Oleh:
Arswendo Atmowiloto
Budayawan
Mukidi menghilangkan batas antara dunia maya dan dunia nyata. Sosok lelaki yang diakui berasal dari Cilacap, atau Madura, atau mana saja ini, sebenarnya adalah tokoh fiktif yang disejajarkan dengan nama legen lain, seperti Wonokairun, Mandoblang, dan atau Abunawas. Namun, di media sosial sosoknya memiliki wujud.
Bahkan, ada sarasilah, pohon asal-usul keluarga sampai lima generasi, baik yang laki-laki maupun perempuan berawalan nama Mu.
Ada juga foto keluarga Mukidi dengan istri dan anak-anak, semua berwajah sama. Kini bahkan beredar pesan pendek dari Mega untuk PDI-P untuk mencalonkan Mukidi, dan bukan Ahok. Karena ternyata Mukidi lebih populer.
Tentu saja puluhan, atau ratusan, humor dengan tokoh utama Mukidi sebagai dengan materi humor lama, atau klasik, atau yang dulu menggunakan nama bukan Mukidi.
Mukidi berbeda nasib dengan dinosaurus yang punah. Mukidi memakai jurus manjing ajur ajer, mengikuti waktu dan tempat, dan mewujud dalam meme. Ia terus menyebar, memviral tanpa bisa dihentikan-kecuali nanti berhenti dengan sendirinya.
Bentuk meme akan terus menyebar ke jutaan pemilik ponsel selama unsur humor dan terasakan aktualitasnya. Dengan menduelkan melawan Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta, Mukidi seakan nyata, aktual, sekaligus ngetren, keren, dan beken.
Medsos berkeadilan
Media sosial (medsos) mengubah dunia humor di sini. Salah satu ciri, sekali lagi, lumernya batas-batas antara subyek-pelawak, pembuat humor, komedian-dan obyek yang menjadi sasaran atau materi humor.
Kita tak tahu siapa yang membuat meme Mukidi yang sungguh lucu, sungguh menohok, sungguh membuat berterima kasih. Bahkan, kita tak tahu siapa yang "menghidupkan kembali" sosok Mukidi. Termasuk foto yang benar-benar bernama Mukidi dengan nama terpasang di dadanya. Demikian juga dengan perubahan sasaran atau obyek.
Pada Orde Baru, grup lawak Bagito pernah kena protes dan sanksi karena dianggap melecehkan atau meremehkan tokoh hansip-karakter yang sudah dimunculkan sejak Bagito siaran melalui radio.
Bagito adalah contoh menarik grup lawak yang tetap kritis-tidak selalu berarti kritik, tidak tergoda menambah amunisi panggung dengan perempuan semlohe atau kebanci-bancian, dan bukan model "melempar kue ke wajah". Batasan yang membebani Bagito masa itu kini tak terasakan.
Medsos, sebagai media membebaskan dan tidak membebani dengan syarat tertentu meneruskan keberanian dalam diri humor. Keberanian, kritis, mempertanyakan sesuatu adalah model humor Mukidi, Abunawas, Petruk Gareng, Sabdo Palon-Naya Genggong, yang tertanggalkan dalam apa yang disebut stand up comedy, komedi tunggal.
Komika baru ini cerdas, lucu, tetapi bisu terhadap keadaan sosial. Barang kali karena dibatasi adanya juri atau komentator, atau juga penguasa siaran, sehingga yang muncul adalah kesan aman dan suara tertentu di-blur.
Dari sisi ini, peran dan posisi medsos memiliki keunggulan, yang memungkinkan tradisi "berani bersuara". Subyek dan obyek tak lagi hansip, tetapi juga menteri atau bahkan presiden sekalipun.
Dalam bahasa humor yang dilontarkan kelompok Ihik3, satu-satunya grup pemerhati humor yang tersisa, dijuduli Humor yang Adil dan Beradab. Adil bagi semua: ya obyek, ya subyek , ya kita yang bisa tertawa tanpa kecurigaan.
Rokok hingga pengganti
Saya ambil contoh ketika harga rokok di-hoax-kan akan seharga Rp50.000. Yang muncul adalah meme Menteri Susi Pudjiastuti yang berang meneriakkan, "Siapa berani menaikkan harga rokok akan saya tenggelamkan."
Audiens medsos tahu Menteri Susi adalah perokok. Prestasinya antara lain menenggelamkan kapal pencuri ikan. Maka ancaman itu pun terasa.
Pada gambar berikutnya tampak gambar Presiden Jokowi menjawab pertanyaan siapa yang menaikkan harga rokok.
"Saya. Ada masalah?"
Meme diakhiri Menteri Susi yang "guling-guling"-ini idiom percakapan dunia medsos-sambil berkata, "Bercanda Pak, gitu aja marah.."
Di medsos, orang juga mengusik nama Luhut B Panjaitan. Yang ketika Kuntoro Mangkusubroto tidak lagi menjabat Kepala Staf Kepresidenan, Luhut menggantikannya.
Ia juga jadi pengganti ketika Tejo Edi sebagai Menko Polhukam, atau kemudian Rizal Ramli, dan terakhir Menteri ESDM Archandra Tahar. Maka, ketika pengibar Paskibraka bernama Gloria Natapraja Hamel sempat tak bisa ikut upacara, orang bilang jangan-jangan diganti Jenderal Luhut.
Sesungguhnyalah Mukidi melalui medsos menemukan bentuk keberanian yang lucu, juga haru, tidak saru, dan tidak mengganggu. Ini yang disyukuri ketika cara kritis makin menipis atau berubah menjadi sangat kasar.
Mudiki sosok yang bisa menampung itu: bahkan bisa dipertanyakan apakah dia dwiwarga negara atau tidak, misalnya.
Mukidi adalah. ah sudahlah. Mari bersenandung lagu "Bengawan Solo" karya Gesang. "Bengawan Solo, riwayatmu kidii...."
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 30 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Mukidi dalam Humor yang Adil dan Beradab".
Sumber
Post a Comment Blogger Facebook