasok. Yang kedua, Matahari yang dalam setahun menarik 700 juta pengunjung, otomatis memberikan nilai yang positif, sehingga sinergi marketing-nya juga akan jalan. Yang ketiga, Matahari mempunyai expertise karena sudah berkecimpung di retailing business selama 50 tahun, sehingga, “kalau sekarang masuk ke format baru, saya yakin akan jadi baik,” ujarnya
KISAH DAN PENJELASANNYA
Edward Forrer mungkin terdengar seperti nama orang asing, namun pada kenyataannya ini adalah nama seorang buruh di Bandung pada tahun 1980-an. Edward Forrer – biasa dipanggil Edo – adalah seorang pemuda miskin. Masa-masa kecilnya diliputi kepedihan.
Sering kali ia menyaksikan bagaimana ibunya harus membujuk adik-adiknya meminum air yang banyak untuk mengganjal perut. Edo menjadi tulang punggung keluarga di usia muda ketika ayah dan ibunya bercerai.
Sebagai lulusan SMA, ia tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan selain menjadi buruh kasar.
Ia bekerja di bagian gudang sebuah pabrik sepatu di Bandung, Jawa Barat. Pada tahun 1980-an, Edo mendapat pencerahan untuk mengubah nasibnya. Suatu hari ia membaca sebuah artikel mengenai pengembangan talenta di koran. Artikel itu dibacanya berulang-ulang dan memaksanya berkontemplasi mencari hal yang mungkin menjadi bakatnya.
Butuh waktu cukup lama hingga ia teringat bahwa semenjak sekolah dasar dia sangat senang menggambar. Dia pintar menggambar apa saja. Itu satu-satunya bakat yang dimiliki, meskipun telah lama ia lupakan.
Dengan cepat, Edo menghidupkan bakatnya itu dengan objek yang sudah tidak asing lagi: Sepatu. Edo mengamati model-model sepatu di gudang tempat ia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno. Ia pun mendesain sepatunya sendiri dengan membuat modifikasi tumpukan sepatu yang sehari-hari dilihatnya, dengan tambahan imajinasi dan kreasi. Namun sayang, bos tempatnya bekerja menolak untuk memproduksi desain itu.
Penolakan itu tidak membuat Edo jera, dia tetap rajin membuat desain-desain baru meskipun ia tahu desain tersebut hanya akan berakhir di laci meja.
Pada tahun 1989, Edo mengambil keputusan berani untuk meninggalkan perusahaannya setelah melihat tidak adanya peluang untuk mengubah nasib dari bagian gudang menjadi desainer. Kepada bosnya, Edo mengaku akan membangun usaha yang sama tetapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing.
Dengan bermodalkan sepeda kumbang tua, ia menawarkan produknya dengan cara yang gila; ketika itu ia belum memproduksi satu pun desainnya sehingga ia menawarkan sepatunya hanya dengan gambar yang ia buat. Sial bagi Edo, ide penjualan yang unik ini ditolak mentah-mentah, tak ada yang mau membeli sepatunya.
Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak mentah-mentah terlebih karena ia meminta uang muka terlebih dahulu sebelum sepatunya dibuat, ibu-ibu ketakutan dan menganggapnya penipu.
Untuk menutupi biaya hidup, Edo membuka les private. Tak disangka orang tua murid di tempat Edo mengajar menjadi pelanggan pertama Edo. Mungkin karena belas kasihan, orang tua itu memesan sepasang sepatu dan bersedia membayar uang muka untuk membeli bahan kulit. Edo girangnya bukan main saat mengerjakan pola, menjahit, menempel sol, hingga akhirnya mengantarkan sepatu untuk si ibu.
Sepatu itu dibuat dengan susah payah karena meskipun pandai mendesain, dia tidak begitu pintar menge-sol sepatu. Karena itu ia terlebih dahulu belajar membuat sepatu dengan mesin jahit pertama. Produk pertamanya itu memang dipasarkan dengan cara yang tidak lazim, tetapi hasilnya bagus dan kokoh sehingga si Ibu merasa senang.
Ibu tersebut kemudian memamerkan sepatu buatan Edo ke ibu-ibu lainnya, dari arisan ke arisan, sepatu customized buatan Edo yang kokoh dan tidak pasaran menjadi terkenal dan penjualan meningkat, dari yang tadinya lima order dalam seminggu menjadi lima pesanan dalam sehari. Edo pun mengumpulkan uang dan dengan Rp.200.000 ia merekut dua orang karyawan dan membeli sebuah mesin jahit
Seiring dengan membengkaknya penjualan, Edo tidak lagi menawarkan produknya dengan sepeda kumbang, tetapi membangun showroom kecil-kecilan berukuran 2 x 2 meter di ruang tamu rumahnya. Perkembangan selanjutnya, ia mampu menyewa sebuah toko di Jalan Saad, Bandung, namun karena ternyata tidak laku, ia memindahkan tokonya ke tempat yang lebih besar di Jalan Veteran No. 44 bandung, yang kini menjadi kantor pusat Edward Forrer.
