Tidak bisakah kita mementingkan esensi saling menghargai pilihan selama tidak merugikan/menyakiti alam dan segala isinya, hidup rukun bergotong-royong tanpa harus berseteru memperebutkan kavling surga?
Harus diakui, berita walikota London yang baru, Sadiq Khan, menjadi gegap gempita hanya karena statusnya sebagai seorang muslim. Hal tersebut membuat sepak terjang prestasi politik beliau sebagai pejuang HAM, anggota parlemen dan Menteri Transportasi seakan tidak bermakna. Mayoritas media di Indonesia juga kurang tertarik membahas bahwa beliau berasal dari partai “kiri”, barangkali khawatir merusak euforia umat.
Kekurangpahaman akan ideologi “kiri” di negeri ini nyaris serupa dengan kekurangpahaman akan “persaingan” antara Yahudi, Kristen dan Islam yang seklise perseteruan antar saudara kandung yang saling mengklaim memperebutkan warisan. Di samping tanah suci (Yerusalem) dan banyak nabi yang sama, ketiganya juga bukan hanya satu ras, melainkan satu darah: keturunan Abraham. Yahudi dan Yesus sebagai keturunan Ishak, Muhammad sebagai keturunan Ismail – meski dipisahkan sejarah ratusan tahun di antara mereka.
Di luar perbedaan yang sering dibesar-besarkan oleh dengan cara saling “mengkafirkan” tersebut, ketiga saudara kandung ini sebetulnya mempunyai banyak persamaan.
Puasa
Yahudi memiliki tradisi berpuasa beberapa waktu dalam setahun untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting. Yang terutama adalah peringatan Yom Kippur, di mana mereka berpuasa (makan/minum/berhubungan seks) selama 25 jam dan menghabiskan waktu di tempat ibadah. Aspek utamanya adalah Teshuvah (bertobat, kembali pada Sang Pencipta), dan membenahi kesalahan dengan sesama.
Yesus diceritakan berpuasa 40 hari penuh di padang gurun dengan tidak makan sama sekali. Puasa ekstrim seperti ini dulu juga dilakukan Nabi Elia dan Nabi Musa. Yesus pun menyerukan:
“Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Matius 6:17-18)
Puasa, dalam setiap agama termasuk juga Islam, dipercaya melatih kerendahan hati, supaya manusia merasakan sebagai makhluk lemah dan membutuhkan Tuhannya. Tetapi kenapa orang Kristen sekarang tidak lagi berpuasa? Sampai pertengahan abad ke-20, umat Katolik masih berpuasa tiap Sabtu malam sampai Minggu siang setelah ibadah. Hingga kemudian muncul tren ibadah pada Minggu malam. Oleh Paus Pius XII pada tahun 1950, puasa 24 jam setiap minggu yang dirasa terlalu memberatkan tersebut, diubah menjadi puasa 3 jam sebelum ibadah.
Sedekah
Yahudi mewajibkan sumbangan Tzedakah minimal 10% penghasilan mereka. Kristen dan Katolik pun demikian, yang disebut perpuluhan. Sementara dalam Islam terdapat kewajiban berzakat dengan jumlah minimal 2,5%.
Jilbab
Tradisi jilbab sudah dimulai pada masa Assyria. Kala itu, para wanita terhormat diwajibkan memakai jilbab untuk membedakan dengan wanita rampasan perang dan budak. Pada tradisi Yahudi, penutup kepala digunakan untuk membedakan orang-orang Yahudi dengan non-Yahudi. Penutup kepala digunakan oleh orang Yahudi dan Kristiani awal (abad ke 5 M) terutama untuk ke tempat ibadah, sebagai simbol tunduk pada Tuhan dan suami, juga simbol kerendahan hati (supaya wanita tidak malah sibuk ingin menarik perhatian dengan bersolek).
Tapi, ya, manusia, bosan dengan penutup kepala sederhana, malah diganti dengan topi yang semakin trendi (topi lebar berhias untuk para ningrat). Abad ke-19, penutup kepala di gereja tinggal tradisi dan fashion. Ketika tren topi berakhir tahun 1960-an, berakhir pulalah tren penutup kepala di gereja, kecuali biarawati dan komunitas Yahudi/gereja kuno tertentu.
