Perjuangan Kentot, sopir truk angkutan barang asal Surabaya ini, sungguh melelahkan. Sulitnya mencari solar sungguh membuat hidupnya sengsara. Malam hari, ia harus rela tidur di SPBU demi menanti giliran membeli solar. Tak hanya itu, sopir truk yang sudah bertahun-tahun menempuh perjalanan Solo-Surabaya ini juga harus menyiapkan uang tips tambahan kepada pegawai SPBU. “Istilahnya buat tambah jajan kepada petugas SPBU. Kalau enggak gitu, kami hanya bisa ngisi solar Rp200.000,” jelasnya saat berbincang dengan wisbenbae di Solo pekan lalu.
Bagi Kentot, uang tips atau ngemel itu adalah sebuah kewajaran. Bahkan, bisa disebut kewajiban di tengah krisis solar seperti saat ini. Padahal, uang itu adalah uang pribadinya demi kelancaran tugasnya. Untuk sekali angkut barang Solo-Surabaya, Kentot mengaku harus menyediakan uang Rp450.000 untuk beli solar full. “Anda bayangkan, kalau solar habis di tengah jalan, lantas barang-barang pesanan ini mau dikemanakan?” paparnya.
Kentot hanyalah satu di antara sekian kisah sopir yang berjuang mendapatkan solar demi dedikasi pekerjaannya. Ia yang biasanya dapat ongkos Rp50.000 oleh bosnya sekali kirim barang, kini hanya mendapatkan Rp30.000 per sekali kirim barang karena membengkaknya biaya operasional mencari solar. “Padahal sekali kirim barang, butuh waktu satu hari. Sekarang, karena Solar langka, satu hari enggak cukup,” paparnya.
Hal serupa juga dilakukan Purwanto Dholob, sopir Bus Langsung Jaya. Purwanto mengaku hanya mampu menjalankan busnya sekali pulang-pergi (PP) karena kelangkaan solar. Biasanya, ia bisa tiga kali PP untuk rute Solo-Tawangmangu. “Solar hanya cukup untuk sekali angkut PP. Itu pun jika dapat solar, harus ngemel [memberi uang tips],” paparnya.
Untuk sekali antrean, kataPurwanto, kadang hingga 3 jam. Penantian itu, sambungnya masih beruntung jika akhirnya mendapatkan solar. “Hla kalau sudah antre, ternyata solar habis sebelum giliran. Apa enggak celaka dua kali,” urainya.
Politis-Pragmatis
Pelaksana Humas Paguyuban Pengawas SPBU Soloraya, Danang Romie Wijaya tak menampik adanya benturan kepentingan di arus bawah akibat kelangkaan solar. Menurutnya, petugas SPBU adalah pihak yang menjadi korban atas kebijakan pengurangan kuota solar itu. Satu sisi mereka harus mematuhi aturan melayani pembelian solar secara merata. Namun, di sisi lain mereka juga dihadapkan pada desakan pembeli yang sangat membutuhkan. “Mestinya, pemerintah itu kalau mau menaikkan BBM ya segera dinaikkan. Kalau seperti ini, petugas SPBU-SPBU mumet,” paparnya.
Sepanjang pengamatan Danang, langkah pemerintah mengatur subsidi BBM selalu lamban dan tak tegas. Dengan kata lain, keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan yang jauh lebih baik selalu dikalahkan oleh kepentingan politis-pragmatis. “Ketimbang rapat terus untuk membahas BBM subsidi, kenapa anggaran rapat enggak dipakai untuk membantu warga miskin,” kecamnya.
Menurut Danang, sangat susah mengontrol praktik penyimpangan di SPBU. Selain banyaknya SPBU yang tak seimbang dengan jumlah personil pengontrol, pemerintah sebagai pemangku kebijakan juga selalu bikin aturan yang bikin repot. “Kalau bikin aturan selalu bikin repot warga di kelas bawah. (Aries Susanto)