Konsumen Edo yang tadinya ibu-ibu kelas menengah ke bawah pun berangsur angsur berubah menjadi konsumen menengah ke atas. Gerai distribution outlet atau distro mulai dibanjiri orang-orang dari Jakarta.
Selain desain sepatu yang modis, orang-orang di luar Bandung itu tampaknya juga sangat nyaman dengan merek sepatu yang dilabeli dengan nama lengkap Edo: Edward Forrer. Mereka yang tidak tahu mungkin menyangka itu adalah sepatu impor mahal dari Italia.
Padahal sepatu-sepatu itu dibuat di Bandung. Menghadapi pesanan bertubi-tubi, Edo kewalahan dan memutuskan untuk tidak memproduksi sepatunya sendiri. Ia hanya menyediakan desainnya dan menjualnya dengan merek miliknya. Edo juga memantapkan tim kreatif desain dan menjadikannya sebagai bagian paling penting dalam bisnis ini. Ia menargetkan desainernya mampu menelurkan 2 model sandal dan sepatu baru setiap 10 hari.
Edo sang pemimpi kini telah memiliki gerai penjualan di luar negeri untuk mewujudkan mimpinya sebagai pembuat sepatu terbaik di dunia. Ia memiliki satu gerai ada di Malaysia dan Hawaii serta dua di Australia yang dijadikan sebagai kantor pusat urusan luar negeri. “Saya ini pemimpi dan visioner. Selalu punya mimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu,” kata Edo.
Kini Edo tinggal di Australia, menikmati hasil kerjanya; dan sesekali pulang ke Bandung untuk memantau bisnisnya dari dekat.
Sering kali ia menyaksikan bagaimana ibunya harus membujuk adik-adiknya meminum air yang banyak untuk mengganjal perut. Edo menjadi tulang punggung keluarga di usia muda ketika ayah dan ibunya bercerai.
Sebagai lulusan SMA, ia tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan selain menjadi buruh kasar.
Ia bekerja di bagian gudang sebuah pabrik sepatu di Bandung, Jawa Barat. Pada tahun 1980-an, Edo mendapat pencerahan untuk mengubah nasibnya. Suatu hari ia membaca sebuah artikel mengenai pengembangan talenta di koran. Artikel itu dibacanya berulang-ulang dan memaksanya berkontemplasi mencari hal yang mungkin menjadi bakatnya.
Butuh waktu cukup lama hingga ia teringat bahwa semenjak sekolah dasar dia sangat senang menggambar. Dia pintar menggambar apa saja. Itu satu-satunya bakat yang dimiliki, meskipun telah lama ia lupakan.
Dengan cepat, Edo menghidupkan bakatnya itu dengan objek yang sudah tidak asing lagi: Sepatu. Edo mengamati model-model sepatu di gudang tempat ia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno. Ia pun mendesain sepatunya sendiri dengan membuat modifikasi tumpukan sepatu yang sehari-hari dilihatnya, dengan tambahan imajinasi dan kreasi. Namun sayang, bos tempatnya bekerja menolak untuk memproduksi desain itu.
Penolakan itu tidak membuat Edo jera, dia tetap rajin membuat desain-desain baru meskipun ia tahu desain tersebut hanya akan berakhir di laci meja.
Pada tahun 1989, Edo mengambil keputusan berani untuk meninggalkan perusahaannya setelah melihat tidak adanya peluang untuk mengubah nasib dari bagian gudang menjadi desainer. Kepada bosnya, Edo mengaku akan membangun usaha yang sama tetapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing.
Dengan bermodalkan sepeda kumbang tua, ia menawarkan produknya dengan cara yang gila; ketika itu ia belum memproduksi satu pun desainnya sehingga ia menawarkan sepatunya hanya dengan gambar yang ia buat. Sial bagi Edo, ide penjualan yang unik ini ditolak mentah-mentah, tak ada yang mau membeli sepatunya.
Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak mentah-mentah terlebih karena ia meminta uang muka terlebih dahulu sebelum sepatunya dibuat, ibu-ibu ketakutan dan menganggapnya penipu.
Untuk menutupi biaya hidup, Edo membuka les private. Tak disangka orang tua murid di tempat Edo mengajar menjadi pelanggan pertama Edo. Mungkin karena belas kasihan, orang tua itu memesan sepasang sepatu dan bersedia membayar uang muka untuk membeli bahan kulit. Edo girangnya bukan main saat mengerjakan pola, menjahit, menempel sol, hingga akhirnya mengantarkan sepatu untuk si ibu.
Sepatu itu dibuat dengan susah payah karena meskipun pandai mendesain, dia tidak begitu pintar menge-sol sepatu. Karena itu ia terlebih dahulu belajar membuat sepatu dengan mesin jahit pertama. Produk pertamanya itu memang dipasarkan dengan cara yang tidak lazim, tetapi hasilnya bagus dan kokoh sehingga si Ibu merasa senang.
