GuidePedia




Orang-orang bersenjata itu bersiaga. Sigap bersama Kalashnikov, bedil bikinan Rusia yang sohor dengan sebutan AK-47. Di situ senapan mesin juga siaga menderu. Dan rumah ini sesungguhnya sama dengan rumah-rumah lain di Bani Gala. Jika kemudian terlihat sanggar, itu karena sejumlah serdadu tadi garang menjaga.

Orang-orang pemukiman di Islamabad itu, tahu rumah ini milik Abdul Qadeer Khan. Dia bukanlah petinggi negara. Bukan pula seorang jenderal. Dia adalah seorang ahli nuklir, yang kecerdasannya membuat Eropa, Amerika dan segenap sekutunya, murka alang kepalang.

Abdul Qadeer memang pernah menjadi tahanan rumah. Kini sudah bebas. Jika rumah itu masih dijaga ketat, itu karena kakek berusia 77 tahun ini sudah menjelma menjadi masa depan militer, bahkan menjelma menjadi harga diri negeri itu. Dialah orang yang paling berjasa menjadikan Pakistan, sebagai satu dari sembilan negara pemilik senjata nuklir di muka bumi ini.

Kecerdasan meramu nuklir melambungkan namanya hingga Korea Utara. Ahli metalurgi paling sohor di Pakistan inilah, yang mencetuskan program nuklir bagi negeri di semenanjung Korea itu. Abdul Qadeer juga menjadi pencetus senjata nuklir Libya dan juga Iran, negeri yang tak pernah lelah baku gertak dengan Amerika Serikat.

Menjadi juru kunci nuklir di sejumlah negara itu, menyebabkan Abdul Qadeer menjadi ahli yang paling diburu, sekaligus paling dilindungi. Ketika pasukan khusus Amerika Serikat menyerbu persembunyian Osama bin Laden di Abbottabad, penjagaan rumah Khan itu kian berlapis. Takut dia ikut diciduk.

***

Lahir di Bhopal India tahun 1936, Khan tumbuh dalam keluarga yang sungguh memuliakan pendidikan. Ayahnya, Dr Abdul Ghafoor Khan, adalah seorang akademisi di kementerian pendidikan. Ketika itu India masih dijajah Inggris. Keluarganya kemudian pindah ke Pakistan, setelah negeri itu pisah dengan India tahun 1947.

Menuntaskan pendidikan dasar di Bhopal, dia meraih gelar Sarjana Ilmu Pengetahuan dari Universitas Karachi 1960. Tradisi pendidikan keluarga yang ketat, mengirimnya ke sejumlah negara di Eropa.

Segera setelah lulus sarjana itu, tahun 1961, dia merantau ke Jerman. Belajar Metalurgi di Universitas Teknik Berlin. Gelar master di bidang teknologi diperolehnya dari Delft University of Technology di Amsterdam, Belanda. Dia meraih gelar Doktor dari Universitas Katolik di Leuven, Belgia 1972.

Sesudah meraih gelar doktor itu, dia bertekun di laboratorium. Bergabung dengan Laboratorium Riset Dinamis di Amsterdam. Di situ, dia meneliti besi baja untuk digunakan pada centrifuge gas. Ketekunan, juga semua kecerdasannya, melempangkan jalan bekerja di perusahaan apa saja, di negeri mana saja.

Dari Dinamis itu, Khan bekerja di URENCO, sebuah perusahaan riset pengayaan uranium di Belanda. Posisi penting. Dia mendapat akses tak terbatas di perusahaan ini. Termasuk akses membuka begitu banyak dokumen rahasia teknologi centrifuge gas dan pengayaan uranium.

Meski terhitung makmur di negeri orang, Khan tetap ingin pulang, ingin bekerja di negeri halamannya sendiri, Pakistan. Semangat pulang kampung itu kian menyala ketika tahun 1972, Pakistan tersuruk menjadi negeri yang ringkih di hadapan India. Tertinggal jauh dalam pendidikan, ekonomi, persenjataan dan bahkan mungkin segala-galanya.

