GuidePedia

KOMPAS.com – Rabu, 23 Mei 2012
Oleh : Yasraf Amir Piliang


Masih merebaknya korupsi di instansi pemerintah, DPR, parpol, lembaga pendidikan, bahkan lembaga hukum menunjukkan pemberantasan korupsi sebagai amanah reformasi tak menunjukkan hasil memuaskan.

Selain kasus-kasus besar, seperti Bank Century, pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, dan wisma atlet, ada jutaan ”kasus kecil korupsi” dalam berbagai bentuk. Hal ini menunjukkan, korupsi ”merata” di hampir semua lembaga negara.

Di instansi pemerintah, para birokrat memanipulasi anggaran perjalanan dinas, di parlemen para elite politik bersekongkol memanfaatkan rencana anggaran, di dalam partai politik para elite ikut campur menerbitkan izin usaha pertambangan. Bahkan, di lembaga pendidikan, ada korupsi pengadaan alat-alat pendidikan dan di lembaga keagamaan penyelenggaraan ibadah haji diselewengkan.

Pembiaran korupsi di berbagai institusi negara menunjukkan korupsi adalah fenomena kolektif, terencana, sistematis, dan berjejaring. Karena itu, pemberantasan korupsi seperti menghadapi Tembok Besar China yang sulit ditembus. Mental korupsi yang semestinya dihapus dengan memutus mata rantai korupsi (discontinuity) malah diwariskan ke generasi koruptor berikutnya (continuity).

Aparatus korupsi
Sebagai bagian budaya, mental korup tidak hanya fenomena individu, tetapi relasi antara manusia dan lingkungan fisik, psikis, sosial, dan spiritualnya. Mental korupsi terkait dua hal: manusia dan subyektivitasnya serta aparatus, yaitu segala sesuatu yang berkapasitas menghimpun, mengarahkan, mendeterminasi, memodelkan, mengendalikan, atau memelihara gestur, perilaku, opini, atau wacana (Agamben, What is Apparatus?, 2009).

Dalam konteks korupsi, ada aneka aparatus yang dapat mencegah, menghambat dan menghilangkan, atau malah mendorong, memelihara, dan menguatkan mental korupsi. Tidak hanya penjara, sipir, lembaga pengawas, sekolah, partai, tempat ibadah, disiplin, aturan yuridis, tetapi juga tulisan, sastra, filsafat, televisi, komputer, internet, telepon seluler, dan bahasa—semua adalah aparatus. Misalnya, sebagai aparatus, sistem pengadilan atau sistem penjara selama ini cenderung ”memelihara” mental jahat, termasuk korupsi, ketimbang menghilangkannya.

Hukum—baik yang bersifat eksplisit maupun implisit—adalah sebuah aparatus yang bertujuan mendisiplinkan manusia sebagai subyek. Baik aturan eksplisit (undang-undang, peraturan, konvensi) maupun implisit (implicit law) berperan mengalokasikan cara bertindak, berbicara, atau berwacana sedemikian rupa sehingga membentuk semacam konsensus dalam dunia pengalaman harian tentang apa yang boleh atau tak boleh diucapkan, dituliskan, dilakukan, ditampilkan, dan diwacanakan (Ranciere, Disagreement: Politics and Philosophy, 1995).

Akan tetapi, dalam konteks budaya politik dan pemerintahan yang dibangun di dalam tubuh bangsa ini adalah aneka konsensus jahat di antara individu atau kelompok dalam lembaga politik, instansi pemerintah, lembaga parlemen, lembaga hukum, aparat negara, dan pengusaha. Secara kolektif dan berjejaring mereka membentuk aneka persengkokolan di dalam ruang gelap demokrasi untuk mengambil uang negara dalam kegelapan sembari membangun pencitraan diri mereka sebagai bersih, jujur, adil, dan beriman untuk menopengi kejahatan.

Mereka membangun dua bentuk konsensus jahat dalam konteks relasi sosial. Pertama, konsensus internal, yaitu aneka kesepakatan jahat dan korup di antara individu atau kelompok dalam aneka institusi yang menghasilkan tidak saja korupsi kolektif, tetapi juga jejaring korupsi (corruption network). Kedua, konsensus eksternal, yaitu konsensus membangun imagologi berupa teknologisasi pencitraan diri, kelompok atau institusi, untuk dan diapresiasi dunia luar.

