GuidePedia

0



Kepada Pengusaha dan Penguasa di Indonesia
Bencana Asap ini, Karena Kalian Terlalu Serakah dan Tuhan Marah!
Baiklah, saya akan (COBA) berhenti mengeluh soal asap. Karena ada yang ngomentari, saya ini hanya pintar mengkritisi tanpa bisa ngasi solusi?

Jelas bukan kapasitas saya, jika diminta bicara soal solusi dari bencana yang sudah menahun. CATAT! Ini bencana 17 tahun saudara-saudara. Jika tiga Presiden saja tidak bisa mengatasinya, apalagi saya yang cuma seorang Ibu rumah tangga biasa ?!?

Tapi ya sudahlah, saya akan coba memberikan beberapa solusi, sambil kita berdiskusi sama-sama.

Saya bersyukur sekali, bisa bertemu dengan seorang sahabat. Saya biasanya memanggil Cik Sondha. Beliau alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan asli Riau. Kami berdiskusi banyak hal soal bencana asap ini.

Ia mengatakan, sebenarnya sejarah kabut asap di Riau ini sudah ada sejak tahun 1991. Ketika itu Cik Sondha sudah melakukan riset di Kampar dan Pekanbaru pernah gelap karena asap selama satu bulan. Itulah awal-awal pertama masyarakat Riau mengenal kabut asap (sebelumnya tidak pernah ada).

‘’Tapi saya heran, mengapa orang tak pernah memasukkan hitungan tersebut dan menyebut bencana asap di Riau sejak tahun 1997. Padahal aslinya sudah 24 tahun!,’.

Kemungkinan baru dihitung sejak tahun 1997, karena memang saat itulah kabut asap kian parah di Riau dan Kalimantan. Bahkan asap ketika itu pertama kali sampai ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Brunei.

Namun kabut asap benar-benar baru menghentak, ketika asap dipastikan menjadi penyebab awal terjadinya tragedi kecelakaan pesawat terbesar dalam sejarah dunia penerbangan Indonesia.

26 September 1997. Penerbangan tujuan Pekanbaru ketika itu seluruhnya dialihkan. Bandara Pekanbaru tak bisa untuk landing pesawat karena tertutup kabut asap. Pesawat Garuda Indonesia GA 152 yang membawa 222 penumpang dan 12 awak, juga harus dialihkan ke Medan.

Pilot Hance Rahmowigoyo yang sudah berpengalaman 20 tahun, ketika itu harus meminta bantuan Air Traffic Control (ATC), karena jarak pandangnya tertutup kabut asap.

Namun karena salah komunikasi dan pilot ‘buta’ orientasi, pesawat naas justru menabrak gunung Sibayak, Kabupaten Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Saat itulah Indonesia dan dunia mulai tersentak, asap merenggut nyawa dalam jumlah banyak.

Sejak itu pula, pertama kali sekolah di Riau mengenal hari libur di luar tanggal merah dan hari besar. Namanya, libur asap.

Itu 17 tahun lalu. Namun negara tak pernah belajar. Tahun-tahun berikutnya, kabut asap selalu ada. Begitu masuk musim kemarau, rakyat Riau akan bersiap-siap menyambut datangnya asap.

Ada asap pasti ada api. Titik api berasal dari lahan dan hutan yang terbakar. Meski tak menjadi daerah sumber titik api, namun tahun ini asap di Riau sampai ke level paling terparah dalam sejarah.

Jadi ingat suara abang saya di Pekanbaru beberapa hari lalu, yang teriak-teriak di seberang telepon ‘’Af, gawat. Pohon mangga depan rumah hilang ditelan asap!,’’. Jarak pandang saat itu cuma tersisa dua meter saja! (Ini bukan ngeluh lho ya. Cuma cerita. Sekalian tolong bayangin bagaimana rasanya)

Mengapa asap di Riau tahun ini begitu betah berbulan-bulan tak kunjung hilang? Penyebabnya karena Sumatera Selatan dan Jambi, dua Provinsi tetangga yang biasanya relatif aman-aman saja, tahun ini malah membara.

Jumlah titik api di dua Provinsi itu bahkan pernah sampai ke angka 1.500 titik lebih. Bayangkan, ‘neraka’ seperti apa yang sedang menyala di sana. Nah, sialnya, karena faktor El Nino yang menyebabkan kemarau jadi lebih panjang, tambah faktor arah angin, membuat asap dari dua Provinsi itu bergerak ke arah Riau.

Jadi, masalahnya di El Nino dan angin dong? TIDAK!

Persoalan asap ini tak bisa diurai dengan yang tampak dengan mata telanjang saja. Mari kita coba urai cerita di balik berita. Untuk kita pikirkan sama-sama, apakah saya hanya berkhayal, otak saya sudah rusak hingga meracau, atau memang ada yang sedang disembunyikan di negeri ini.

