Penutupan lokalisasi Dolly-Jarak menyimpan kisah-kisah mengharukan. Banyak anak yang terselamatkan dari dampak buruk lokalisasi itu.
* * *
PEREMPUAN muda itu agak malu-malu saat memulai perbincangan. Dia tergagap kala menjelaskan asal usulnya. Maklum, perempuan yang identitasnya dirahasiakan itu pernah mengalami masa-masa kelam dalam hidupnya. Gadis itu, sebut saja Ayu, adalah anak seorang pekerja seks komersial (PSK) Dolly-Jarak. Ayu sekarang berusia 18 tahun dan baru saja lulus dari salah satu SMA di Surabaya Barat. Selama itu pula dia harus menyembunyikan identitasnya sebagai anak seorang PSK.
Selasa pekan lalu (5/8) Ayu diundang secara khusus ke ruang kerja Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Di ruangan itu juga hadir sejumlah warga Kelurahan Putat Jaya yang terdampak penutupan lokalisasi Dolly-Jarak. Di antara mereka ada yang sudah bekerja sebagai petugas perlindungan masyarakat (linmas), personel satuan polisi pamong praja (satpol PP), serta pegawai kontrak di dinas sosial dan badan pemberdayaan masyarakat-keluarga berencana (bapemas KB). Semuanya laki-laki, kecuali Ayu.
Ayu bercerita, empat hari menjelang deklarasi penutupan lokalisasi Dolly-Jarak pada 18 Juni lalu, dirinya memberanikan diri untuk berkirim surat kepada Wali Kota Risma. Dia menumpahkan segala problem yang dialami dalam empat lembar surat kepada Risma.
"Saya curhat sama Bu Risma", ungkapnya.
Dalam surat itu dia menceritakan kehidupan pribadinya. Saat masih kecil Ayu tentu tak mengetahui pekerjaan ibunya. Dia hanya ingat bahwa dirinya sering ditinggal ibunya mencari nafkah dan sang bunda jarang pulang. Sedangkan ayahnya telah tiada saat Ayu masih duduk di bangku TK. Menurut cerita dia, ibunya yang sekarang berusia 39 tahun itu merupakan istri kedua.
"Saat itu saya dititipkan ke kerabat di sekitar Klakah Rejo," tuturnya. Ketika duduk di bangku sekolah dasar dia mulai berani bertanya langsung soal pekerjaan yang dilakoni ibundanya. Jawaban yang dia terima ketika itu, ibunya adalah pelayan restoran di pusat kota. Dalam kesempatan lain dia juga menanyakan ulang profesi yang digeluti ibunya hingga tak pulang tiap hari. Tak jarang, setelah dua pekan baru pulang. Itu pun sehari saja. Sang ibu hanya menjawab sedang kerja di kafe. Mungkin ibunya ingin dia tumbuh seperti anak-anak lain.
Tapi, rahasia pasti terbongkar juga. Ayu akhirnya sedikit demi sedikit mengetahui profesi yang dipilih ibunya untuk mengais rupiah. Dia mendengarnya dari tetangga di kiri dan kanan rumah. Ibunya kerja malam di wisma sebagai pelayan laki-laki hidung belang.
"Saat pertama kali dengar selentingan itu saya sudah SMP", kata dia. Menjadi anak seorang PSK tentu bukan idaman siapa pun. Dalam keresahan hati yang semakin dalam itu, dia memberanikan diri mengklarifikasi langsung kepada kerabatnya. Bak petir di siang bolong, jawabannya bikin Ayu kaget bukan kepalang. Harus menerima kenyataan begitu pahit.
"Sangat down sekali saat itu. Mangkel," tutur dia. Dia butuh waktu lama untuk bisa menerima kenyataan. Tapi, dia mencoba untuk bisa tegar. Ayu ingin seperti anak-anak lain yang ceria menatap masa depan. Punya harapan dan cita-cita setinggi langit. Dia mengatakan pernah bertanya secara langsung kepada ibunya. Tapi, Ayu tak pernah mendapatkan penjelasan yang gamblang secara langsung dari orang yang melahirkannya itu.
"Mama malahan marah-marah kalau disinggung soal itu," ujarnya.
