GuidePedia

0

Asdir berpose di tengah armada Twin Otter dari Maldivian Air Taxi yang memiliki 22 unit pesawat tersebut dalam bisnis transportasi seaplane di Maladewa. Pengambilan foto di sekitar lokasi operasi Maldivian Air Taxi, Male International Airport

Lebih dari 3 juta warga negara Indonesia (WNI) bekerja di luar negeri. Data yang pernah dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri menyebutkan hingga Desember 2010, jumlah WNI yang bekerja di luar negeri mencapai 3.294.009 dan 60 persen diantaranya berada di Malaysia serta Arab Saudi.

Bayaran dan kehidupan yang lebih baik dan menjanjikan serta suasana kerja dan perilaku atasan yang bersahabat setidaknya menjadi bagian alasan bagi WNI yang memilih bekerja di luar negeri.

Kenyataan ini mengemuka meskipun tidak sedikit juga WNI yang mengalami penganiayaan, diperlakukan tidak adil oleh majikannya seperti tidak diperhatikan hak-haknya termasuk tidak dibayar gajinya walaupun telah dipaksa bekerja melampaui ketentuan jam kerja yang ada.

Pengalaman akan jaminan kesejahteraan yang menjanjikan terangkum dalam perbincangan pertengahan Agustus lalu dengan beberapa pekerja WNI di Republik Maladewa, sebuah negara kepulauan yang terdiri dari kumpulan atol di Samudera Hindia. Menurut data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Colombo, Sri Lanka yang merangkap Republik Maladewa, terdapat hampir 1.000 WNI yang bekerja di Maladewa.

Sekretaris I Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI di Colombo, Abdullah Zulkifli, menerangkan data pasti mengenai jumlah pekerja WNI di Maladewa tidak bisa disebutkan karena ada sejumlah pekerja yang tidak mendaftarkan diri setelah disalurkan untuk bekerja di negara yang terletak di sebelah selatan-barat daya India, sekitar 700 km sebelah barat daya Sri Lanka ini.

Sebagian besar WNI bekerja di bidang pariwisata di negara dengan 1.192 pulau yang jumlah penduduknya hanya 390.000 jiwa atau tergolong sebagai jumlah penduduk terkecil di Asia.

Salah satu pekerja WNI yang mengakui mendapatkan perlakuan layak ini adalah Asdir (43) yang berprofesi sebagai teknisi perawatan di Maldivian Air Taxi, salah satu operator seaplane terbesar di dunia.

Lulusan Sekolah Tinggi Penerbangan Curug pada 1990 ini menjelaskan fasilitas yang dijanjikan terhadap dirinya dari perusahaan yang mempekerjakan 100 pilot itu jauh lebih tinggi ketimbang saat ia pernah mengabdikan diri pada salah satu maskapai nasional selama hampir 20 tahun.

Menurut Asdir yang telah berkarir dalam 3 tahun terakhir di Maldivian Air Taxi, tenaga teknisi berpengalaman untuk menangani armada pesawat Twin Otter seperti dirinya berhak untuk mendapatkan gaji hingga 6.500 dollar AS per bulan. Tunjangan kesejahteraan ini belum mencakup akomodasi gratis seperti menetap di apartemen yang terletak ibukota Maladewa, Male, serta 3 kali mendapatkan tiket pulang-pergi Maladewa-Indonesia dalam setahun.

"Biasa saya jalan-jalan ke Singapura kalau liburan dengan keluarga," tutur pria asal Padang yang keluarganya menetap di Surabaya.

"Kadang-kadang saya juga mengajak mereka ke sini," tambah ayah dengan 3 anak yang mendapatkan diskon khusus dari perusahaannya untuk berliburan di salah satu resor ekslusif di Maladewa. Bekerja selama 3 bulan dan liburan selama sebulan adalah kebijakan waktu kerja periodik per tahun yang dapat dinikmatinya dari perusahaan.

Asdir selalu menyempatkan waktu untuk berkomunikasi melalui fasilitas internet dari laptopnya dengan keluarga yang berada di Indonesia. Terbilang hemat karena terbiasa memasak sendiri untuk memenuhi kebutuhan harian termasuk makanan berbuka puasa bulan lalu, Asdir menjelaskan hanya menghabiskan sekitar 500 dollar AS per bulan untuk biaya kehidupan di Maladewa.