Tanggal 18 Mei 1974, India di bawah Indira Gandhi menggelar ujicoba pertama senjata nuklir. Meski sejumlah pengamat menilai bahwa uji coba itu lebih sebagai jawaban atas ancaman China -setelah kekalahan memilukan dalam Perang Sino-India 1962– sebagai rival serumpun, Pakistan merasa kecolongan.

Perdana Menteri Pakistan Zulfikar Bhutto mendesak para ilmuwan mempercepat riset nuklir. Dari target lima tahun, menjadi tiga tahun. Khan tawarkan bantuan kepada Bhutto. Tapi menampung para ahli, apalagi dalam situasi segenting itu, tentu saja harus ekstra hati-hati. Bukan penyusup.

Pada tahap penelusuran latar belakang oleh ISI, badan intelijen Pakistan, Khan dinyatakan tidak lulus. Riwayat sekolah dan bekerja di sejumlah negara itu meragukan sisi nasionalismenya. Tapi dalam daftar Bhutto, Khan adalah ahli yang paling dibutuhkan Pakistan.

Bhutto akhirnya mengirim utusan ke Belanda. Bertemu langsung. Setelah pertemuan itu dia diterima 1976. Kalkulasinya yang cermat berkontribusi besar bagi riset nuklir Pakistan.

Tapi menghimpun begitu banyak ahli sungguh tidaklah mudah. Meski semangat nasionalisme mereka mendidih, perdebatan di laboratorium begitu gampang menjelma menjadi pertikaian. Khan cekcok dengan anggota tim. Gagasan soal pengayaan uranium ditolak. Tim nuklir yang tergabung di Pakistan Atomic Energy Commission (PAEC) lebih memilih plutonium.

Bersama seluruh kekesalannya, Khan menyurati Bhutto. Dia menegaskan bahwa jika begini terus nuklir Pakistan bakal cuma khayalan belaka. Bhutto akhirnya memberi keleluasaan kepada Khan membentuk tim sendiri. Tim itu bekerja di Kahuta, sebuah desa terpencil di Pakistan. Fisikawan ternama Pakistan dari seluruh dunia dihimpun.

Pengayaan uranium gagasan itu Khan sukses. Tanggal 28 dan 30 Mei 1998, Pakistan berhasil meledakkan enam bom nuklir. Tidak hanya itu, di bawah kepemimpinannya, Pakistan berhasil melakukan uji coba rudal balistik jarak menengah, Ghauri I pada 6 April 1998 dan Ghauri II pada 14 April 1999.

Dari laboratorium itulah Khan berperan besar dalam membentuk sistem pertahanan Pakistan. Di antaranya adalah pengembangan rudal bahu anti jet tempur ANZA dan rudal jelajah anti tank Baktar Shikan.

***

Kesuksesan itu memang dirubungi tuduhan. Seiring mendunianya nama Khan, banyak orang yang mencari-cari boroknya. Dituduh mencuri rahasia URENCO saat bekerja di situ. Tahun 1983, Khan diadili secara in abstentia atas tuduhan mata-mata oleh pengadilan Amsterdam. Divonis 4 tahun penjara.

Tapi Khan adalah aset Pakistan. Pemerintah negeri itu mengirim tim hukum ke Belanda. Ajukan banding. Semua bukti sukses patahkan tuduhan. Riset di Kahuta itu, kata Khan, adalah hasil inovasi dan kerja keras. Dia menambahkan, “Tapi kami tidak menampik penggunaan buku, majalah dan karya tulis ilmiah dalam hal ini.”

Pada sebuah wawancara dengan media 1987, Khan menegaskan bahwa Barat yang dimotori Amerika Serikat bernafsu mencegah Pakistan sukses membuat bom atom. Dan meski Washington merusak program nuklir itu, Khan memastikan banyak perusahaan Amerika yang merapat ke Pakistan.

Banyak pemasok Amerika, katanya, mendekati Pakistan agar membeli mesin dan material dari mereka. Untuk pertama kali, katanya, fakta berbicara, “Mereka bahkan akan menjual ibu mereka demi uang.”

