GuidePedia


Pengantar
Sistem pemerintahan Islam tegak di atas empat pilar, di antaranya adalah “as-sulthân li al-ummah (kekuasaan berada di tangan rakyat)”. Berdasarkan penelitian dan pengkajian mendalam atas hukum-hukum syariah dan realitas politik dalam kehidupan Islam, diketahui bahwa pengangkatan seorang kepala negara (khalifah) tidak sah kecuali melalui kehendak (baiat) dari umat (rakyat). Artinya, rakyat yang memilih dan membaiat seseorang hingga ia menjadi khalifah yang wajib ditaati dan dijaga dari pihak-pihak lain yang hendak merebut kekuasaan darinya. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَة يَدِه وَثَمَرَة قَلْبِهِ فَلْيُطِعْه مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاء آخَرُ ينَُازِعُه فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah, lalu memberikan uluran tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaati khalifah itu selama masih mampu. Kemudian jika datang orang lain yang akan merebut kekuasaannya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa seseorang yang telah mendapatkan kekuasaan (baiat) dari rakyat wajib ditaati, sebab ia adalah seorang khalifah yang telah dibaiat. Hadis ini adalah dalil yang jelas bahwa “kekuasaan berada di tangan rakyat” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 112; Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 97). Dengan kekuasaan yang berada di tangannya ini, rakyat bisa memilih dan membaiat siapa saja yang mereka kehendaki.
Lalu siapa saja dari umat (rakyat) dalam negara Islam yang memiliki hak untuk memilih khalifah dan membaiatnya?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 26, yang berbunyi: “Setiap Muslim yang balig dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan berhak memilih dan membaiat khalifah. Sebaliknya, orang-orang non-Muslim tidak memiliki hak pilih.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 126).


Rakyat Dalam Negara Islam
Rakyat dalam Negara Islam adalah setiap orang yang telah memenuhi syarat at-tâbi’iyah, yaitu loyal terhadap negara dan sistem. Dengan demikian siapa saja yang berada dalam wilayah kekuasaan Negara Islam dan telah memenuhi ketentuan at-tâbi’iyah berhak mendapatkan hak-hak yang telah ditetapkan oleh syariah untuk dirinya, baik ia Muslim maupun non-Muslim (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 140).
Rakyat dalam Negara Islam dibagi menjadi dua, yaitu Muslim dan non-Muslim. Rakyat non-Muslim inilah yang kemudian dalam istilah ulama fikih dikenal dengan sebutan ahludz-dzimmah, yaitu orang-orang non-Muslim yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan negara Islam, dan mereka ini berjanji untuk loyal serta taat terhadap negara, baik mereka lahir di dalam wilayah kekuasaan Negara Islam atau mereka datang dari luar, kemudian ia meminta untuk dijadikan sebagai rakyat Negara Islam (Al-Maududi, Nadzariyah al-Islâm wa Hadîhi fi as-Siyâsah wa al-Qânûn wa ad-Dustûr, hlm. 302).
Penamaan rakyat non-Muslim dengan ahludz-dzimmah ini bermakna bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki jaminan keamanan, sebab mereka berada dalam perlindungan Rasulullah saw. dan jaminan keamanan dari kaum Muslim, yakni mereka mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan selamanya dari Rasulullah saw. dan kaum Muslim (al-Ayid, Huqûq Ghayr al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm, hlm. 10).
Dengan demikian, penamaan rakyat non-Muslim dengan sebutan ahludz-dzimmah ini adalah bentuk penghormatan, bukan penghinaan atau pelecehan seperti yang selama ini tertanam dalam pikiran sebagian orang (Ath-Thayyar, Huqûq Ghayr al-Muslimîn fi ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 48).
Dalam kitab Al-Amwâl karya Abu Ubaid dikutip pernyataan Imam Auza’i—rahimahullah—yang berkata dalam suratnya kepada seorang wali Abbasiyin, Shalih bin Ali bin Abdullah bin Abbas tentang kedudukan ahludz-dzimmah: “Mereka itu bukanlah budak, namun mereka adalah orang-orang merdeka dari ahludz-dzimmah.” (Al-Ayid, Huqûq Ghair al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm, hlm. 11). Artinya, mereka non-Muslim adalah rakyat Negara Islam juga sehingga mereka berhak mendapatkan hak-haknya dan wajib diperlakukan sama seperti halnya kaum Muslim.