Korupsi dapat dilihat sebagai relasi produksi yang melibatkan aneka modal, sumber daya, sarana dan prasarana untuk menghasilkan produk berupa uang atau properti bernilai lainnya. Relasi produksi korupsi ini di berbagai instansi pemerintah, parlemen, dan partai politik direproduksi secara sosial melalui reproduksi relasi produksi (Althusser, Essays on Ideology, 1984), yaitu merepetisi relasi sosial korupsi dan mental korup lintas generasi sehingga menghasilkan para koruptor muda di berbagai lembaga.

Putuskan relasi dan jejaring
Gerakan pemberantasan korupsi bertujuan memutus relasi sosial korupsi dan jejaring korupsi serta menghapus mental korupsi pada setiap komponen bangsa di setiap lembaga. Untuk itu, setiap aparatus terkait korupsi berperan besar dalam gerakan ini. Masalahnya, aparatus-aparatus (lembaga hukum, partai, parlemen, pendidikan) yang semestinya menjadi penggerak dalam membangun manusia sebagai subyek yang bersih, jujur, terpercaya, dan amanah justru menjadi aparatus reproduksi relasi korupsi.

Ketika aparatus yang berfungsi memutus relasi sosial korupsi malah menjadi bagian reproduksi relasi korupsi, fenomena korupsi menjelma semacam ironi, ada kontradiksi antara fungsi dan tindakan. Lembaga-lembaga yang berfungsi memberantas korupsi justru menjadi bagian jejaring korupsi itu sendiri: lembaga pengadilan memproduksi ketidakadilan, lembaga keamanan mempertontonkan kekerasan, lembaga pendidikan menunjukkan kepalsuan.

Lembaga-lembaga menjadi semacam rumah (host) yang aman bagi para koruptor. Layaknya parasit, mereka hidup dengan menjadi penumpang gelap di kantor, perusahaan, partai, masyarakat, sistem, ekosistem, atau institusi. Mereka mengambil secara ilegal aneka properti berharga di ”rumah” tempat ia hidup. Dengan cara itu, ia merusak sistem atau ekosistem, dengan merusak pula dirinya—semacam ”self-destruction”.

Parasit ada di dalam setiap sistem: sistem alam, sistem politik, sistem birokrasi, sistem hukum, sistem pendidikan, sistem ekonomi, atau sistem demokrasi (Serres, The Parasite, 1982). Dalam sistem birokrasi pemerintah, para birokrat korup menjadi parasit pemerintah. Di dalam sistem partai, elite politik menjadi parasit partainya meskipun kolektivitas partai itu sendiri dapat menjadi parasit sistem politik bangsa. Para polisi, jaksa, dan hakim menjadi parasit sistem hukum sebagaimana para koruptor anggaran pendidikan menjadi parasit sistem pendidikan.

Maka, ketika setiap unsur birokrat, pejabat, pegawai, staf, staf ahli, elite politik, manajer, direktur, dan pengusaha bersimbiosis membangun jejaring untuk merampok uang negara, yang tercipta adalah semacam jejaring parasit. Jejaring parasit menjelma sebuah tembok besar yang kokoh dan sulit ditembus karena di antara mereka dibangun sistem pertahanan diri (self-defence).

Pembiaran, penopengan, penghilangan jejak, dan mungkin juga pelupaan (forgetfulness) secara sistemik adalah salah satu bentuk pertahanan itu. Akibatnya, korupsi tidak hanya merata, tetapi juga telah menjadi mental kolektif bangsa.

Karena itu, korupsi tidak bisa dihadapi hanya melalui pendekatan hukum, tetapi harus diperkuat melalui pendekatan budaya, yaitu upaya sistematis mengubah mental dan karakter bangsa.

Celakanya, pendekatan hukum tak lain hanya ironi hukum, yaitu kontradiksi antara fakta hukum dan permainan citra hukum. Sementara budaya korupsi secara tak sadar telah diajarkan sejak pendidikan rendah melalui sistem ujian yang mendorong ketidakjujuran.

Akibatnya, tembok besar korupsi itu kini kian kokoh dan sulit ditembus.

Yasraf Amir Piliang Pemikir Sosial dan Kebudayaan

Beli yuk ?

 
Top