Dari simbol kerendahan hati menjadi tren fashion, komersialisasi jilbab di tanah air hanyalah mengulang sejarah.
Sunat
Perintah sunat diberikan oleh Abraham dalam kitab Taurat Yahudi. Ini adalah simbol materai darah antara orang Yahudi dan Tuhannya. “Haruslah dikerat kulit khatanmu, dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu.” (Kitab Kejadian 17:11)
Yesus pun dulu mengikuti tradisi sunat Yahudi, 8 hari setelah lahir. Lalu mengapa sekarang tidak ada sunat umat Kristiani? Murtad? Huss… suudzon. Jadi setelah Yesus wafat dan para muridnya mengajar, ada kejadian sebagai berikut:
“Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajar kepada saudara-saudara di situ: Jika kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan Musa, kamu tidak dapat diselamatkan. Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu.” (Kisah Para Rasul 15:1-2)
Sejak saat itu, para rasul menekankan “sunat hati” sebagai esensi sunat sebenarnya.
“25Sunat memang ada gunanya, jika engkau mentaati hukum Taurat; tetapi jika engkau melanggar hukum Taurat, maka sunatmu tidak lagi ada gunanya. 28Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang disebut sunat , bukanlah sunat yang yang dilangsungkan secara lahiriah.” (Roma 2)
Dari ayat itu, para rasul merombak bukan cuma tradisi sunat, tapi juga eksklusivitas agama Yahudi di mana hanya keturunan murni Yahudi yang boleh memeluk Judaism. Itu sebabnya agama baru yang disebarkan Yesus disebut Katolik, dari bahasa Yunani katholikos yang berarti universal.
Tidak Makan Babi
Orang Yahudi dan Yesus tidak makan babi. Dalam Kitab Ulangan di Alkitab (yang mana sama dengan kitab Taurat Yahudi) disebutkan: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimakan, bangkainya tak boleh disentuh.”
Lalu kenapa sekarang orang-orang Kristen “gagal” melaksanakan perintah Tuhan? “Gagal” itu sebetulnya hanyalah istilah orang nyinyir, sebab alasan utamanya ada pada sejarah. Babi adalah hewan ternak yang sangat mudah dipelihara dan cepat beranak pinak. Makanannya enggak rewel, bisa makanan apapun makanan sisa tuannya.
Nah, karena alasan selera makan babi tersebut, pada abad ke 15 SM bangsa Mesir menganggap babi itu terlalu jorok dan hanya pantas dimakan orang miskin. Ketika Mesir menaklukkan bangsa-bangsa di sekitarnya (termasuk bangsa Yahudi dan Arab), mereka menyebarkan budaya anti-babi. Tapi pada akhir zaman perunggu, ketika bangsa Yunani dan Romawi bergantian menaklukkan Israel, mereka membawa serta babi Eropa dalam menu sehari-hari.
Sikap pro-babi ini diperkuat penafsiran dari Kitab Markus 7:14-19 (setengah Alkitab sama dengan kitab Taurat Yahudi, setengahnya lagi kitab yang ditulis murid-murid Yesus – di antaranya Kitab Markus ini):
“Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka: ‘Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.’” Jadi, semua makanan dan minuman itu HALAL.
Kalau memang babi diharamkan karena makanannya jorok (makanan sisa sayur, buah, daging, tulang, sampai tokai), harusnya ikan mas dan lele diharamkan juga dong, ya enggak? Di desa-desa di Tiongkok, banyak toilet dibangun di atas kandang babi, sedangkan di sini pemandangan lumrah ada MCK dibangun di atas kolam.
Nah, ketika orang yang puasa/tidak, berzakat/tidak, berpeci & berjilbab/tidak, sunat/tidak, makan babi/tidak, sama-sama ada yang baik dan jujur, ada pula yang terus-terusan korupsi atau tega merampok/memperkosa/membunuh, sebetulnya apa sih yang kita ributkan?
Tidak bisakah kita mementingkan esensi saling menghargai pilihan selama tidak merugikan/menyakiti alam dan segala isinya, hidup rukun bergotong-royong tanpa harus berseteru memperebutkan kavling surga?
Atau harapan ini terlalu muluk-muluk?
Post a Comment Blogger Facebook