GuidePedia

0

Pada tahun 2005 pernah mencuat istilah ‘Mafia Ohio’ yang disematkan pada Rizal Mallarangeng dan Saiful Mujani, yang merupakan lulusan ilmu politik Ohio University. Keduanya juga secara otomatis merupakan murid dari William Liddle, profesor emeritus ilmu politik Ohio University yang menyebut diri dan disebut ‘Indonesianist’, seorang pengamat asing yang sudah terkenal suka cawe-cawe dengan urusan dalam negeri Indonesia bahkan sejak zaman Soeharto/Orba.

Pada tahun 2004, Kwik Kian Gie menuduh William (Bill) Liddle bermain di balik Carter Center dan NDI (National Democratic Institute for International Affairs). Menurut Kwik, NDI dan Carter Center bermain di balik Quick Count pilpres saat itu, dan Liddle berusaha mempengaruhi opini publik dengan komentar-komentarnya.

Saat itu, Liddle tampaknya masih bergerak sendiri langsung, sebab murid-muridnya belumlah matang. Pada tahun 2005, dua orang muridnya Saiful Mujani dan Rizal Mallarangeng sudah matang, dan mulai berkiprah dalam rekayasa opini publik dalam peristiwa kenaikan BBM pada Oktober 2005.

Kelompok Mallarangeng pada awalnya merupakan murid Bill Liddle dan alumnus Ohio yang paling sukses. Terutama setelah Mallarangeng mendirikan Fox Indonesia dan menjadi konsultan resmi SBY dan Partai Demokrat. Di Fox Indonesia itu, Bill Liddle duduk sebagai konsultan. Kedigdayaan Fox dalam merekayasa pencitraan SBY pada tahun 2009 tentunya masih segar di dalam ingatan.
Dengan kesuksesan Mallarangeng bersaudara, dimana Andi dan Rizal (tidak termasuk Choel) adalah alumnus Ohio. Mafia Ohio ini, saya pribadi lebih suka menyebutnya OHIO BOYS, satu demi satu mulai menancapkan kukunya dalam jagad perpolitikan Indonesia – bukan sebagai pemain, tapi sebagai spindoctor : konsultan politik dan perekayasa opini.
Mengapa mereka lebih tepat disebut perekayasa opini ketimbang perusahaan survei, sebab kebanyakan juga sekaligus berperan sebagai konsultan politik, dan dalam paket konsultasi termasuk melakukan survei. Apabila survei dipublikasikan secara luas, konsisten dan sistematis, tujuannya adalah menciptakan opini yang akan menguntungkan posisi kliennya.

Analoginya adalah seperti perusahaan akuntan sebelum Sarbanes Oxley Act tahun 2002, dimana perusahaan auditor juga diizinkan berperan sebagai konsultan keuangan. Sebagai konsultan, auditor seperti Arthur Andersen mengajarkan teknik-teknik window dressing untuk memperbagus laporan keuangan dan menyembunyikan kerugian/kecurangan; kemudian sebagai auditor mereka yang memeriksa, mengamini dan menutupi segala window dressing tersebut. Tidak heranlah kemudian tersibak segala megaskandal keuangan seperti Enron, World.com, Peregrine, Xerox dll yang berujung pada kematian dari Arthur Andersen, perusahaan Auditor no. 1 dunia.

Apabila konsultan politik berkepentingan besar merekayasa opini publik demi kepentingan kliennya, masihkah survei, poll dan count yang dihasilkan memiliki kredibilitas…?

Gerombolan OHIO BOYS yang kemudian ikut memeriahkan kancah perpolitikan Indonesia dengan mendirikan berbagai lembaga konsultan politik dan survei di antaranya yang bisa disebutkan : 
Mallarangeng bros : Fox Indonesia 
Saiful Mujani : semula LSI lalu mendirikan SMRC 
Eep Saefulloh Fatah : Pollmark 
Denny Januar Ali : Lingkaran Survei Indonesia 
Kuskridho Ambardi : Lembaga Survei Indonesia (LSI) 

Yang mungkin dapat ditambahkan adalah Burhanudin Muhtadi, yang merupakan turunan Ohio Boys, anak didik Saiful Mujani di LSI, sebelum membentuk Indikator Politik Indonesia.

Jejak Bill Liddle di Pilpres 2009 dapat terlihat dari keterlibatannya di Fox Indonesia, yang sekarang sudah karam. Untuk Pilpres 2014, pada antara Des 2013 – Jan 2014, Bill Liddle sudah memberikan berbagai pernyataan yang Pro Jokowi di media massa. Jejak lainnya adalah bagaimana seluruh Ohio Boys kecuali Mallarangeng, ternyata secara terang-terangan menjadi timses dan bagian dari kubu Jokowi-JK.

