GuidePedia

Saya kurang tahu, apakah ini "Kisah Nyata" atau "Fiksi" semata-mata, namun apa salahnya dishare juga. Mungkin bisa menjadi bahan bacaan menjelang tidur.

Naskah Asli Oleh: Kurnia Hadinata


Ilustrasi
Hujan semakin menjadi-jadi, petir menggila, menebarkan lidah api menjilat-jilat ke beberapa pohon. Suaranya bergemuruh hebat menyen takkan setiap indra pendengaran makhluk hidup. Seekor elang lembah yang kedinginan berusaha menyelipkan tubuhnya di sebuah lubang kayu, menghindar dari guyuran hujan yang tak kenal ampun. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan yang semakin menggigilkan, semakin menyesakkan bulu roma dan menebarkan hawa petakut. Angin dingin yang membekukan rabu, menusuk-nusuk ke tulang berhembus menye sakkan dahan-dahan.

Hutan ini begitu perawan, gelap sepi, di dasar lembah yang paling dalam. Hanya gemericik air jatuh di bibir tebing, hujan yang mengibas-ngibas di ujung-ujung kayu memaksa semuanya temaram dalam nuansa dingin. Hanya bunyi binatang penggerek atau kecoak tanah yang merengkuh di telinga. Lembah ini paling dalam, di perut bumi Cendrawasih, tersunyi tak tersentuh sama sekali. Letaknya entah di distrik atau kabupaten apa, kurang jelas karena kabut yang memangkas jarak pandang. Mungkin arah paling timur negeri ini, ratusan kilometer dari Jayapura. Mungkin juga tidak terlalu jauh dari perbatasan Papua Nugini. Di situlah aku kini tersungkur tak berdaya.

Kulihat tubuhku remuk, badan sakit semuanya, terasa remuk redam. Saya melihat kebawah, darah berlumuran dari pangkal paha hingga ke kaki. Sakit sekali, kaki saya tidak bisa digerakkan. Perlahan-lahan, saya memandang berkeliling, tidak ada kehidupan. Hancur, berantakan dimana-mana. Ya semua serba berantakan, serba hancur, puing demi puing berserakan, sebahagian tergantung di dahan-dahan kayu.

Hanya ada baling-baling panjang yang ringsek dan tergolek di tanah satu-satunya menjadi tanda. Ya, helikopter yang kami naiki dari Jayapura itu, helikopter milik TNI AU jenis Super Puma SA330, tak berdaya melawan kabut kelam dan ganasnya cuaca di pedalaman Papua ini. Setelah didera kabut pekat dan terjangan angin badai, heli bernomor registrasi H 3XXX yang sudah tua itu oleng dan hilang kendali. Pilot masih sempat melakukan kontak beberapa waktu yang lalu dengan Jayapura namun sesudah itu sama sekali terputus.

Pilot dan Co-pilot heli, masing-masing Mayor Pnb. HXXX dan Lettu Pnb. GXXXXX, sudah tak bernyawa. Keadaan tubuh mereka lebih parah dari aku. Hery tubuhnya tergeletak dengan posisi tertelungkup. Kepalanya remuk dan sebuah besi panjang menancap di dadanya hingga tembus ke belakang. Lebih parah lagi GXXXXX. Tubuhnya nyaris sama sekali tidak dapat dikenali, terpotong, terpisah-pisah akibat diterjang baling-baling heli. Ah, sungguh aku tak bisa menceritakan keadaannya, sangat mengenaskan. Ya aku ingat sewaktu heli oleng tubuhnya terbanting ke luar dan langsung ditebas baling-baling.

Sementara dua lagi temanku sama-sama penempatan di pos pengintaian di Arso, Serka BXXXXXX dan Serka DXXX, jenazah mereka tergantung di atas pohon dengan kondisi memiriskan dan tak lagi bernyawa. Hanya bunyi gemerisik suara radio HT yang mematahkan daun-daun. Kadang suara itu menyatu dengan gemericik tetesan hujan dan semilir angin yang tersasar di sela-sela kayu.

Dari jauh tubuhku seperti melayang, menuju ke rumahku. Waktu seperti diputar balik, aku kembali ke masa silam. Aku melihat ayah dan ibuku tengah menggendongku. Aku ditimangnya, mereka bahagia akan kelahiranku. Tak terasa tiba-tiba saja aku sudah berada di asrama Secabaku dulu di Padangpanjang. Aku bercanda gurau dengan sahabatku si Letnan Samson alias Ramses dari Medan itu. Tak lama sesudah itu gelap bertahta. Tiba-tiba saja aku terbangun dan mendapati Ramses tengah duduk di sampingku di tapal batas ini.

