GuidePedia

0


Akhirnya saya tergugah untuk menulis lagi di blog ini, menyambung cerita yang sudah lama ditinggalkan tanpa berkelanjutan.

Saya menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda ketika dulu saya mendatangi Jepang sebagai wisatawan dan sekarang setelah saya berdiam di sini. Dulu, rasanya segala sesuatu serba baru, serba menarik. Sewaktu pulang ke tanah air, ada perasaan menggebu-gebu untuk menceritakan berbagai hal yang saya alami itu. Namun, sebagai orang yang kini tinggal di Jepang, hal-hal yang tadinya terasa baru dan sangat menarik itu menjadi keseharian, sehingga dorongan bercerita tidak sekuat dulu. Tetapi saya telah dapati bahwa menuangkan kenangan dalam bentuk tertulis kerap kali menyelamatkan detail-detail dari keterlupaan. Kadang-kadang saya membaca tulisan-tulisan lama saya dan berpikir, “Wah, saya tidak ingat lagi soal ini. Untung dulu ditulis!”


Jadi sekarang saya coba untuk kembali menulis.

Saya akan sambung cerita saya mengenai Kawaguchiko, kota di kaki Gunung Fuji yang sebelumnyapernah saya ulas secara garis besar. Kali ini saya ingin berfokus kepada salah satu tempat menarik yang saya kunjungi di kota tersebut: museum Music Forest. Namun sebenarnya dalam bahasa Jepang namanya adalah オルゴールの森, Orugooru no mori, alias Hutan Orgel. Julukan lainnya: Chiisana Yooroppa, Little Europe, karena bangunan-bangunan dan bentang alamnya yang dibuat menyerupai Eropa.

Saya dua kali ke museum ini, sekali pada Desember 2013, lalu pada Maret 2014. Bila pada Desember 2013 saya pergi ke Kawaguchiko menggunakan bis, pada Maret 2014 saya memutuskan menggunakan kereta api. Memang memakan waktu agak lebih lama, namun lebih banyak pemandangan menarik yang bisa dilihat melalui jendela kereta api daripada jendela bis.


Di taman museum, terdapat instrumen-instrumen musik yang bebas kita coba-coba.

Rutenya adalah seperti ini:

1. Naiki kereta Chuo Line (bisa dari stasiun Tokyo atau Shinjuku, dua stasiun besar yang dilewati jalur ini) menuju Otsuki. Tidak semua kereta Chuo Line langsung menuju Otsuki, tapi tidak usah khawatir. Bila Anda diturunkan di stasiun terakhir sebelum Otsuki, misalnya Tachikawa atau Takao, cukup cek jadwal keberangkatan kereta dari stasiun itu dan berpindahlah ke kereta yang melanjutkan perjalanan sampai Otsuki.

Hati-hati, sebagian kereta yang melintasi rel Chuo Line sebenarnya adalah kereta Ome Line yang akan membawa Anda ke Ome, beda arah dari Otsuki. Bila Anda terlanjur menaiki kereta Ome Line, turunlah di Tachikawa, tempat kereta tersebut berganti rel, lalu bergantilah ke kereta yang menuju Takao/Otsuki.

2. Dari Otsuki, naiklah Fujikyu Railway menuju stasiun Kawaguchiko. Kalau Anda punya Kanto Area Pass, tidak perlu lagi membeli tiket. Namun kalau Anda hanya memegang Japan Rail Pass, JR East Pass, atau kartu-kartu transportasi semacam Pasmo, Suica, dan lain sebagainya, Anda harus membeli tiket terpisah untuk Fujikyu Railway. Dengan membayar 2.250 yen, Anda akan memperoleh tiket yang berlaku selama dua hari dan memungkinkan Anda bolak-balik turun-naik kereta Fujikyu.



Di museum ini, juga ada restoran dan kafe. Nikmat sekali duduk-duduk ditemani secangkir kopi hangat sambil menikmati pemandangan Music Forest dan sekitarnya.



Museum ini juga merupakan salah satu tempat terbaik untuk mengamati cantiknya Gunung Fuji.

Dari stasiun kereta api Kawaguchiko, Anda bisa menaiki retro bus dengan harga tiket sekali jalan 320 yen (kalau belum berubah) sampai ke dekat Music Forest. (Peta rutenya bisa dilihat di sini.) Perhatikan jadwal bis ini ya, karena rute tersebut tidak dioperasikan sampai malam. Kalau ketinggalan bis terakhir, bisa-bisa harus berjalan kaki sampai ke penginapan. ….sebenarnya, itulah yang pertama kali saya dan teman lakukan sewaktu berkunjung ke museum tersebut pada Desember tahun lalu! Kali kedua saya ke museum tersebut, kami menyewa sepeda dari guest house sehingga perjalanan pun menjadi lebih cepat dan tidak tergantung kepada jadwal bis. (Lagipula, parkir sepeda gratis!)