***

Karir cemerlang Khan dinodai kasus penjualan rahasia nuklir Pakistan ke beberapa negara. Di antaranya Korea Utara, Iran dan Libya pada tahun 90-an. Khan mengakui penjualan itu tahun 2004, lewat sebuah siaran di televisi.

Penjualan rahasia nuklir ke Korea Utara dilakukan tahun 1993. Rahasia nuklir ini ditukar dengan teknologi rudal Korut yang dikirimkan dengan dua pesawat per bulannya pada akhir 1990-an. Teknologi dari Korut berguna untuk penggunaan centrifuge pada uranium untuk menjadikannya senjata.

Sebelumnya tahun 1987, Iran berencana membeli teknologi nuklir Pakistan. Tapi Presiden kala itu, Mohammad Zia-ul-Haq, menolak. Namun Khan diam-diam memberi teknologi nuklir ke Iran antara tahun 1987-1989.

Penjualan ke Iran itu terungkap setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memeriksa fasilitas pengayaan uranium Iran. Ditemukan sistem pengaya centrifuge gas persis seperti rancangan URENCO. Iran mengaku, teknologi ini diperoleh dari “mediator asing tahun 1989″. Nama Khan memang tidak disebutkan, namun diplomat dan analis sudah kadung menuding.

Dan tahun 2003, IAEA melucuti program nuklir Libya demi mencabut sanksi terhadap negara itu. IAEA menemukan bahwa pengaya uranium milik Libya persis seperti milik Iran. Di tahun itu juga, pasukan gabungan AS, Inggris, dan Italia menangkap kapal Libya di Laut Mediterania, yang membawa suku cadang mesin untuk memperkaya uranium.

Pejabat Libya mengaku, Qadeer Khan adalah salah satu pemasok teknologi mereka. Akhirnya pemerintahan George W Bush menginvestigasi Khan. Aksi Khan ini mempermalukan Pakistan. Dia lalu dipecat dari posisinya dan dilakukan penyelidikan atasnya pada 31 Januari 2004. Pada Februari tahun itu, dia mengakui semua perbuatannya.

Khan mengaku telah mengirim mesin dan skema teknologi nuklir kepada negara-negara itu. Dia mengaku melakukan semua itu demi menghasilkan uang untuk negara. Namun, untuk Iran dan Libya, alasannya hanya demi membantu negara-negara Muslim agar punya senjata nuklir.

Tahun 2004, Pengadilan Pakistan mengukumnya sebagai tahanan rumah. Lima tahun. Bebas 2009. Pembebasan itu membuat AS berang. AS dan penyidik PBB sebelumnya telah menuduh Khan memimpin jaringan pebisnis dan perusahaan pembuat dan penjual komponen bom nuklir. Tapi Presiden Pervez Musharraf mengampuni Khan, sebab jasa besarnya bagi negara.

Meninggalkan dunia dunia nuklir, Khan kini aktif berkampanye menghapuskan buta huruf di negeri yang amat dicintainya itu. “Saya bangga atas apa yang saya kerjakan untuk negara ini,” katanya.

Mendirikan partai Tehreek-e-Tahaffuz-e-Pakistan (TTP) atau Gerakan Melindungi Pakistan pada Juli 2013 lalu, Khan masuk politik. “Saya membantu Pakistan ketika mereka membutuhkan saya. Sekarang, saya rasa negara ini memerlukan saya karena situasi politiknya buruk,” ujar Khan.

Dia mengaku hanya sebagai pembimbing di partai itu. Namun, anggota partainya telah giat menggadangnya sebagai calon presiden Pakistan. “Sebagai pemimpin, pembimbing, saya tidak perlu ambil bagian di setiap pemilihan. Saya tidak ingin ada di parlemen karena posisi saya jauh lebih tinggi untuk sekedar jadi anggota parlemen,” tegasnya, kepada Al-Jazeera.

Meski belum menjadi presiden, Pakistan berkomitmen melindungi Khan dari tangan Amerika dan IAEA. Itulah mengapa kediamannya di Bani Gala itu dijaga ketat. Namun, Khan masih bisa ditemui di warung-warung kopi di Islamabad, juga sering diwawancara wartawan lokal.

Sumber

Beli yuk ?

 
Top