Masyarakat Indonesia perlu tahu, bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan, mayoritas terjadi di lahan gambut. Bagi yang ngerti karakter gambut, pasti heran dan bertanya, bukankah lahan gambut itu harusnya memiliki kelembapan tinggi karena bagian bawahnya dipenuhi air? Lalu kenapa bisa terbakar?

Begini penjelasan sederhananya.

Era tahun 1990-an, negara begitu jor-joran memberikan izin perluasan perkebunan pada banyak perusahaan. Lahan yang masih tersedia luas saat itu hanya ada di Sumatera dan Kalimantan (because of Java, sudah penuh kali ya...). Ketika izin keluar, pihak perusahaan harus mengubah hamparan luas lahan gambut yang basah, menjadi dataran perkebunan yang kering.
Maka mulailah dibuat kanal-kanal dalam jumlah besar, agar air-air yang ada di lahan gambut mengering. Semua cara pun dilakukan dengan mengubah ekosistem pemberian Tuhan. Rawa gambut yang semula basah, dibuat kering untuk bisa menjadi tegakan pohon yang kuat.

Maka jadilah sim salabim, dalam hitungan tahun saja, hamparan lahan gambut berubah menjadi lahan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Untuk apa? Perlu diingat, Riau merupakan salah satu daerah industri pulp and paper terbesar di dunia, selain industri sawit. Catat! Di dunia lho ya...!

Lalu bagaimana dengan nasib gambutnya? Ya itulah, KERING! dan tahukah anda, bila gambut sudah kering, maka sifatnya seperti kayu bakar. Gambut yang tadinya basah, kini sudah menjelma menjadi bahan bakar. Beratus ribu hektar. Hanya cukup sepercik api saja, Whuuuuuuuuuuuussssssss....membara kemana-mana. Dalam kurun waktu yang lama. Karena kedalaman gambut Sumatera khususnya Riau, termasuk yang terdalam di dunia. Catat lagi, di dunia lho yaaaaa..

Dan tahukah rakyat Indonesia, bahwa gambut yang terbakar, TIDAK MENJADI ABU! Ketika sudah terbakar, lalu didiamkan beberapa bulan dan malah menjadi pupuk yang sangat sehat untuk tanaman. Gambut yang sudah terbakar justru semakin padat, semakin bagus untuk tegakan pohon karena akarnya akan semakin mencengkram. Jadi, jika ada kecurigaan bila ‘kayu bakar’ itu memang disiapkan dan justru dijaga, wajar toh?

Dan tahukan anda, ini salah satu entry point terpentingnya. Untuk menyiapkan ratusan ribu lahan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, cara yang paling murah meriah ya dengan membakar.

Kalau diolah biasa manual atau menggunakan mekanisasi alat berat untuk land clearing (pembersihan lahan), itu akan membutuhkan biaya yang suangaaaat mahal. Misalnya dengan land clearing akan membutuhkan biaya Rp2 juta per hektar, maka bila dibakar modalnya cuma Rp200 perak untuk beli korek api. Tambah Rp2 ribu untuk beli kopi anak buah si toke yang bakar. Enteng kan?

Data sebuah study mengungkapkan, proses deforestasi dan degradasi hutan alam di Provinsi Riau berlangsung sangat cepat. Selama kurun waktu 5 tahun (2002-2007) Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 1.044.044 hektare. Itu hutan pemberian Tuhan yang dihilangkan oleh tangan-tangan manusia serakah.

Pada tahun 2002 tutupan hutan alam di Provinsi Riau masih meliputi 43 persen (3.523.155 hektar) dari luas daratan Provinsi Riau 8.225.199 Ha (8.265.556,15 hektar setelah dimekarkan). Pada tahun 2007 hutan alam yang tersisa hanya 2,479,111 ha (30 persen dari luasan daratan Riau). Selama Priode ini, Provinsi Riau rata-rata kehilangan 208.808 hektar/tahun dan selama periode 2005 - 2006 saja hutan alam yang hilang mencapai 384.577 hektare. Luar biasa sadisnya !!!

Seiring semakin berkurangnya hutan lahan kering dataran rendah Riau, keberadaan hutan rawa gambut yang menjadi ekosistem alami, benar-benar terancam. Coba aja lihat perbandingannya. Tutupan hutan alam Lahan gambut/ Rawa gambut di Riau pada tahun masih 2002 masih 2.280.198 ha. Pada tahun 2007 hanya tersisa 1.603.008 ha.

Selama Priode ini, Provinsi Riau rata-rata kehilangan 135.438 hektar/tahun dan dalam waktu 5 tahun (2002-2007) Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam atau rawa gambut seluas 677.190 hektar atau 19 persen dari total hutan alam yang tersisa di tahun 2002. (Silahkan urut dada bagi pencinta lingkungan. Sekali lagi, saya sedang tidak mengeluh lho yaaaa...).