Ibu tersebut kemudian memamerkan sepatu buatan Edo ke ibu-ibu lainnya, dari arisan ke arisan, sepatu customized buatan Edo yang kokoh dan tidak pasaran menjadi terkenal dan penjualan meningkat, dari yang tadinya lima order dalam seminggu menjadi lima pesanan dalam sehari. Edo pun mengumpulkan uang dan dengan Rp.200.000 ia merekut dua orang karyawan dan membeli sebuah mesin jahit
Seiring dengan membengkaknya penjualan, Edo tidak lagi menawarkan produknya dengan sepeda kumbang, tetapi membangun showroom kecil-kecilan berukuran 2 x 2 meter di ruang tamu rumahnya. Perkembangan selanjutnya, ia mampu menyewa sebuah toko di Jalan Saad, Bandung, namun karena ternyata tidak laku, ia memindahkan tokonya ke tempat yang lebih besar di Jalan Veteran No. 44 bandung, yang kini menjadi kantor pusat Edward Forrer.
Konsumen Edo yang tadinya ibu-ibu kelas menengah ke bawah pun berangsur angsur berubah menjadi konsumen menengah ke atas. Gerai distribution outlet atau distro mulai dibanjiri orang-orang dari Jakarta.
Selain desain sepatu yang modis, orang-orang di luar Bandung itu tampaknya juga sangat nyaman dengan merek sepatu yang dilabeli dengan nama lengkap Edo: Edward Forrer. Mereka yang tidak tahu mungkin menyangka itu adalah sepatu impor mahal dari Italia.
Padahal sepatu-sepatu itu dibuat di Bandung. Menghadapi pesanan bertubi-tubi, Edo kewalahan dan memutuskan untuk tidak memproduksi sepatunya sendiri. Ia hanya menyediakan desainnya dan menjualnya dengan merek miliknya. Edo juga memantapkan tim kreatif desain dan menjadikannya sebagai bagian paling penting dalam bisnis ini. Ia menargetkan desainernya mampu menelurkan 2 model sandal dan sepatu baru setiap 10 hari.
Edo sang pemimpi kini telah memiliki gerai penjualan di luar negeri untuk mewujudkan mimpinya sebagai pembuat sepatu terbaik di dunia. Ia memiliki satu gerai ada di Malaysia dan Hawaii serta dua di Australia yang dijadikan sebagai kantor pusat urusan luar negeri. “Saya ini pemimpi dan visioner. Selalu punya mimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu,” kata Edo.
Kini Edo tinggal di Australia, menikmati hasil kerjanya; dan sesekali pulang ke Bandung untuk memantau bisnisnya dari dekat.
POLYTRON
KISAH DAN PENJELASANNYA
percayakah anda bahwa produk elektronika yang bermerek polytron atau digitec adalah produk made in indonesia ? Tahun 1990-an dulu, polytron meluncurkan produk televisi dengan merek ninja dan sumo. Juga produk audio dengan merek asing seperti bassoke. Nah, anda seharusnya bangga sekarang kala mengetahui bahwa merek-merek “asing” di atas sebenarnya 100% merek indonesia.
Merujuk pada tulisan andi suruji di koran kompas (sayang saya tidak menemukan edisi kapan), polytron adalah akronim dari kata poly yang berarti banyak dan kata tron yang adalah singkatan dari kata elektronika. Berarti polytron adalah kumpulan banyak barang elektronika. Secara harafiah tepat karena produk polytron memang bervariasi dari televisi, audio system, kulkas dan ac. Pertanyaannya adalah kenapa sebagai merek asli indonesia harus memakai kata berbau asing seperti polytron atau digitec ini ?
J. Arief hartono, dirut pt hartono istana teknologi menjawab bahwa itulah strategi bisnis untuk menghadapi karakter masyarakat yang tergila-gila dengan produk luar negeri. Apalagi sudah ada persepsi di benak orang indonesia bahwa produk elektronika pastilah identik dengan barang-barang dari jepang. Saya aja dulu juga mengira kalau polytron ini barang impor dari jepang he..he…
saya membuka-buka kliping saya yang berasal dari tulisan sonni (markplus professional service) di koran surya tahun 1996 dengan judul mempersepsi produk. Penulis mengangkat polytron sebagai contoh bagus dalam hal mempersepsi produk.
Target market polytron adalah masyarakat yang menganggap bahwa barang elektronika haruslah buatan jepang. Karena itulah maka brand name polytron dan digitec dipilih dengan diiringi oleh klaim produknya sebagai teknologi jepang dan mengeluarkan produk dengan nama ke-jepang-jepang-an seperti ninja atau sumo.
Menurut penulisnya, inilah kunci sukses polytron menguasai pasar elektronika indonesia yaitu dengan memperhatikan dahulu apa yang ada di benak prospek.
Sejarah polytron dimulai pada tanggal 16 mei 1975, saat pemilik pabrik rokok pt djarum kudus mendirikan perusahaan dengan nama pt indonesia electronic dan engineering dengan penyertaan modal sebesar rp. 50 juta untuk memproduksi barang elektronika. Sebagai industri rokok yang berekspansi ke industri elektronika, sejak awal pemilik perusahaan tidak mau melibatkan pihak maupun modal asing. Sejak berdiri perusahaan ini tidak memiliki prinsipal sehingga tidak harus membayar royalti pada setiap produk yang dihasilkan.