Rekayasa pembentukan opini yang dilakukan oleh kelompok Ohio Boys ini sudah jauh sebelum Pilpres berlangsung. Silakan diperhatikan lembaga-lembaga survei mana yang telah mempollingkan nama Jokowi jauh sebelum Jokowi masuk bursa capres, saat Jokowi masih pura-pura ndak mikir, copras capres.

Pada saat pilgub DKI, yang terlibat memang baru Eep Saefulloh Fatoh melalui Pollmark, konsultan Jokowi-Ahok. Setelah Jokowi lulus ujian Pilgub DKI, tampaknya kelompok ini meyakini, bahwa Jokowi adalah figur siap pakai yang bisa digoreng untuk bursa pilpres. Bagaimanapun, Jokowi yang kapabilitasnya rendah dan kepemimpinannya tidak terlihat, latar belakangnya lemah, jam terbangnya seumur jagung; merupakan profil yang lebih mudah disetir dan dikendalikan ketimbang Prabowo – a hard boiled military man.

Seperti sudah disebutkan beberapa pihak bahasa politik halusnya : Jokowi lebih mudah ‘diberi pendapat’ ketimbang Prabowo.

Keberpihakan Ohio Boys ini mulai dari malu-malu pra-pileg, sampai menjadi semakin vulgar saat kampanye pilpres. Denny Januar Ali dengan Lingkaran Survei sudah sejak awal terang-terangan memihak Jokowi. Saiful Mujani, edannya, malah tertangkap tangan saat berkampanye langsung untuk Jokowi di Serang. Membusukkan Prabowo sebagai pembunuh, dan membagi-bagikan duit, yang diakuinya sendiri saat diperiksa oleh Bawaslu dan diberitakan di berbagai media nasional.

Makanya sangat mengherankan, kelakuan Saiful Mujani yang seharusnya sudah menyebabkan SMRC didiskualifikasi, malah bukan itu yang terjadi, justru Quick Count SMRC yang dijadikan patokan oleh Metro TV, dan yang dipakai oleh Jokowi-JK untuk mendeklarasikan kemenangannya…!

Mengapa ini bisa terjadi, tentunya karena ompongnya organisasi pengawas PERSEPI, yang ketuanya Adrianof Chaniago adalah lagi-lagi kubu Jokowi. Hasto Kristiyanto dari PDIP saat menafikan jasa Prabowo yang membawa Jokowi ke Megawati, menyebutkan bahwa Adrianof Chaniago yang merekomendasikan Jokowi bukan Prabowo.

Persepi baru kedengaran suaranya saat ada lembaga survei lain di TV One yang Quick Countnya memenangkan Prabowo. Lalu tersebar kabar bahwa semua lembaga pelaku Quick Count akan dipanggil dan disidang, dan salah satu panelis Persepi adalah Hamdi Muluk, lagi-lagi salah satu pengamat yang suka menyanyikan lagu pro Jokowi di berbagai kesempatan.

Dalam 1-2 hari ini kitapun kembali melihat Burhanudin Muhtadi, yang sebelumnya masih malu-malu mengakui, bahkan saat namanya sudah disebut Sydney Morning Herald dan Lowy Interpreter sebagai kelompok Jokowi-JK dan mentwit dengan panik soal suara ambrol di Jabar – kini semakin kalap membela Quick Count yang dihasilkannya, dengan opini : Quick Count benar, apabila berbeda berarti KPU curang‘.

“Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah,” kata Burhan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (10/7/2014) sore.

Luar biasa permainan Jokowi-JK yang didukung Metro TV dan Ohio Boys ini. Terlepas dari siapa yang menang, berbagai preemptive sudah dipersiapkan sejak survei internal maupun external menunjukkan jebloknya popularitas Jokowi.

Isu bahwa KPU akan curang sudah ditiupkan sejak kampanye. Mula-mula dengan isu kertas suara yang tidak ada gambar capres no. 2, lalu dengan isu rusuh di pilpres Hongkong. Kemudian beredar Exit Poll yang memenangkan Jokowi-JK di luar negeri.

Lalu Saiful Mujani dan Denny Januar Ali mempublikasikan hasil survei Jokowi-JK menang saat injury time 3 hari masa tenang. Ini belum termasuk gerakan sporadis oleh timses lainnya yang melakukan black campaign terhadap Prabowo di Google Adsense dan isu sembako Jokowi, mungkin untuk pengalih perhatian dan menyibukkan kubu Prabowo-Hatta.