Namun, Ayu akhirnya mulai berpikir dewasa. Dia juga tak ingin menyakiti ibunya. Dia pun cuek dengan kondisi yang menimpanya. Tapi, di balik kemarahan ibunya itu sebenarnya Ayu tahu betul bahwa ibunya sangat sayang kepadanya. Pernah suatu saat dia diminta mengantarkan ibunya ke wilayah lokalisasi Dolly-Jarak. Namun, Ayu tak diajak masuk secara langsung ke tempat kerja ibunya. Sang ibu tak mau Ayu juga terjerumus ke lembah hitam bisnis prostitusi.
"Saya diminta menunggu agak jauh. Mama jalan kaki, mau mengambil pakaian yang tertinggal," terang dia.
Dia sebenarnya juga semakin kasihan kepada ibunya. Apalagi saat ibunya harus masuk rumah sakit. Ayu mengaku sudah tahu bahwa ibunya terjangkit penyakit HIV/AIDS. Dia mencari informasi soal penyakit itu dari internet dengan mencocokkan tanda-tanda yang dialami ibunya. Tiga kali saya menemani mama opname, ujarnya. Setelah opname, ibunya sempat berhenti bekerja sebulan. Tapi, ketika kondisinya mulai pulih, sang ibu kembali berdinas. Meskipun, tak seberapa lama penyakitnya kumat lagi. Sekian lama Ayu harus memendam identitasnya itu. Dia hampir enggan bergaul dengan banyak temannya dan cenderung menutup diri. Dia sangat khawatir orang akan salah menilai dirinya dan mengolok-olok ibunya.
Kesempatan untuk menumpahkan semua kisah pilu itu datang juga saat Ayu mendengar rencana Pemkot Surabaya menutup lokalisasi Dolly-Jarak. Dia berbagi cerita itu kepada Risma. Yang dia tahu, Risma amat peduli dengan pendidikan dan nasib anak-anak. Awalnya, saat mau kirim surat itu, saya takut, ujarnya. Dia sangat takut kalau identitasnya terbongkar. Dia sangat takut kalau malah mendapatkan kemarahan dari wali kota. Dia khawatir suratnya bakal percuma. Namun, niat itu dia bulatkan. Hampir semalaman dia menulis surat untuk wali kota. Surat empat lembar tersebut dia kirim tiga hari sebelum deklarasi penutupan lokalisasi pada 18 Juni di Islamic Center Dukuh Kupang. Dua hari setelah deklarasi dia diminta datang langsung ke ruang kerja wali kota. Dia pun bercerita panjang lebar soal kehidupannya.
"Tapi, saya pesan juga kepada bu wali, mohon jangan cerita-cerita. Sebab, ini sangat rahasia," ungkap dia. Sejak 1 Juli, Ayu direkrut sebagai pegawai kontrak di bapemas KB. Dia mendapatkan tugas mendampingi orang-orang kurang mampu yang diberdayakan oleh bapemas KB. Hal itu sesuai dengan keinginan Ayu untuk membantu orang lain. Dia sekaligus menginginkan orang-orang yang senasib dengan dirinya bisa lebih tabah dan bersemangat menghadapi kenyataan hidup.
Selama sebulan bekerja di bapemas KB, Ayu mendapatkan banyak sekali pengalaman. Dia pernah memberikan pendampingan kepada orang tua yang begitu miskin. Dia juga sekarang mendampingi seorang anak berusia delapan tahun yang begitu kecanduan seks lantaran pengaruh buruk lokalisasi.
"Kadang saya merasa banyak orang lain yang lebih tak beruntung daripada saya, "ujar dia. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menuturkan, salah satu yang membulatkan tekadnya untuk menutup lokalisasi di seluruh Surabaya adalah anak-anak. Dia mendapatkan banyak sekali surat seperti yang ditulis Ayu. Surat-surat itu begitu menyentuh hatinya. Ada anak yang curhat ingin belajar tenang dan tak terganggu suara musik keras rumah karaoke. Ada yang begitu malu menyebutkan alamatnya di Putat Jaya yang lebih identik dengan kawasan lokalisasi. Dia pun tak ingin ada lagi anak-anak yang masa depannya suram gara-gara prostitusi. Risma yakin bahwa penutupan lokalisasi itu merupakan cara untuk memutus mata rantai setan aneka dampak buruk yang timbul selama ini. Bukan hanya soal prostitusi, tapi juga penjualan anak di bawah umur, minuman keras, dan narkoba.
Post a Comment Blogger Facebook