Tahun 1977, perusahaan merekrut 14 perempuan lulusan smea dan sma untuk dilatih menyolder dalam usaha merakit komponen menjadi rangkain produk elektronika. Didatangkanlah komponen-komponen elektronika dari singapura sebagai bahan training 14 karyawan tersebut.
Setelah cukup belajarnya, pada tahun 1977 pabrik di kudus ini mulai mendatangkan komponen dari belgia untuk memulai proses alih teknologi dari philips-mble belgia. Diluncurkanlah produk televisi pertama mereka dengan merek polytron.
Tapi televisi pertama mereka ini gagal di pasaran karena ukuran televisinya yang besar dan masih memerlukan kotak speaker sehingga tidak menarik pembeli yang ingin produk yang praktis. Di sinilah pabrik ini mengalami kegagalan dalam pemasaran.
Produk mereka ditolak oleh toko-toko elektronika bahkan sang dirut pernah diusir oleh toko kala menawarkan polytron ini. Tapi menyadari bahwa mereka adalah pabrik rokok yang ingin menguasai industri elektronika, makanya mereka bersedia menjalani masa-masa sulit itu sebagai kesempatan untuk belajar.
Dari teknologi eropa mereka beralih ke teknologi hongkong. Dari komponen-komponen yang diimpor dari hongkong mereka meluncurkan televisi hitam putih 20 inchi.
Saat itu pula mereka membuka lembaga riset dan pengembangan sendiri sehingga sejak itu mereka menjadi pabrik elektronika dengan desain produk yang diciptakan sendiri. Alih teknologi televisi juga didapat dari kerjasama mereka dengan perusahaan televisi salora dari finlandia (kelak bernama nokia).
Nama perusahaan kemudian berubah dari pt indonesia electronic dan engineering menjadi pt hartono istana electronics, lalu di tahun 2000 berubah lagi menjadi pt hartono istana teknologi. Seiring dengan perubahan namanya, perusahaan ini sudah berhasil mengembangkan teknologi televisi berwarna hemat energi (40 watt) dengan ukuran 17, 20 dan 26 inchi.
Bahkan mereka mampu menghasilkan televisi dengan daya 20 watt saja, yang diklaim sebagai yang pertama di dunia.
Terus terang saya kagum dengan perusahaan ini. Inovasi dan kreativitas para insinyurnya sangat kentara dalam menghasilkan produk yang cerdas dan menarik. Produk yang sebenarnya cukup menarik (tapi sayang sepertinya tidak terlalu diterima pasar) adalah kala meluncurkan produk kulkas yang bisa berfungsi sebagai pendingin tapi juga ada bagian yang bisa berfungsi sebagai pemanas makanan.
Dengan cerdas mereka memanfaatkan energi panas yang terbuang kala proses pendinginan untuk dimanfaatkan sebagai pemanas makanan.
Secara kreatif mereka juga pernah meluncurkan produk televisi yang dilengkapi dengan vcd player di dalamnya. Dan sekarang mereka juga meluncurkan produk televisi lcd yang dilengkapi dengan koneksi usb. Kreatif bukan ?
Saat saya masih kuliah untuk belajar akustik dan fisika bangunan, produk audio bassoke saat itu sering dijadikan sebagai contoh produk yang dengan cerdas memanfaatkan kecenderungan orang-orang pedesaan yang telinganya senang terhadap nada bass ketimbang treble. Dan karena itulah produk audio polytron laris manis karena lebih suka menonjolkan bunyi bass-nya.
Dari sisi marketing, polytron sering dijadikan contoh produk yang awalnya sukses dipersepsi pasar sebagai produk murah tapi berkualitas jepang dan sekarang mulai bermetamorfosis sebagai produk yang juga diterima oleh kalangan atas baik dari produk televisi maupun audio systemnya.
Yang mengherankan, produk audio polytron ternyata berhasil mengalahkan produk-produk papan atas dari jepang dan eropa yang selama ini mendominasi pasar. Berdasarkan survei frontier consulting group di akhir tahun 2006, polytron menempati posisi teratas dalam hal kepuasan pelanggan, di atas merek sony, jvc, aiwa, panasonic, sharp, philips dan sanyo. Dari persepsi pelanggan, polytron dianggap lebih unggul dalam hal kualitas, harga maupun pelayanan konsumen.
Pada tahun 2006, polytron menjadi the best seller 2005 for audio home system and audio recorder dari gfk certified indonesia. Pada tahun itu pula polytron menyabet indonesia customer satisfaction award for radio cassette category versi swa mars.
Tahun 2007, polytron menyabet top brand award dari frontier consulting group dan majalah marketing. Polytron juga meraih the best inovation in marketing award dari majalah marketing. Prestasi yang sama juga diraih pada tahun 2008 dan 2009.