"Profesi lebih dihargai di sini, kalau dilihat dari bobot pekerjaan di Indonesia dan di sini sebenarnya sama saja," ujar Asdir saat menuturkan salah satu bahan pertimbangannya untuk memilih bekerja di luar negeri dan terpaksa menetap jauh dari keluarga.

"Tidak heran kalau pilot-pilot sempat mogok karena mereka bisa dihargai dengan lebih tinggi di luar," jelas Asdir saat mengomentari aksi mogok yang sempat diadakan oleh para pilot maskapai nasional di tanah air belakangan.

Penuturan serupa soal penghargaan terhadap profesi disampaikan juga oleh WNI lainnya, Endang Sugiarto (48), teknisi senior Trans Maldivian Airways. Bapak dari anak 3 anak ini juga rela harus meninggalkan keluarganya untuk bekerja dengan perusahaan kompetitor Maldivian Air Taxi.
 
"Saya merasa diorangkan di sini," ujar Endang saat mengisahkan kekaguman yang tidak pernah terbayangkan terhadap apresiasi yang diterimanya pertama kali ia disambut untuk bekerja di Trans Maldivian Airways 3 tahun lalu.

"Saat saya pertama kali bergabung dengan perusahaan ini, saya diajak melihat apartemen tempat saya menginap dan di atas kasur saya temukan sepucuk surat berisi kata sambutan yang langsung ditandatangani oleh direktur utama perusahaan," jelas Endang yang tidak menyangka akan mendapatkan sambutan yang tidak pernah diterimanya di Indonesia saat pertama kali bertugas di Trans Maldivian Airways.

Endang yang pernah mendedikasikan diri untuk maskapai nasional selama 19 tahun mengaku hanya mendapatkan bayaran sebesar Rp 17 juta sebulan ketika kemudian bertugas sebagai teknisi senior untuk sebuah maskapai swasta nasional pada 2008. Sementara untuk profesi serupa dan pengalaman yang telah dikantunginya bisa dihargai dengan bayaran hingga di atas 6.000 dollar AS per bulan di Maladewa.

Pengakuan akan bayaran yang cukup tinggi juga disampaikan oleh hostess Maldivian Air Taxi, Santi (30). Ibu dari seorang putra berusia 5 tahun ini telah menjalani berbagai profesi di Maladewa mulai dari penjaga toko di Male hingga menjadi ahli terapi untuk sebuah resor di Maladewa.

"Therapist bisa dapat bayaran sampai 3.000 dollar AS. Itu utuh karena mereka biasa dapat tempat tinggal, makan, dan tiket gratis pulang pergi Maladewa - Indonesia," ujar Santi yang menikah dengan pria asal Maladewa saat menjelaskan pengalamannya sebagai ahli terapi berikut tunjangan yang diterimanya.

"Jarang malah enggak pernah saya dengar ada kasus penipuan atau pelecehan ke WNI di sini," jelas wanita lulusan SMA yang dibesarkan di Bintan, Kepulauan Riau, dan memberanikan diri kerja di luar negeri dengan bekal kursus Bahasa Inggris yang pernah dienyam.

"Butuh keberanian bisa sampai kerja di sini dan orang-orang kita cukup banyak kok, kayak di resor-resor itu...,"tutur Santi yang juga pernah berprofesi sebagai baby sitter dan caddy. "Banyak juga orang Bali yang kerja di sana," tambahnya.

Endang menimpalinya dengan menjelaskan tidak hanya keberanian tetapi juga keahlian khusus dibutuhkan untuk bekerja di Maladewa.

"Kita ini seperti kehilangan induk semang," keluh Endang saat menerangkan banyak WNI dengan keahlian khusus bekerja di Maladewa tetapi tidak ada pengusaha Indonesia atau asosiasi perwakilan bisnis Indonesia yang menjadi payung kepentingan usaha mereka di sana.

"Risiko kerja di mana-mana ada," tutur Endang saat akan beranjak mengakhiri perbincangan dengan mengutarakan rencananya bekerja di negara rawan konflik seperti Iran dan Libya setelah kontrak kerjanya di Trans Maldivian Airways berakhir tahun ini.

sumber
Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini !

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top