Oke, pasti ada yang bertanya, bukankah membuka lahan sawit dan hutan tanaman industri itu membuka lapangan kerja? Ekonomi masyarakat bukannya terbantu? BETUL SEKALI!
Tapikan semua harus ada ambang batasnya. Alam juga punya batas daya dukung, batas untuk bertoleransi dengan manusia-manusia serakah. Jika sudah keterlaluan, tentu Alam tak lagi seimbang. Bencana pun siap-siap datang.

Pernah lihat film Avatar? Itu lho, yang menceritakan tentang mahluk berwarna hijau yang tinggal di sebuah negeri indah. Tau dong bagaimana rakyat di negeri Avatar begitu melindungi sebuah pohon besar dengan segala jiwa raga mereka. Karena mereka percaya, pohon itu adalah sumber kehidupan seluruh alam. Tapi karena manusia-manusia begitu serakah, pohon itu tumbang terbakar.

Saya ingat, waktu itu di bioskop banyak yang menangis saat pohon besar di film Avatar tumbang. Saya yang nonton pun menangis. Karena itu terjadi dan rakyat Riau alami, bukan di film tapi di dunia nyata. Hutan kami sudah dihabisi dengan begitu keji. Padahal hutan adalah penghasil oksigen dan menyerap karbon monoksida, untuk bisa mempertahankan lapisan ozon.

Kini hutan-hutan dan rawa gambut pemberian Tuhan itu sudah dirusak. Semua rakyat harus merasakan akibatnya. Padahal mereka tak mengerti apa-apa. Ibarat kata, dosa dibuat siapa, yang nanggung siapa.

Saya jadi merinding sendiri, saat menemukan sebuah Ayat dalam Al Quran yang cocok untuk penggambaran musibah ini:

Asy Syura ayat 30 mengatakan,’’dan apa musibah yang menimpa kamu, adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu),’’

Kita semua sudah menjadi saksinya, saat kebakaran yang terjadi saat ini, meski sudah diatasi dengan melibatkan kekuatan besar manusia, tetap saja apinya menyala-nyala. Tingkat polusi yang dihasilkan, bahkan sudah jauh melewati ambang batas tingkat berbahaya di papan ISPU.

Saya sungguh merinding sendiri, membayangkan perbuatan manusia-manusia serakah sudah membuat Tuhan marah. Nauzubillahimindzalik!

Jadi, apa dong solusinya? Ini sebenarnya bukan solusi kami. Tapi ini solusi yang sudah berkali-kali, sampai berbuih-buih sering disampaikan dalam forum-forum resmi. Tak hanya di tingkat regional dan nasional, tapi sampai ke tingkat internasional. Rakyat Riau terus berteriak, menjerit, menghiba, memohon bahkan bisa dikatakan mengemis-ngemis pada penguasa di negeri ini, untuk melakukan MORATORIOUM PERLUASAN LAHAN PERKEBUNAN...!!!

Memang secara peraturan, moratorium itu sudah dilakukan pemerintah beberapa waktu lalu. Namun rakyat meminta agar kebijakan itu dilakukan secara konsisten dan dilakukan penegakan hukum bagi yang melanggar. Kami selalu sedih, saat penegakan hukum bagi para pembakar lahan, terkesan seperti drama sinetron saja. Diumumkan jadi tersangka, kita sudah hora horai, eh gak lama kemudian si pelakunya sudah melenggang bebas.

Era Presiden Jokowi, sudah dikeluarkan Inpres nomor 8 tahun 2015, tentang penundaan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam serta lahan gambut. Ini merupakan perpanjangan kali ketiga dari aturan serupa yang keluar pada era Presiden SBY.

Namun WALHI mencatat, ada beberapa kelemahan mendasar dari kebijakan yang akan berlaku (anehnya, HANYA UNTUK...) dua tahun ke depan. Kelemahan yang paling mencolok, ketika ada pengecualian permohonan bagi yang sudah mendapatkan izin prinsip. Artinya tak menjamin kawasan hutan alam dan lahan gambut di wilayah moratorium selamat dari deforestasi dan degradasi. Karena bagi pengusaha yang sudah mengantongi izin prinsip, Inpres itu tidak berlaku surut. Artinya mereka tetap bisa melakukan pengalihan fungsi lahan, dari hutan menjadi perkebunan. Enak toh?

Padahal harusnya, dengan kerusakan ekosistem yang sudah luar biasa dahsyatnya, semua tindakan pengalihan fungsi hutan dan lahan gambut tidak boleh diberikan lagi. Kita sudah sangat sesak di sini....!!!

Dan untuk lahan yang sudah menjadi perkebunan dan hutan tanaman industri, harus dilakukan perbaikan tata kelola lingkungan. Pertanyaannya, tata kelola lingkungan yang seperti apa?