Sekarang, polytron juga mulai mengekspor produknya walau harus merubah bendera supaya diterima pasar lokal eropa. Kata sang dirut di tulisan andi suruji di koran kompas, pasar jerman hanya mau menerima produk polytron kalau bajunya diganti dulu walaupun barangnya sebenarnya 100% complete built-up dari pabrik polytron di kudus. Jadi kalau ada sobat pembaca di eropa, terutama di jerman, yang melihat ada produk elektronika bermerek cancer atau condor, anda seharusnya bangga dan tersenyum karena itu adalah produk elektronika indonesia yang pabriknya ada di kudus.
Merujuk pada tulisan andi suruji di koran kompas (sayang saya tidak menemukan edisi kapan), polytron adalah akronim dari kata poly yang berarti banyak dan kata tron yang adalah singkatan dari kata elektronika. Berarti polytron adalah kumpulan banyak barang elektronika. Secara harafiah tepat karena produk polytron memang bervariasi dari televisi, audio system, kulkas dan ac. Pertanyaannya adalah kenapa sebagai merek asli indonesia harus memakai kata berbau asing seperti polytron atau digitec ini ?
J. Arief hartono, dirut pt hartono istana teknologi menjawab bahwa itulah strategi bisnis untuk menghadapi karakter masyarakat yang tergila-gila dengan produk luar negeri. Apalagi sudah ada persepsi di benak orang indonesia bahwa produk elektronika pastilah identik dengan barang-barang dari jepang. Saya aja dulu juga mengira kalau polytron ini barang impor dari jepang he..he…
saya membuka-buka kliping saya yang berasal dari tulisan sonni (markplus professional service) di koran surya tahun 1996 dengan judul mempersepsi produk. Penulis mengangkat polytron sebagai contoh bagus dalam hal mempersepsi produk.
Target market polytron adalah masyarakat yang menganggap bahwa barang elektronika haruslah buatan jepang. Karena itulah maka brand name polytron dan digitec dipilih dengan diiringi oleh klaim produknya sebagai teknologi jepang dan mengeluarkan produk dengan nama ke-jepang-jepang-an seperti ninja atau sumo.
Menurut penulisnya, inilah kunci sukses polytron menguasai pasar elektronika indonesia yaitu dengan memperhatikan dahulu apa yang ada di benak prospek.
Sejarah polytron dimulai pada tanggal 16 mei 1975, saat pemilik pabrik rokok pt djarum kudus mendirikan perusahaan dengan nama pt indonesia electronic dan engineering dengan penyertaan modal sebesar rp. 50 juta untuk memproduksi barang elektronika. Sebagai industri rokok yang berekspansi ke industri elektronika, sejak awal pemilik perusahaan tidak mau melibatkan pihak maupun modal asing. Sejak berdiri perusahaan ini tidak memiliki prinsipal sehingga tidak harus membayar royalti pada setiap produk yang dihasilkan.
Tahun 1977, perusahaan merekrut 14 perempuan lulusan smea dan sma untuk dilatih menyolder dalam usaha merakit komponen menjadi rangkain produk elektronika. Didatangkanlah komponen-komponen elektronika dari singapura sebagai bahan training 14 karyawan tersebut.
Setelah cukup belajarnya, pada tahun 1977 pabrik di kudus ini mulai mendatangkan komponen dari belgia untuk memulai proses alih teknologi dari philips-mble belgia. Diluncurkanlah produk televisi pertama mereka dengan merek polytron.
Tapi televisi pertama mereka ini gagal di pasaran karena ukuran televisinya yang besar dan masih memerlukan kotak speaker sehingga tidak menarik pembeli yang ingin produk yang praktis. Di sinilah pabrik ini mengalami kegagalan dalam pemasaran.
Produk mereka ditolak oleh toko-toko elektronika bahkan sang dirut pernah diusir oleh toko kala menawarkan polytron ini. Tapi menyadari bahwa mereka adalah pabrik rokok yang ingin menguasai industri elektronika, makanya mereka bersedia menjalani masa-masa sulit itu sebagai kesempatan untuk belajar.
Dari teknologi eropa mereka beralih ke teknologi hongkong. Dari komponen-komponen yang diimpor dari hongkong mereka meluncurkan televisi hitam putih 20 inchi.
Saat itu pula mereka membuka lembaga riset dan pengembangan sendiri sehingga sejak itu mereka menjadi pabrik elektronika dengan desain produk yang diciptakan sendiri. Alih teknologi televisi juga didapat dari kerjasama mereka dengan perusahaan televisi salora dari finlandia (kelak bernama nokia).
Nama perusahaan kemudian berubah dari pt indonesia electronic dan engineering menjadi pt hartono istana electronics, lalu di tahun 2000 berubah lagi menjadi pt hartono istana teknologi. Seiring dengan perubahan namanya, perusahaan ini sudah berhasil mengembangkan teknologi televisi berwarna hemat energi (40 watt) dengan ukuran 17, 20 dan 26 inchi.
Bahkan mereka mampu menghasilkan televisi dengan daya 20 watt saja, yang diklaim sebagai yang pertama di dunia.
