GuidePedia

0

Begitu tahu akan ke Seychelles, saya langsung lihat peta. Hmm… tidak jauh dari Tanzania, naik pesawat tinggal nyebrang doang. Jadilah saya extend dan cari tiket Seychelles-Tanzania-Seychelles sebelum pulang ke Indonesia. Saya pengen banget ke Tanzania karena tertarik safari di Serengeti National Park untuk melihat migrasi jutaan hewan seperti di TV NatGeo. Tapi masuk ke Tanzania harus melalui ibu kotanya, Dar es Salaam.

Mendengar nama Dar es Salaam aja udah bikin merinding. Macam lokasi film-film Hollywood tentang perang atau secret agent. Di pemberitaan pun kesannya negatif. Dari hasil riset online saya, Dar es Salaam memang termasuk tinggi tingkat kriminalitasnya. 43% rumah di Dar es Salaam pernah dirampok dan 32% penduduknya pernah dijambret/ditodong/dicopet. Ih, serem nggak sih?

Untunglah saya punya teman orang Indonesia yang tinggal di Dar es Salaam dan diperbolehkan menginap di rumahnya. Suaminya orang AS yang kerja di sebuah badan dunia dan mereka memiliki 2 anak kecil. Maka teman saya pun mengirimkan taksi langganan kantor suaminya untuk menjemput saya di Julius Nyerere International Airport pada jam kedatangan saya pukul 23.00.

Rumah mereka terletak di Oyster Bay, area expat yang sekelilingnya adalah rumah kediaman para Duta Besar negara-negara maju. Halamannya yang rimbun dengan pepohonan ini luas, mungkin sekitar 2000an meter persegi. Rumahnya yang bertingkat dua berbentuk persegi panjang dan berumur puluhan tahun. Ada kolam renang kecil di halaman belakang. Yang mencengangkan, seluruh pagarnya diliputi kawat listrik tegangan tinggi! Ada pula Askari (security) di pos depan rumah yang menjaga 24 jam. "Namanya juga di Afrika. Ya harus begini!" kata teman saya.

Rumahnya dekat dengan Coco Beach, pantai umum berpasir putih yang lumayan bagus. Namun mereka sendiri tidak berani ke sana karena pasti ditodong atau dijambret, tidak hanya ke orang asing tapi juga ke orang lokal. Jalan kaki sendirian di Dar es Salaam pada siang hari bolong tidak disarankan, apalagi malam hari. Saya pun diceritakan kejadian-kejadian penodongan dan penjambretan yang pernah terjadi. Saya ya manut aja.

Anak-anak expat tentu bersekolah di sekolah internasional. Banyak dari mereka yang mixed race. Maklum, keluarga expat di sana pasti sudah pernah ditempatkan di berbagai belahan dunia dan kawin-mawin dengan penduduk lokalnya atau sesama expat dari negara lain. Anak-anak itu ada yang lahir di Rwanda, Nairobi, Johannesburg, dan kota-kota lainnya yang terdengar "eksotis".

Basically, Dar es Salaam nggak ada apa-apanya. Turis pun ke sana hanya untuk transit. Untuk cari hiburan jadi sulit. Restoran standar bule hanya ada 5 buah di seluruh kota. That's it. Jadi hubungan antar expat sangat erat dan eksklusif. Secara reguler mereka berkegiatan bareng, umumnya para istri yang bikin acara charity ini-itu. Lucunya, kecuali teman saya itu, nggak ada satupun orang Indonesia yang gabung ke geng mereka. Mungkin orang KBRI nggak gaul sama bule, atau emang nggak ada expat orang Indonesia di sana.

Kalau anak-anak mau santai-santai di dalam kota, mereka ke Dar Yacht Club. Klub khusus expat dengan sistem membership ini memang jamak ada di mana pun di negara berkembang. Area klub termasuk pantai yang tertutup dan dijaga Askari. Di dalamnya juga ada kolam renang dan restoran. Aktivitas para anggota berkutat di pantai; berenang, berjemur, paddle boarding, dan berlayar. Sesekali mereka mengundang band luar negeri untuk mengadakan pesta atau bikin kursus ini-itu.

Sendirian di pantai Dar Yacht Club

Hiburan lain untuk para expat adalah bikin pesta di rumah orang secara bergilir setiap Jumat malam. Saya pernah ikut juga. Ada sekitar 15 keluarga yang datang. Keluarga? Ya. Suami-istri-anak. Host-nya menyediakan makanan dan minuman bagi para tamu. Jadi semacam arisan bergilir. Rumah para expat memang luar biasa besar dan mewahnya, semuanya pun berpagar listrik tegangan tinggi dan dijaga Askari. Para asisten rumah tangganya semua orang lokal yang sudah dilatih memasak makanan western.

Anak-anak pun tak ketinggalan dibuat hiburan sendiri. Salah satunya adalah pementasan Kid Rock yang diadakan selama sebulan setiap weekend di bulan Mei. Seratusan anak tampil di panggung, ditonton oleh seratusan anak lain dan orangtuanya.

Suatu weekend, keluarga teman saya ini ada acara nginep bareng para expat di South Beach. Saya yang malas gaul dengan anak-anak memilih untuk tinggal sendiri di rumahnya. Sebelum mereka berangkat, saya pun di-traning singkat tentang sistem keamanan rumahnya. Pertama, kunci pintu. Rumahnya harus selalu dikunci dobel-dobel. Kuncinya pun disembunyikan di tempat tertentu. Pintu utama rumah terdiri dari dua pintu besi yang harus dikunci plus digembok. Naik ke lantai dua, ada dua pintu besi lagi yang harus dikunci, plus gembok rantai. Kamar anak-anaknya yang saya tebengi memiliki balkon pun ada dua pintu besi yang harus dikunci. Pokoknya ribet dah!

"Lah, kalau ada kebakaran, gue gimana keluarnya dong?" tanya saya ke suaminya setelah sadar betapa banyak pintu yang harus saya kunci. Saya pun diajak masuk ke kamarnya. Ada sebuah tombol emergency yang harus ditekan. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu pencet tombol ini. Dalam lima menit, pasukan security dan pemadam kebakaran akan datang ke rumah untuk menyelamatkan kita," terangnya. WOW! Berasa kayak di rumah James Bond! "Dalam lima menit, kamu harus keluar ke balkon kamarmu dan tunggu di sana. Don't worry. You'll be fine!"

Siaaap!

Dan dua hari itu saya punya waktu untuk jalan-jalan keliling kota Dar es Salaam dengan diantar taksi langganan. Saya pun ke Museum Nasional Tanzania, ke Wonder Workshop, ke pasar lukisan Tinga-Tinga, bahkan ke Coco Beach dan dugem di Maisha Club – yang mereka pun belum pernah sambangi! Yah begitulah, kadang perjalanan kita tergantung dengan siapa kita pergi atau tinggal.

Jadi mikir, apakah expat di Indonesia segitu ketat penjagaan keamanannya ya?

---- 


Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top