Kita banyak mendengar, bahwa salah satu yang harus dilakukan segera adalah dengan rewetting atau membasahi kembali lahan gambut, sehingga tidak mudah terbakar saat musim kemarau.

Pasti bertanya lagi, rewetting seperti apa dan bagaimana?

Untuk tata kelola air di lahan gambut, baik dimensi maupun lokasinya kan bervariasi. Ada yang saluran primer, sekunder maupun saluran-saluran kecil. Lokasinya juga berbeda-beda, baik yang berada di lokasi perkebunan yang dikelola perusahaan, maupun di wilayah yang dikelola masyarakat secara umum.

Oleh karenanya, untuk membangun sekat-sekat kanal agar air di lahan-lahan gambut tetap ada, perlu dilibatkan berbagai pihak dalam upaya perbaikan tata kelola air tersebut.

Saya dapat bocoran dari hasil pertemuan diskusi alumni IPB di Pekanbaru, beberapa waktu lalu. Mereka menyimpulkan bahwa gerakan perbaikan tata kelola air ini, harus benar-benar dilakukan secara sistematis, serentak dan bersama-sama. Baik oleh perusahaan maupun pemerintah.

Meliputi pemerintah Kabupaten/Kota, pemerintah Provinsi maupun pemerintah pusat. Itu juga harus melibatkan berbagai lintas sektor. Seperti perkebunan, pertanian, kehutanan, maupun PU (Pekerjaan Umum) dalam rangka membangun infrastruktur pengendalian tata kelola air.

Kembali dalam hal penegakan hukum, saya memberi apresiasi pada rencana Kemen LHK yang akan menyita aset perusahaan bilamana terbukti membiarkan lahan yang dikelolanya terbakar. Hanya saja perlu dipertimbangkan juga, apakah negara mampu mengelola lahan-lahan yang disita tersebut nantinya? Ini harus dipikirkan dari sekarang, agar lahan-lahan itu tidak menjadi lahan terlantar yang justru berpotensi untuk terbakar lagi tanpa ‘tuan’.

Selain itu penegakan hukum harus benar-benar dilakukan secara konsisten. Dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya, untuk menimbulkan efek jera. Karena pelaku pembakar lahan, kami rasa jauh lebih kejam daripada teroris atau koruptor. Mereka melakukan kejahatan bertahun-tahun, dilakukan secara sistematis dengan jumlah korban yang bersifat massal !!!

Begitulah kira-kira pandangan dari saya, hasil diskusi berdua dengan sahabat saya Cik Sondha. Apa yang kami sampaikan ini sebenarnya bukanlah hal baru. Sudah sering sebenarnya disampaikan, tapi sepertinya mereka yang berkuasa dan mereka yang berlabel pengusaha, tidak punya hati, mata dan telinga.

Kami hanya bagian kecil dari rakyat Riau, perempuan pula, yang cuma ingin ekosistem di negeri ini kembali seimbang. Cukuplah generasi kita saja yang mengalami bencana ini. CUKUP! CUKUP! Dan CUKUP!

Tidakkah kita semua takut azab Tuhan. Karena apa yang terjadi saat ini, bencana yang disebabkan keserakahan manusia, sudah diprediksi oleh Al Quran yang lahir berabad-abad lalu.

Ar Rum ayat 41 mengatakan, ‘’Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka, sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar),’’.

Kabut asap ini juga disebutkan dalam Al Quran, sebagai tanda-tanda hari akhir zaman. Rasulullah SAW berkata, tidak akan datang hari kiamat, sebelum datang pada manusia 10 tanda. Yang pertama adalah tanda saat dunia dipenuhi asap.

Juga tertuang surat Ad Dukhaan ayat 10 ’’Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut (dukhaan) yang nyata,’’. Ayat ini merupakan peringatan bahwa hari kiamat sudah dekat.

Hud ayat 3 mengatakan,’’dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubatlah kepadaNYA.(Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya DIA akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan DIA akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti),’’.

Jadi wahai para penguasa dan pengusaha, bertobatlah! Tidakkah kalian ngeri masuk neraka, karena telah mendzolimi banyak nyawa bertahun-tahun lamanya.

Saya pribadi juga akan melakukan taubat nashuha, bilamana tulisan ini menyebabkan ada pihak-pihak tertentu yang tersakiti. Saya hanya seorang Ibu dari seorang putri, yang punya mimpi sederhana, agar putri kecil saya itu bisa tumbuh dan menjadi dewasa dalam lingkungan yang jauh lebih sehat.

Salam.

Afni Zulkifli
Rakyat Riau dan Ibu dari satu putri 3,5 tahun
087780483113-085263990785

*dari fb Afni Zulkifli (10/10/2015)


Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top