Terus terang saya kagum dengan perusahaan ini. Inovasi dan kreativitas para insinyurnya sangat kentara dalam menghasilkan produk yang cerdas dan menarik. Produk yang sebenarnya cukup menarik (tapi sayang sepertinya tidak terlalu diterima pasar) adalah kala meluncurkan produk kulkas yang bisa berfungsi sebagai pendingin tapi juga ada bagian yang bisa berfungsi sebagai pemanas makanan.
Dengan cerdas mereka memanfaatkan energi panas yang terbuang kala proses pendinginan untuk dimanfaatkan sebagai pemanas makanan.
Secara kreatif mereka juga pernah meluncurkan produk televisi yang dilengkapi dengan vcd player di dalamnya. Dan sekarang mereka juga meluncurkan produk televisi lcd yang dilengkapi dengan koneksi usb. Kreatif bukan ?
Saat saya masih kuliah untuk belajar akustik dan fisika bangunan, produk audio bassoke saat itu sering dijadikan sebagai contoh produk yang dengan cerdas memanfaatkan kecenderungan orang-orang pedesaan yang telinganya senang terhadap nada bass ketimbang treble. Dan karena itulah produk audio polytron laris manis karena lebih suka menonjolkan bunyi bass-nya.
Dari sisi marketing, polytron sering dijadikan contoh produk yang awalnya sukses dipersepsi pasar sebagai produk murah tapi berkualitas jepang dan sekarang mulai bermetamorfosis sebagai produk yang juga diterima oleh kalangan atas baik dari produk televisi maupun audio systemnya.
Yang mengherankan, produk audio polytron ternyata berhasil mengalahkan produk-produk papan atas dari jepang dan eropa yang selama ini mendominasi pasar. Berdasarkan survei frontier consulting group di akhir tahun 2006, polytron menempati posisi teratas dalam hal kepuasan pelanggan, di atas merek sony, jvc, aiwa, panasonic, sharp, philips dan sanyo. Dari persepsi pelanggan, polytron dianggap lebih unggul dalam hal kualitas, harga maupun pelayanan konsumen.
Pada tahun 2006, polytron menjadi the best seller 2005 for audio home system and audio recorder dari gfk certified indonesia. Pada tahun itu pula polytron menyabet indonesia customer satisfaction award for radio cassette category versi swa mars.
Tahun 2007, polytron menyabet top brand award dari frontier consulting group dan majalah marketing. Polytron juga meraih the best inovation in marketing award dari majalah marketing. Prestasi yang sama juga diraih pada tahun 2008 dan 2009.
Sekarang, polytron juga mulai mengekspor produknya walau harus merubah bendera supaya diterima pasar lokal eropa. Kata sang dirut di tulisan andi suruji di koran kompas, pasar jerman hanya mau menerima produk polytron kalau bajunya diganti dulu walaupun barangnya sebenarnya 100% complete built-up dari pabrik polytron di kudus. Jadi kalau ada sobat pembaca di eropa, terutama di jerman, yang melihat ada produk elektronika bermerek cancer atau condor, anda seharusnya bangga dan tersenyum karena itu adalah produk elektronika indonesia yang pabriknya ada di kudus.
POLYGON
KISAH DAN PENJELASANNYA
Polygon EssentialApalah arti sebuah nama, demikian Shakespeare pernah berucap. Namun ucapan Shakespeare itu menjadi tak berarti jika menginjak ke ranah industri sepeda. Sebuah nama adalah sebuah identitas. Nama akan menjadi suatu bagian terpenting dari karakter sepeda yang juga akan mewakili jati diri pengendaranya. Identitas itu pula yang menjelma dalam sebuah nama POLYGON.
Polygon EssentialApalah arti sebuah nama, demikian Shakespeare pernah berucap. Namun ucapan Shakespeare itu menjadi tak berarti jika menginjak ke ranah industri sepeda. Sebuah nama adalah sebuah identitas. Nama akan menjadi suatu bagian terpenting dari karakter sepeda yang juga akan mewakili jati diri pengendaranya. Identitas itu pula yang menjelma dalam sebuah nama POLYGON.
Sejak awal berdirinya, POLYGON telah memiliki visi jangka panjang menjadi pemain kelas dunia. Bermula tahun 1989 dari satu kawasan kecil yang namanya tak banyak dikenal orang, Wadungasih Sidoarjo – Jawa Timur, sebuah pabrik sepeda didirikan dengan tekad besar menembus pasar internasional. Sejak berdiri hingga kini, jutaan sepeda telah diekspor ke 5 benua dengan tujuan ekspor lebih dari 50 negara.
Polygon EssentialPengembangan suatu usaha dalam kancah persaingan global memerlukan pondasi yang kuat dalam banyak segi. Berpijak dari dasar itulah maka dipilih nama POLYGON untuk sepeda terbaik bagi dunia. POLYGON dalam arti harafiahnya berarti ‘segi banyak’ dipandang pantas untuk menyandang karakter sebuah produk nasional menuju ketatnya pasar internasional.