Beberapa media memberitakan bahwa pada malam H-1 dan pagi pilpres, sudah beredar instruksi pawai kemenangan, dimana di Jakarta akan dipusatkan di bunderan HI. Burhanudin Muhtadi sudah siap di stasiun Metro TV. Quick Count SMRC di Metro TV mulai jam 13. Beberapa menit kemudian saat data masuk sekitar 4%-5% Jokowi-JK leading 60%. Lalu kemudian di menit 13-15, kondisi pelan-pelan berbalik, Prabowo-Hatta leading di 52%. Tiba-tiba saja pada menit ke 20, kondisi berbalik menjadi Jokowi-JK yang leading 52%. Keadaan ini berlanjut sampai data sudah 70% lebih.

Adegan berpindah ke Kebagusan, dan Megawati langsung mendeklarasikan kemenangan : bahwa perhitungan sudah 81%, kami menang dengan suara 52%. Disusul deklarasi kemenangan Jokowi-JK. Hanya dalam hitungan 2 jam ! Lucunya saat deklarasi itu tampak Iriana Widodo, yang paginya masih memakai jilbab saat nyoblos, sudah melepas jilbabnya. Tidak perlu pura-pura lagikah…?

Sayangnya, apapun yang dilakukan Jokowi-JK dan skenario Ohio Boys untuk hari itu untuk pesta kemenangan besar-besaran sebenarnya sudah mengalami kegagalan. Faktor yang membuyarkan adalah SBY, karena ternyata SBY dengan sigap menengahi kekisruhan setelah kubu Prabowo juga mengklaim mereka yang menang – sebab sebagaimana dikatakan, apabila tidak dijawab, nanti dipikir Prabowo-Hatta sudah kalah. SBY dengan tegas mengatakan bahwa apapun yang dihasilkan Quick Count, yang berlaku adalah perhitungan resmi KPU.

Beruntun pernyataan dari berbagai pihak : KPU, Bawaslu, Kepolisian, TNI dan pemuka PBNU, Muhammadiyah, dan tokoh2 masyarakat akhirnya juga mementahkan manuver pesta kemenangan Jokowi-JK hari itu dan meredupkan hasil Quick Count. Pemanggilan oleh SBY juga memaksa Jokowi untuk berkomitmen tidak turun ke jalan, namun Jokowi menyebut masih menghalalkan ‘syukuran dalam ruangan’.

Skenario timses Jokowi-JK sampai dengan hari pengumuman KPU tanggal 22 Juli adalah : 
1. Menyerang dan merusak reputasi dan kredibilitas KPU, Bawaslu dan Pemerintahan SBY; sehingga apabila mengumumkan pemenangnya adalah Capres no. 1 maka berarti KECURANGAN. Tujuannya adalah menimbulkan keresahan masyarakat dan membenturkan antar pendukung dan dengan pemerintah. Hal ini seperti disebutkan sudah dimulai sebelum pilpres di antaranya oleh JK dan petinggi PDIP. 
2. Memelihara image ‘Jokowi-JK yang menang’ melalui ‘syukuran dalam ruangan’ sebagaimana istilah Jokowi; yaitu tak henti-hentinya Metro TV meliput berbagai pihak deklarasi ke media dan mengucapkan selamat pada Jokowi-JK. 

Ada lagi beberapa isu, di antaranya kedatangan Bill Clinton di hari-hari sekitar pengumuman KPU. Apabila masih ingat, 2 hari sebelum pilpres 2004, ex presiden Amerika Jimmy Carter juga berkunjung ke Indonesia dengan alasan melihat kesiapan pilpres saat itu, yang disebut Kwik Kian Gie merupakan intervensi Amerika yang memenangkan SBY.

Siapapun yang dinyatakan menang pada 22 Juli 2014 nanti, vulgarisme politik dan rekayasa opini yang dilakukan kelompok seperti Ohio Boys pada akhirnya akan tidak berkhasiat lagi sebab publik sudah semakin dicerdaskan. Pada akhirnya konsultan-konsultan politik keblinger ini akan menemui kebangkrutannya, seperti Fox Indonesia yang sudah lebih dulu almarhum. Tragisnya, Andi dan adiknya Choel malah terjerat tindak pidana korupsi.

Bila Jokowi menang, mungkin mereka masih bisa bernapas dan berpindah karir ke politik dengan jadi stafsus, wantimpres, menteri, dirjen, komisi ini-itu; sementara bisnis konsultan politik dan survei memudar seiring pupusnya kepercayaan publik. Tapi apabila Prabowo menang, beberapa Ohio Boys sudah dengan gagah berani menyatakan akan membubarkan diri. Kebinasaan bisnis rekayasa dan karir mereka bukanlah sesuatu yang perlu diratapi, kita tetap bersyukur atas pembelajaran politik yang telah diberikan petualang-petualang tersebut kepada bangsa ini. 

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top