Hak Memilih dan Membaiat Khalifah
Rakyat Negara Islam yang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, berhak memilih dan membaiat khalifah, seperti yang termaktub dalam Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 26, bahwa “Setiap Muslim yang balig dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan, berhak memilih dan membaiat khalifah.”
Dalil dalam hal ini adalah: Pertama, hadis dari Ubadah Bin Shamit yang berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لا ننَُازِعَ الأَمْرَ أَهْلَه وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالحَْقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لا نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَة لاَئِمٍ
Kami telah membaiat Rasulullah saw. untuk setia mendengarkan dan menaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami senangi; dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin; juga agar kami menegakkan atau mengatakan yang haq di manapun kami berada dan kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela (HR al-Bukhari).

Kedua, hadis dari Ummu ‘Athiyah yang berkata:
بَايعَْنَا رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم فقََرَ أَ عَلَيْنَا أَنْ لا يُشْرِكْنَ بِا للهِ شَيْئًا وَنهََانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فقََبَضَتْ امْرَأَة يَدَهَا فَقَالَتْ أَسْعَدَتْنِي فُلاَنَة أُرِيدُ أَنْ أَجْزِيهََا فَمَا قَالَ لَهاَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم شَيْئًا فَانْطَلَقَ ت وَرَجَعَتْ فَبَايعََهَا
Kami membaiat Rasulullah saw., lalu beliau memerintahkan kepada kami, “Jangalah kalian menyekutukan Allah dengan apapun.” Beliau pun melarang kami melakukan “niyahah” (histeris menangisi mayat). Karena itulah seorang wanita dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata, Seseorang (perempuan) telah membuat diriku bahagia dan aku ingin (terlebih dulu) membalas jasanya.” Ternyata Rasulullah saw. tak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi dan membaiat beliau.” (HR al-Bukhari).

Ketiga, apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah wa an-Nihâyah bahwa Abdurrahman bin Auf mengambil pendapat kaum laki-laki dan perempuan ketika ia ditugasi untuk mengambil pendapat kaum Muslim tentang siapa yang akan menjadi khalifah—setelah Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Wafat. Dalam hal ini tidak ada seorang Sahabat pun yang mengingkari perbuatan Abdurrahman bin Auf tersebut (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 126).
Dengan demikian, berdasarkan dalil-dalil di atas, setiap Muslim yang balig dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan, berhak memilih dan membaiat khalifah.

Non-Muslim dan Hak Baiat
Islam merupakan syarat utama keabsahan baiat. Sebab, baiat ini dilakukan untuk menegakkan Islam berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.. Hal ini jelas mengharuskan keimanan terhadap keduanya. Non-Muslim tentu tidak mengimani keduanya. Seandainya mereka beriman, tentu mereka Muslim. Oleh karena itu mereka tidak berhak membaiat khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 126).
Selain itu, kalau non-Muslim memiliki hak untuk membaiat khalifah maka—tidak menutup kemungkinan—mereka akan memberikan baiatnya kepada orang yang mau dengan persyaratannya. Dengan begitu mereka bisa memilih penguasa yang memberi mereka jalan untuk menguasai orang-orang yang beriman. Ini jelas haram menurut syariah karena Allah SWT berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin (QS Al-Nisa’ [4] : 141).