Semua segi itulah yang telah dan terus dibangun POLYGON dengan berpijak pada 4 pilar utama: technology, quality, craftmanship, dan support. Inilah sebuah sosok yang terus dan akan terus berkembang, demi menggapai lebih banyak lagi prestasi di kancah internasional.
WIM Cycles
KISAH DAN PENJELASANNYA
PT Wijaya Indonesia Makmur Bicycle Industries adalah produsen terkemuka di Indonesia sepeda. Perusahaan, yang juga dikenal sebagai Wim Cycle, mendominasi pasar lokal dengan pangsa pasar yang signifikan. Dengan lebih dari tiga dekade pengalaman, Wim Cycle juga berhasil di pasar ekspor. Wim Cycle secara konsisten menjadi penyumbang terbesar untuk ekspor Indonesia sepeda selama bertahun-tahun dan sepeda tersebut pada saat ini diekspor ke lebih dari 20 negara di seluruh dunia.
Pada tahun 1976, nama perusahaan berubah menjadi PT Wijaya Indonesia Makmur Bicycle Industries dan diperluas untuk mencakup pembuatan sepeda, serta bagian, di Desa Bambe Driyorejo Industrial Estate.
Pada tahun 1984, perusahaan mulai memproduksi sepeda untuk pasar domestik, dan pada tahun 1987 mulai mengekspor sepeda ke Arab Saudi, serta ke Jerman, Belanda, Italia, Yunani dan negara-negara Eropa lainnya.
Pada tahun 1991, Wim Cycle memulai ekspor sepeda ke Amerika Serikat, memasok jaringan toko-toko besar seperti R 'Us, Toys' Wal-Mart dan Target.
Pada tahun 1994, ekspor WIM siklus produknya ke Kanada, menyediakan hipermarket termasuk Kanada Tire, ZELLERS, SEARS dan Home Hard Ware.
Saat ini perusahaan diekspor ke merek utama seperti LOEKIE, Sparta, musang, Kawasaki, Schwinn, REBOOK serta merek OEM massa lainnya.
Perusahaan terus memperluas pasar ekspor dan tidak pernah melihat ke belakang sejak saat itu. Pabrik dan Kontrol Kualitas
Wim Cycle menempatkan prioritas tertinggi pada inspeksi yang presisi dan quality control yang ketat untuk memastikan produk bebas dari cacat dan bahwa mereka memenuhi standar keamanan. Tes-tes tersebut dilakukan oleh teknisi pengendalian mutu dengan menggunakan peralatan laboratorium modern.
Pada tahun 2008, Wim Cycle ISO 9001:2008 dicapai No.13825 Cert.
Di pasar domestik, wimcycle adalah merek terkenal: * Wimcycle telah diberikan oleh Superbrand pada tahun 2005 - 2009
selama 5 tahun terakhir terus menerus
* Wimcycle telah diberikan oleh panel TOP BRAND di tahun 2007,, 2008
2009 selama 3 tahun terus-menerus
* Wimcycle telah diberikan oleh TOP BRAND KIDS pilihan tahun ini
* Wimcycle tahun ini telah membuat ke ORIGINAL 250 merek TOP
INDONESIA Merek
Saat ini perusahaan telah datang jauh dari sebuah industri rumah kecil di Surabaya pusat memproduksi bagian-bagian sepeda ke pemimpin pasar dalam industri sepeda baik domestik dan internasional. Jalan menuju sukses tidak selalu mulus. Pertumbuhan perusahaan secara langsung terkait dengan kepuasan konsumen, yang merupakan dasar dari komitmen perusahaan.
Wim Cycle berpendapat bahwa ia memiliki tugas untuk melestarikan bumi untuk generasi mendatang. Ini akan terus melindungi lingkungan dengan mempromosikan transportasi sepeda sebagai solusi terhadap masalah pencemaran di Indonesia dan dunia saat ini.
CFC
PT Wijaya Indonesia Makmur Bicycle Industries adalah produsen terkemuka di Indonesia sepeda. Perusahaan, yang juga dikenal sebagai Wim Cycle, mendominasi pasar lokal dengan pangsa pasar yang signifikan. Dengan lebih dari tiga dekade pengalaman, Wim Cycle juga berhasil di pasar ekspor. Wim Cycle secara konsisten menjadi penyumbang terbesar untuk ekspor Indonesia sepeda selama bertahun-tahun dan sepeda tersebut pada saat ini diekspor ke lebih dari 20 negara di seluruh dunia.
Sejarah
Wim Cycle didirikan pada tahun 1972 dengan nama CV Indonesia Makmur oleh Bapak Hendra Widjaja. Perusahaan bagian sepeda mulai dari manufaktur di Surabaya pusat.Pada tahun 1976, nama perusahaan berubah menjadi PT Wijaya Indonesia Makmur Bicycle Industries dan diperluas untuk mencakup pembuatan sepeda, serta bagian, di Desa Bambe Driyorejo Industrial Estate.