Meskipun nama resminya menyuratkan bahwa museum ini memajang orgel dan kotak musik, sebenarnya lebih tepat bila museum ini disebut juga sebagai museum otomaton. Museum ini menampung sejumlah otomaton – yang untuk mudahnya bisa kita sebut sebagai ‘robot’ zaman dahulu. Otomaton-otomaton itu dibuat menyerupai makhluk hidup – paling umum berbentuk manusia, meskipun juga ada monyet, burung, dan lain-lain – yang bisa melakukan sejumlah gerakan terprogram. Beberapa di antaranya sangat menyerupai manusia hidup, namun sangat jelas ketidak-hidupannya, membuat mereka justru terlihat agak menyeramkan.



Sebagian otomaton yang dipamerkan di Music Forest. Semuanya bisa bergerak dan mengeluarkan musik atau suara. Staf akan memutarkan otomaton-otomaton ini pada waktu-waktu tertentu.

Saya bahkan merasa agak janggal saat menatap salah seorang staf yang sangat ramah menjelaskan berbagai hal kepada kami. Entahlah. Ada sesuatu yang kaku pada senyumnya. Seolah-olah senyum itu terpatri di mukanya, bukan senyum sungguhan. Tidak terlihat kerut-kerut senyuman sejati di sekitar matanya. Jangan-jangan dia juga otomaton? Suasana museum yang terasa agak misterius membuat kita gampang memikirkan hal yang tidak-tidak.


Dalam kompleks museum, ada sejumlah bangunan. Ada yang menyimpan orgel raksasa yang sedianya dibawa oleh Titanic – namun rencana tersebut dibatalkan, dan orgel tersebut digantikan oleh live bandyang lantas tenggelam bersama kapal naas tersebut, sambil tak putus memainkan musik untuk menenangkan penumpang yang ketakutan sampai detik-detik terakhir. Tidak heran, pernak-pernik Titanic pun menjadi bagian dari memorabilia yang dipamerkan di museum ini.



Istana ini juga terhitung otomaton, lho! Bila diputar, saat musik mengalun, boneka-boneka kecil yang merupakan para penghuni istana akan menari.

Di gedung lain, disimpanlah berbagai macam orgel, kotak musik, otomaton, dan Polyphon. Pada waktu-waktu tertentu, kita bisa mendengarkan instrumen-instrumen yang masih dalam kondisi bagus itu diputarkan. Ada juga pertunjukan di aula musik utama seperti yang ada di dalam foto di bawah ini. Salah seorang penonton mungkin diajak ke panggung, berperan sebagai ‘Rose’. Seorang pelukis berperan sebagai ‘Jack’ yang menggambar wajah ‘Rose’ sementara staf menjelaskan dan memainkan orgel-orgel yang dipajang di panggung. (Sssst, bahkan piano yang tampak di foto sebenarnya bisa memainkan musik sendiri, lho!)


Gedung lain lagi berfungsi sebagai toko oleh-oleh, mulai dari kotak musik kecil dengan lagu-lagu popular, kotak musik besar, sampai kue-kue dan cokelat. Di gedung ini juga diadakan aktivitas-aktivitas seperti membuat kotak musik sendiri.




Satu gedung lagi difungsikan sebagai restoran dan kafe. (Bila variasi makanan yang ditawarkan tidak menggugah selera, di sekitar museum terdapat sejumlah restoran dan toko penganan khas Kawaguchiko.) Gedung terakhir merupakan toko parfum dan pengharum ruangan. Bila sedang musim mawar, museum ini pun menjual berbagai pernak-pernik mawar, mulai dari minuman anggur bercita rasa mawar, parfum, pengharum ruangan, sampai kue-kue. Saat kita berjalan keluar meninggalkan museum, kita akan melewati satu toko lagi yang menjadi upaya terakhir museum menggoda Anda untuk membeli oleh-oleh.


Pokoknya, kalau ke Kawaguchiko, jangan lupa untuk singgah di museum ini. Bukan hanya kita bisa belajar sejarah, namun juga bisa menikmati pemandangan yang indah luar biasa. Dan karena kami berkunjung ke Music Forest untuk pertama kali di tengah suasana Natal, kami pun mendapatkan bonus iluminasi yang tampak begitu cantik di malam gelap yang cepat turun saat musim dingin. Tidak ada keluhan sesal terucap, meskipun kemudian kami harus berjalan kaki beberapa kilometer menyeberangi jembatan di atas danau di tengah terpaan angin dingin untuk kembali ke penginapan.



Kawaguchiko Music Forest

Tiket: Dewasa 1300 yen, mahasiswa/pelajar SMA 1100 yen, pelajar SMP/SD 800 yen

Jam buka jam 9 pagi sampai 5.30 sore. Terakhir menerima tamu pukul 5 sore. 

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top