Oleh karena itu, menjadikan pelaksanaan akad Khilafah ada di tangan non-Muslim merupakan jalan (peluang) terbesar bagi mereka untuk menguasai orang-orang beriman. Penggunaan huruf lan (sekali-kali tidak akan) yang memberi pengertian ta’bîd (selamanya) adalah indikasi larangan tegas untuk tidak memberikan kekuasaan atau jalan bagi orang kafir untuk mengontrol kaum Muslim, baik itu berupa pemberian hak pelaksanaan akad Khilafah atau lainnya. Dengan demikian, non-Muslim atau ahludz-dzimmah—sekalipun mereka bagian dari rakyat dalam Negara Islam—tidak memiliki hak memilih dan membaiat khalifah (Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 97).
Tidak adanya hak memilih dan membaiat khalifah bagi non-Muslim tidak berarti bahwa mereka adalah warga negara kelas dua yang harus tunduk dan patuh pada institusi Khilafah semata. Justru ketika non-Muslim diberikan hak tersebut, sama artinya dengan memaksa mereka untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka yakini. Ini sama sekali bukan karateristik Negara Islam yang menjamin semua wagra negaranya untuk menjalankan apa saja yang menjadi keyakinannya, dan bukan memaksa mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak mereka yakini (Asy-Syarif, Wadh’ al-Aqalliyât fi ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 19). Jadi, tuduhan bahwa non-Muslim hanya menjadi warga negara kelas dua dalam Negara Islam adalah tuduhan yang muncul dari dua kemungkinan saja, yaitu kebodohan dan kebencian terhadap Islam.
Sebaliknya, tidak sedikit penulis Barat yang memuji keadilan Negara Islam terhadap rakyat non-Muslim atau ahludz-dzimmah. Di antaranya, seorang sejarahwan berkebangsaan Inggris, Sir Thomas Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam (Dakwah Islam), menulis, “Sungguh ketika kaum Muslim berkuasa, mereka memperlakukan kaum Kristen Arab dengan toleransi yang tiada duanya sejak abad pertama Hijrah. Toleransi ini terus berlangsung selama berabad-abad lamanya. Karena itu, kami yakin bahwa orang-orang Kristen yang memeluk Islam benar-benar telah memeluk Islam atas pilihan dan kesadarannya sendiri. Orang-orang Kristen Arab yang hidup di antara komunitas kaum Muslim di zaman kita sekarang ini benar-benar merasakan toleransi yang luar biasa.
Will Durant juga mengatakan, “Sungguh ahludz-dzimmah dari kaum Kristen, Zoroaster, Yahudi dan Shabiin pada masa Kekhalifahan Umayah benar-benar menikmati toleransi yang tiada bandingannya. Kami tidak menemukan bandingannya di dalam negara Kristen pada masa sekarang. Dalam Negara Islam, ahludz-dzimmah memiliki kebebasan untuk menjalankan simbol-simbol agama mereka serta menjaga gereja-gereja dan sinagog-sinagog mereka.” (Bahir Shalih, “Ahl adz-Dzimmah fi Zhilli Dawlah al-Islâm Ahkâmân wa Wâqi’ân,” http://www.pal-tahrir.info, 18/3/2012).
Dengan demikian, Pasal 26 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam ini merupakan sebuah penegasan bahwa Negara Islam tidak akan memaksakan rakyat non-Muslim untuk melakukan apa yang tidak mereka yakini. Sebab, Negara Islam adalah negara yang memiliki akidah dan misi. Misinya tidak terbatas hanya pada menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan hidup bagi setiap rakyatnya, namun juga kewajiban beraktivitas sesuai dengan akidah dan menyampaikan risalah Islam kepada semua orang. Sungguh, tugas besar seperti ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang beriman dengan misi Islam, yakni warga negara yang Muslim saja, bukan non-Muslim. WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]

Daftar Bacaan
Al-Ayid, Prof. Dr Shalih bin Husain, Huqûq Ghayr al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm (Riyadh: Departemen Urusan Islam, Waqaf dan Dakwah), Cetakan IV, 2008.
Bahir Shalih, “Ahludz Dzimmah fi Zhilli Dawlah al-Islâm Ahkâm[ân] wa Wâqi[’ân],” http://www.pal-tahrir.info, 18/3/2012.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fil Islâm (Beirut: Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Ad-Dawlah al-Islâmiyah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.
Al-Maududi, Abu A’la, Nazhariyah al-Islâm wa Hadîhi fi as-Siyâsah wa al-Qânûn wa ad-Dustûr (Damaskus: Dar al-Fikr), 1968.
Ath-Thayyar, Dr. Ali bin Abdurrahman, Huqûq Ghayr al-Muslimîn fi ad-Dawlah al-Islâmiyah (Riyadh: Departemen Urusan Islam, Waqaf dan Dakwah), Cetakan II, 2006.

Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

Beli yuk ?

 
Top