GuidePedia

0
http://images.detik.com/content/2011/07/28/10/lalakon-image.jpg




Piramida di Gunung Lalakon, Bandung, terendus pertama kali oleh komunitas pecinta sejarah Yayasan Turangga Seta. Rupanya mereka bergerak dengan bisikan gaib plus kemampuan ilmiah. Bagaimana sepak terjangnya selama ini?

Kelompok ini didirikan sekitar 14 tahun yang lalu. Berawal dari rasa kecintaan terhadap sejarah Nusantara, mereka kemudian aktif bergerak mencari fakta-fakta baru tentang fenomena purba di Tanah Air.

Uniknya, yayasan ini bekerja bukan hanya mengandalkan dokumen-dokumen sejarah ilmiah, namun berkat bantuan mistis dari para leluhur. Metode yang diklaim efektif dan efisien guna membuktikan fakta sejarah.

"Kita menanyakan pada seseorang tentang sesuatu yang hidup di zamannya. Misalnya kita, 2.000 tahun lagi ditanya oleh orang yang hidup, ditanya istananya di mana, lalu tulisannya seperti apa," jelas Ketua Yayasan Turangga Seta Agung Bimo Sutejo saat berbincang dengan wisbenbae, Kamis .

"Itu yang kita terima melalui gaib berdasarkan informasi leluhur. Walaupun bukan raja, dia pasti mengetahui lokasi di situ dan akan menunjukkannya. Demikian juga kroscek leluhur itu dan kita cari buktinya. Selama ini selalu ketemu kok," tambah Agung.

Lewat cara tersebut, Agung mengklaim selalu berhasil menemukan benda-benda purbakala yang dicari. Mulai dari candi, artefak, hingga piramida di kawasan Bandung dan Garut yang menghebohkan itu.

"Kita juga mendapatkan bukti ada lapangan terbang di Sulawesi, landasan pacu dari batu andesit (batuan yang digunakan pada zaman megalitik) dalam jarak sekian ratus meter. Tidak ada sambungan batunya," kata Agung.

Kelompok ini juga mengaku sudah berhasil menemukan bahwa sejarah Nusantara tidak sekerdil sejarah yang tertulis di buku-buku pelajaran sejarah sekolah yang resmi atau literasi sejarah yang ada. Sebaliknya, ada bukti tanda-tanda purbakala 10.000 tahun sebelum Masehi.

Yayasan yang sering berkumpul pada malam Selasa Kliwon ini juga berhasil memetakan dan mendokumentasikan lebih dari 20 jenis aksara purba asli Nusantara yang dapat dipakai untuk membaca prasasti dan rontal-rontal kuno. Cerita mitos tentang keberadaan Kerajaan Hastina Pura, Kerajaan Ngamartalaya, Kerajaan Dahana Pura, Kerajaan Gilingwesi juga berhasil dibuktikan.

"Kami juga berhasil memetakan periodesasi terciptanya bumi sampai ke titik akhir menjadi 3 Jaman Kali Jaman Besar, dan setiap Jaman Kali kami bagi menjadi 7 Jaman Kala Jaman Sedang, dan 1 Jaman Kala kami bagi menjadi 3 Mangsa Kala Jaman Kecil," klaim Agung.

Nah, Agung juga memiliki penjelasan tentang metoda mistis yang digunakan selama ini. Menurut dia, pendekatan gaib ini bisa dilatih, selama tujuannya untuk mengungkap sejarah Nusantara.

"Pada dasarnya kecepatan pandangan mata manusia 50 gambar per detik. Artinya kalau ada sesuatu yang bergerak melebihi itu tidak akan tertangkap mata kita. Nah, kalau berpuasa dia merasakan waktu berjalan lebih lama. Ini namanya denotasi waktu. Kita dalam waktu 1 menit melihat jumlah frame gambar daripada orang normal," paparnya.


http://www.candi.web.id/wp-content/uploads/2011/02/lalakon.jpg


"Di Turangga Seta ini dipertahankan, supaya melihat lebih besar dari yang kita lihat. Bertemu dengan leluhur, Prabu Siliwangi misalnya. Kita bertanya keratonnya di mana. Lalu kalau nulis seperti apa. Kalau dia tidak tahu, berati pasti pasti demit. Kita selalu mengkroscek satu per satu," terangnya lagi.

Sayangnya, setiap temuan yayasan ini tidak diakui pemerintah. Berbagai upaya untuk meminta dukungan sudah dilakukan, namun tak mendapat sambutan positif. Agung menduga, hal ini terjadi karena 'metoda' yang mereka gunakan berbeda dengan pendekatan pemerintah.

"LIPI tidak mau ada penemuan berdasarkan menyan. Padahal kita pakai menyan," ucapnya. "Kita sudah berusaha melaporkan ke Arkenas (Badan Arkeologi Nasional), sudah 14 tahun ini, selalu membicarakan ke mereka, tapi nggak ada respons," sambungnya. Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini !

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top