Penghujung tahun yang sendu, hujan mengelupas dari langit begitu menderas, menggila menyetubuhi bumi dengan segala rintiknya. Di penghujung Desember yang dingin dan sembab semuanya tiba-tiba berubah menjadi mendung lalu berat dan menggugurkan bayi-bayi gerimis. Hujan membuat garis-garis langit seperti renda-renda putih yang semakin kabur dari ujung timur. Garis-garis air itu kadang berubah haluan dibawa angin yang semakin terpukul.

Ya, hujan yang menaburkan harapan kehidupan dan kelembapan di hutan tropikal, berbagai macam bibit kehidupan jatuh dari langit kelam yang pekat kelabu. Hujan memelihara bibit demi bibit itu untuk hidup dan menebarkannya di pesona bumi hijau di wilayah pulau Papua ini, di Keerom wilayah paling ujung NKRI ini. Hujan juga menyapa lembut setiap permukaan bumi. Dari sejauh mata memandang hanya pohon-pohon raksasa yang tiada pernah kujumpai di tanah asalku Sumatera paling barat.

Di sini, di hutan ini, di wilayah timur ini, pohon-pohon itu menjadi hantu legam, diam dan seperti merenung dalam kesepian. Di sini semuanya seperti membeku, menyembul ke angkasa terperangah membelah langit bagai tiang-tiang dari perut bumi yang menjulang menunjuk langit. Satu setengah bulan yang lalu aku dihempaskan perjalanan nasib ke sini. Ya hitungan waktu, tak terasa sudah memasuki bulan kedua aku di sini, di ujung wilayah tapal batas di distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom Papua, antara NKRI dengan wilayah negara Papua Nugini. Di sini orang-orangnya fasih berbahasa Nugini, berbahasa Indonesia, atau bahasa suku setempat. Kadang sulit membedakan mana orang Indonesia atau yang mana orang Nugini.

Semuanya serba campur aduk, inikah kehidupan tapal batas itu? Jauh dari hiruk-pikuk kota raya. Warga sekitar perbatasan sering melintas tanpa dokumen. Itu sudah perjalanan tradisi, mereka tidak pernah bawa surat-surat. Batas sebuah negara kadang tidak begitu penting untuk melangsungkan interaksi kehidupan yang telah berjalan semenjak leluhur mereka. Mereka tinggal mendiami beberapa daerah berdataran tinggi. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah. Adat-istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan di sungai, berburu di hutan di sekeliling lingkungannya.

Sebahagian mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang dataran rendah aliran sungai. Kadang kehidupan penduduk yang alami itu seperti mengisyaratkan bahwa mereka sama sekali belum terjamah oleh pembangunan apalagi kepentingan politis. Mereka masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan, hidup sederhana dan menggantungkan diri pada alam, ironis memang. Jika dibandingkan dengan Indonesia wilayah barat jelas pembangunan di sini, di pulau matahari terbit ini begitu berjalan pelan. Padahal pulau ini sangat memiliki kekayaan alam yang tak terkira dan eksotik. Aku sudah tiga hari mengisi pos pengintaian tapal batas ini di distrik Arso. Pos ini hanya ditempati oleh beberapa orang prajurit TNI saja. Sebelumnya, aku menduduki pos di wilayah distrik Senggi.

Jumlah penduduk di kabupaten ini tersebar sedikitnya di 50 kampung dengan jumlah penduduk lebih dari 50 ribu jiwa. Memang prajurit TNI yang bertugas sengaja digilir dan ditukar sebagai salah satu cara mengusir kebosanan sekaligus untuk melakukan tugas rutin kami yaitu patroli dan memastikan tidak terjadi apa-apa di wilayah tugas kami. Inilah kehidupanku, jauh dari kesan kemewahan, jauh dari kesenangan hidup dan idealnya hidup zaman sekarang. Hidup kulalui seakan sebagai orang yang tengah bersemedi di kesunyian hutan. Bertemankan malam-malam yang dingin, tiada makanan enak di sini, cuma santapan sederhana, itu tidak lebih. Tiada hal yang berbau kemewahan di sini, semua serba apa adanya. Hidup dalam bayang-bayang kewaspadaan dan rasa kekuatiran. Di sini antara hidup dan mati tipis sekali bedanya.