Pada tahun 1984, perusahaan mulai memproduksi sepeda untuk pasar domestik, dan pada tahun 1987 mulai mengekspor sepeda ke Arab Saudi, serta ke Jerman, Belanda, Italia, Yunani dan negara-negara Eropa lainnya.
Pada tahun 1991, Wim Cycle memulai ekspor sepeda ke Amerika Serikat, memasok jaringan toko-toko besar seperti R 'Us, Toys' Wal-Mart dan Target.
Pada tahun 1994, ekspor WIM siklus produknya ke Kanada, menyediakan hipermarket termasuk Kanada Tire, ZELLERS, SEARS dan Home Hard Ware.
Saat ini perusahaan diekspor ke merek utama seperti LOEKIE, Sparta, musang, Kawasaki, Schwinn, REBOOK serta merek OEM massa lainnya.
Perusahaan terus memperluas pasar ekspor dan tidak pernah melihat ke belakang sejak saat itu. Pabrik dan Kontrol Kualitas
Wim Cycle menempatkan prioritas tertinggi pada inspeksi yang presisi dan quality control yang ketat untuk memastikan produk bebas dari cacat dan bahwa mereka memenuhi standar keamanan. Tes-tes tersebut dilakukan oleh teknisi pengendalian mutu dengan menggunakan peralatan laboratorium modern.
Pada tahun 2008, Wim Cycle ISO 9001:2008 dicapai No.13825 Cert.
Di pasar domestik, wimcycle adalah merek terkenal: * Wimcycle telah diberikan oleh Superbrand pada tahun 2005 - 2009
selama 5 tahun terakhir terus menerus
* Wimcycle telah diberikan oleh panel TOP BRAND di tahun 2007,, 2008
2009 selama 3 tahun terus-menerus
* Wimcycle telah diberikan oleh TOP BRAND KIDS pilihan tahun ini
* Wimcycle tahun ini telah membuat ke ORIGINAL 250 merek TOP
INDONESIA Merek
Saat ini perusahaan telah datang jauh dari sebuah industri rumah kecil di Surabaya pusat memproduksi bagian-bagian sepeda ke pemimpin pasar dalam industri sepeda baik domestik dan internasional. Jalan menuju sukses tidak selalu mulus. Pertumbuhan perusahaan secara langsung terkait dengan kepuasan konsumen, yang merupakan dasar dari komitmen perusahaan.
Wim Cycle berpendapat bahwa ia memiliki tugas untuk melestarikan bumi untuk generasi mendatang. Ini akan terus melindungi lingkungan dengan mempromosikan transportasi sepeda sebagai solusi terhadap masalah pencemaran di Indonesia dan dunia saat ini.
CFC
CFC (California Fried Chicken) sudah terkenal dengan cita rasa ayam gorengnya yang nikmat dan gurih. Tahukah Anda bahwa perusahaan ini merupakan perusahaan Indonesia. Memang nama yang dimiliki perusahaan ini sangat mencerminkan Negara Amerika. Namun ternyata produknya murni asal Indonesia. Kebanggaan yang dimiliki CFC terletak pada ciri khas rasanya yang sebanding dengan ayam goreng asal Amerika. Awalnya, perusahaan ini bernama California Pioneer Chicken. Namun sejak tahun 1988, namanya diganti menjadi California Fried Chicken hingga sekarang
BYON
BYON
di saat persaingan pasar notebook di indonesia, ada satu produk namanya byon. yap, produk ini terkenal murah, kenapa? karena ini produk indonesia gan . jadi kalo buat di indonesia ga kena pajak macem macen gan, so jadi lebih murah gan..
kalo soal kualitas? byon sendiri mempunyai konsep unik yaitu konsep notebook yg dapat di upgrade menjadi komputer destkop gan. produk ini juga ga kalah ama produk2 lain gan.. kehadiran byon juga membuktikan bahwa indonesia juga mampu membuat teknologi canggih gan !!
EIGER DAN BODYPACK
biasanya kalo agan agan liat bodypack, pasti ada eiger. kenapa gan? karena bodypack dan eiger ini masih dalam satu induk gan . berpusat di bandung gan (ada yg dibandung gan? ) . kedua produk ini terkenal dengan produk tasnya gan . loh terus bedanya apa gan??
bodypack : tasnya lebih ke style atau wisata
eiger : untuk berbau alam, ga salah di kalangan pencinta alam eiger sudah tidak asing lg gan.
EXSPORT
Selain Eiger dan Bodypack, produk tas terkenal lainnya juga asli dari Indonesia yaitu Exsport. Kualitasnya gak kalah ama pesaingnya gan
Jeans LEA
wah ini produk indonesia gan? benar ! ini produk indonesia loh gan.. walopun agan ngeliat toko dan iklannya berbau amerika, tp jgn salah ini tetap produk murni indonesia kok gan . kalo kualitas? wah sudah pasti terjamin gan.. hampir di semua mall mall ada yg jual nih produk gan . lea pun ga pernah minder kalo sejajar ama produk produk lokal di mall mall gan
(ialah sama sama produk lokal gan)
(ialah sama sama produk lokal gan)
Post a Comment Blogger Facebook