Kadang kita bisa aman sewaktu-waktu, kadang bahaya mengancam keadaan bisa berubah buruk. Beberapa waktu lalu pos di Senggi diserang oleh beberapa orang separatis bersenjata. Tiga prajurit TNI gugur dalam serangan tiba-tiba di pagi buta itu. Padahal mereka baru ditempatkan beberapa hari. Di sinilah hidup memang harus dijalani, meski terlihat aman, namun sewaktu-waktu bisa berbalik menjadi sangat berbahaya. Sebagai TNI, sebagai prajurit mental kami memang sudah dilatih dan disiapkan untuk terjun dengan medan dan kondisi apa pun.

Inilah kehidupan seorang tentara, menjadi prajurit TNI, kehidupan di tapal batas. Inikah cita-citaku? Jujur saja, mungkin tidak. Awalnya menjadi tentara hanyalah karena aku ingin memenuhi keinginan dan cuma membahagiakan ayahku saja. Ayahku sangat ingin aku menjadi tentara, dan untuk itu dia mau melakukan apa pun. Seiring perjalanan waktu kini menjadi tentara sudah menjadi hidupku, dan aku harus mencintai profesi ini dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.

Entahlah kadang beragam kebimbangan terus mendera, tapi itu semua sudah aku bulatkan, karena di awal mengenakan seragam ini, hati ini sudah bertekad siap mati membela tanah Pertiwi. Lebih baik pulang membawa nama dari pada gagal dalam menjalankan tugas. Inilah panggilan nuraniku sekarang menjadi abdi negara, menjadi pahlawan kebanggaan bagi ayahku, bagi keluargaku atau mungkin bagi anak dan istriku kelak. Kadang kalau dipikir dengan mengenyampingkan rasa patriot dan rasa cinta akan tanah air ini, rasa-rasanya tidak impas apa yang kudapat sekarang dengan pengorbanan yang sudah diperbuat oleh ayah dan ibuku di kampung. Ya demi melihat anak semata wayangnya gagah berpakaian loreng, memakai baret apa pun pasti ditebusnya. Itulah ayahku, lelaki tegas si cemara angin itu.

Ya, memajang foto anak mereka yang tengah berpakaian prajurit di ruang tamu rumah adalah sebuah kebahagiaan yang luar biasa bagi seorang ayah. Kebahagiaan itu jelas tidak bisa dibanding-bandingkan dengan harta berlimpah sekalipun. Walau pada akhirnya mereka harus terpaksa berpisah dengan anaknya itu bertahun-tahun lamanya, karena tugas anaknya kepada negara.

Walau mereka harus siap sewaktu-waktu anaknya itu gugur sebagai syahid dalam melaksanakan tugas. Aku masih ingat, tiga hektar kebun kopi milik ayah berikut sebuah sepeda motor Honda CB keluaran akhir 70-an ludes terjual. Ya, kebun kopi yang sangat produktif berbuah itu beserta motor kesayangan ayah terpaksa dijual demi memasukkanku ke sekolah calon tentara di kota Padangpanjang. Awalnya aku menolak karena aku tahu dan sadar, ayah mempertaruhkan segalanya, asal aku bisa masuk sekolah pendidikan tentara itu. Aku berusaha membujuk ayah untuk mengurungkan niatnya agar tidak memberikan uang pelicin.

“Sudahlah, Buyung, sekarang ini sudah jarang orang masuk Secatam itu tanpa uang pelicin, mumpung ini ada orang yang membantumu, Yung. Ayah ikhlas, dan hutang ayah sudah lunas kelak jika melihat kau gagah berpakaian loreng itu,” ujarnya waktu itu.

“Tapi, Yah, aku yakin aku bisa lulus tanpa pakai uang seperti itu. Jumlahnya tidak sedikit, Yah. Lebih baik untuk yang lain saja, untuk menjadi orang sukses itu tidak musti jadi tentara, Yah,” aku lagi-lagi mencoba merajuk membujuk ayah.

“Pokoknya Ayah ingin kamu menjadi tentara. Kamu harus bisa membanggakan keluarga, membanggakan almarhum kakekmu, karena kamulah anak laki-laki satu-satunya yang Ayah miliki,” balas ayah.

Kalau sudah begitu aku pasti menurut pada ayah, sebab aku tahu persis tabiat ayahku: ia orang yang teguh pendirian. Akhirnya, berkat jasa seorang kenalan ayah itulah aku dapat diterima. Aku memasuki pendidikan di Secaba itu. Ayahku tersenyum bangga dengan keberhasilanku itu. Tak tanggung-tanggung, demi kebahagiaannya itu ayah menggelar syukuran yang cukup besar. Semua diundang, mulai kerabat, handai-taulan, orang terkemuka di kampung, sampai anak yatim. Aku tidak bisa menghalangi niat ayah. Biarlah ia menikmati kebahagiaannya sendiri. Itulah kebahagiaan seorang ayah mungkin, kebahagiaan yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun.

Sesekali dalam masa pendidikan di barak aku masih sempat pulang kampung. Ayah membuat aturan: kalau pulang aku harus mengenakan pakaian seragamku. Kadang aku tertawa geli dibuatnya. Ah, perangai ayah kadang ada-ada saja. Tapi sudahlah, nyatanya aku bahagia juga jika ayahku senang. Ia akan menepuk-nepuk pundakku dan tersenyum haru merengkuhku. Rasanya terbayar sudah jerihnya mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk memasukkanku menjadi tentara.

“Kau tahu, Buyung, ayahku, kakekmu, pasti akan tenang di alam sana, apalagi kalau tahu cucunya sekarang sudah melanjutkan jalan hidupnya, menjadi prajurit pembela merah putih, pembela tanah Pertiwi. Aku berjanji padanya, Yung, kalau aku punya putra aku akan menjadikannya tentara. Hutang janjiku lunas sekarang, Yung. Arwah kakekmu sebagai syahid pejuang kemerdekaan pasti akan tenang,” ungkapnya dengan serak penuh nada kebanggaan bercampur haru.

Aku tahu ayahku; aku tahu sejarah keluargaku. Ayahku adalah seorang veteran pejuang, yang bersama kakekku ikut berjuang membela bangsa ini mengusir penjajah. Kakekku gugur dalam peperangan di kota Padang. Dia menghembuskan nafas terakhirnya setelah beberapa peluru menembus dada kirinya. Ayah tak pernah lelah menceritakan peristiwa heroik itu setiap menjelang aku mau tidur. Mungkin cerita sejarah ayah itu juga yang menguatkan pilihanku untuk menjadi tentara.

Tahun-tahun berikutnya aku dilarutkan dengan masa tugasku. Aku mulai jarang pulang. Tahun pertama aku ditugaskan di sebuah pulau terujung di pulau Sumatera, daerah konflik, yaitu Aceh. Dua tahun aku sempat pulang dan kembali mendapatkan tugas di Mentawai. Tidak selang beberapa lama aku ditarik dan dikirim menjaga perbatasan di kawasan Nusa Tenggara Timur dan selanjutnya sampai di penghujung timur tanah Pertiwi ini, pulau Papua, atau provinsi Irian Jaya dulu namanya di zaman Orba.

“Berangkatlah, Buyung. Aku bangga padamu. Jagalah keutuhan bangsa ini. Aku ikhlas, Nak, jika sewaktu-waktu hanya namamu yang pulang.”

Hanya itulah kata-kata ayah yang bisa ia ucapkan. Sama sekali ia tidak menangis. Ia sangat tegar dan sama sekali tiada guratan kesedihan dari wajahnya itu. Berbeda dengan ibu yang tak kuasa menahan tangisnya. Itulah terakhir kali aku merengkuh tubuh paruh baya, semenjak itu aku hanya mendengar suaranya. Terakhir empat bulan yang silam aku kontak dengan ayah di kota Jayapura. Waktu itu ia sempat menanyakan keinginanku untuk menikah. Oh, menikah, ingin sekali aku akan hal itu, menghadiahkan orang tua itu seorang menantu dan sosok jabang bayi yang kelak akan ia timang-timang dan memanggilnya kakek.

Tapi lagi-lagi batinku kecut. Gadis mana yang akan tahan memiliki suami seperti aku ini, tiap sebentar ditinggal pergi suaminya, bisa berbulan bahkan bertahun-tahun tak bertemu suaminya. Mungkin juga harus siap-siap menjadi janda jika sewaktu-waktu suaminya gugur dalam menjalankan tugas. Lihatlah si Ramses, temanku dari Medan. Baru seminggu menikah dia harus meninggalkan istrinya, bahkan sudah berumur dua tahun anaknya belum pernah sekali pun ia menggendongnya, cuma mendapatkan kiriman foto saja. Ya inilah kehidupan tentara itu, pengabdian lebih utama. Ah, aku belum sanggup menyisakan kerinduan kepada gadis mana pun. Biarlah nanti aku pertimbangkan hal itu, sebab bila sudah tiba waktunya tentu aku akan menikah dan mewujudkan mimpi itu.

Sekarang di sinilah aku, bergabung sebagai prajurit TNI di bawah Kodam XVII Cendrawasih, di perut alam pulau Papua ini, bergumul dengan sepi dan dinginnya pelukan alam hutan tropis. Kadang kehidupan di tapal batas ini sama sekali jauh dari keinginan duniawi dan gelimangan harta. Tuan tahu berapa gaji prajurit TNI berpangkat rendah di negeri ini? Ya, mungkin terlalu kecil bahkan sangat kecil jika dibandingkan dengan luas wilayah yang harus diamankan, atau dibandingkan dengan negara tetangga kita. Inilah dilemanya, pemerintah kita menuntut profesionalisme TNI, namun di sisi lain pemerintah masih minim dalam meningkatkan kesejahteraan hidup prajuritnya.

Lihat saja anggaran pembelian alat keamanan dan pemeliharaan. Sangat minim. Jelas, peralatan TNI sangat di bawah standar, ketinggalan zaman dan berusia lanjut. Armada pesawat TNI, misalnya, jauh dari standar modern, sudah tua. Tidak mengherankan kalau banyak peristiwa kecelakaan pesawat militer di negeri ini, dan menelan korban yang tidak sedikit setiap tahun. Berapa banyak prajurit yang gugur sia-sia? Tidak mengherankan pula jika banyak oknum TNI yang berprofesi ganda menjadi tentara bayaran, bekingan pejabat dan pengusaha, sampai menjadi bandit kelas kakap dan penjahat negara yang jelas-jelas melanggar kode etik profesi bahkan menanggalkan janji yang terpatri sewaktu pendidikan dulu. Ya, itulah hidup. Kadang silau harta dan kemewahan yang ditawarkan dunia bisa memutarbalikkan pemikiran siapa pun. Tapi sudahlah, apa peduliku. Lagipula aku hanyalah tentara, ya prajurit yang berusaha menjalankan tugasku sebaik mungkin.

“Sepertinya ada sesuatu yang tengah kaupikirkan, Yung?”

Tiba- tiba saja suara Ramses datang membuyarkan pemikiranku. Ya, dia bernama Ramses Situmorang, sahabatku. Aku bertemu lagi dengannya di sini, satu penempatan tugas di tapal batas ini. Sudah lama juga kami tidak bertemu. Dia teman seangkatanku di Secaba dulu. Semenjak selesai pendidikan kami terpisah karena berbeda tempat tugas, tetapi secara kebetulan kami bertemu lagi di tanah Cendrawasih ini. Ya, secara kebetulan mungkin. Keakraban dan jalinan persahabatan yang dulu sempat terpisah kini kembali akrab dan terjalin hangat.

“Ah tidak, cuma aku teringat saja dengan ayahku di kampung, Ses,” lirihku lagi.

“Sudahlah, Buyung, memang kadang kita tidak bisa mengelak dari rasa rindu itu, manusiawi memang.”

Ia bangkit menyerahkan secangkir kopi panas dan kembali ke ruang pengintaian. Aku beranjak dari dudukku dan menghampirinya. Mataku menyapu pohon-pohon raksasa hijau yang mengerubungi setiap mata memandang. Dari jauh mendung semakin memaksa dingin menusuk-nusuk dinding demi dinding menara pengintai ini. Bendera merah putih itu semakin berkibar megah dan berwibawa diterpa angin dan rinai yang makin lama makin bercucuran.

“Banyak alasan yang memaksaku jadi tentara, Yung. Salah satunya mungkin karena cintaku pada tanah Pertiwi ini.”

“Meski kadang bahaya menghantam, meski kadang jauh dari orang-orang yang kita sayangi, meski kadang hidup terasing di wilayah tapal batas ini, dan meski… apa lagi?”

“Ya, meski semuanya harus berakhir di ujung peluru dan kita hanya dapat membayangkan satu per satu wajah orang-orang yang kita cintai, sebelum semuanya menjadi kabur dan gelap. Tiba-tiba saja orang yang kita sayangi itu hanya mengenang nama kita, atau paling mujur melihat dan menyaksikan prosesi pemakaman kita. Sementara, kita sudah terbujur kaku di peti dengan balutan sang merah putih. Orang- orang melayat menawarkan wajah kesedihan dan beberapa dentuman senapan dan derap sepatu laras menyertai detik-detik kepergian kita ke tempat peristirahatan terakhir. Sesudah itu kita tamat, berakhir, tak berarti apa-apa dan tentu tidak lagi diingat dan dicatat dalam sejarah,” ujarku.


Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

Beli yuk ?

 
Top