GuidePedia


Sentimen politik memaksa Zhang Qing Feng meninggalkan Indonesia pada 1960. Saat itu dia baru berusia delapan tahun. Setelah puluhan tahun tinggal di Tiongkok, Zhang masih menyimpan memori tentang Indonesia. Berikut laporan wartawan Jawa Pos ANDA MARZUDINTA yang baru pulang dari Guangzhou, Tiongkok.

= = = = = =

PRIA paro baya itu sedang menuntun sepeda ketika kemudian menghentikan langkahnya. Rupanya, dia tertarik dengan perbincangan saya bersama seorang rekan wartawan dari Indonesia. "Indonesia?" tanya pria tersebut. "Saya gembira sekali kalau bertemu orang Indonesia," sambungnya.

Dialah Zhang Qing Feng alias Thio Ceng Hong. Bukan tanpa alasan kalau pria 60 tahun itu suka dengan Indonesia. Sebab, dia lahir di Indonesia. Tepatnya di Talang Padang, Lampung. Namun, saat berusia delapan tahun, Zhang dibawa keluarganya meninggalkan Indonesia menuju tanah leluhur mereka di Tiongkok. Ribuan warga keturunan Tionghoa melakukan eksodus besar-besaran pada 1960-an.

Memang tidak semuanya meninggalkan Indonesia. "Saudara ayah dan ibu saya tetap tinggal di Indonesia sampai sekarang," kata Zhang.
Ayah Zhang adalah pedagang. Ketika memutuskan hijrah, mereka terpaksa meninggalkan rumah dan usaha yang ada. "Kami selama seminggu berada di kapal. Dari Lampung menuju Tanjung Karang. Sampai di Jakarta menginap satu malam. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Tiongkok," kenang Zhang.

Kapal akhirnya berlabuh di Zhang Jian, dekat Hainan. Mereka tinggal di penampungan selama enam bulan. Zhang menggambarkan, tempat penampungan itu berupa bangunan permanen yang dilengkapi beberapa fasilitas. Ada dapur umum dan toilet. Namun, sampai di sana mereka bukan lantas bersantai. Mereka harus bekerja.

Para pemuda dan orang dewasa bekerja di perkebunan karet. Aturannya, setiap orang yang berumur 16 tahun harus bekerja. Sedangkan anak-anak tetap bersekolah. Selama di penampungan mereka mendapat jatah makan dan minum yang cukup. "Pemerintah ada sokong kami yang berumur kurang dari 16 tahun. Masing-masing dapat beras dan minyak," ujarnya.

Setelah enam bulan di penampungan, mereka disebar ke seluruh daratan Tiongkok. "Pemerintah tetap memberikan sokongan berupa rumah tinggal, beras, dan minyak. Jadi, kami tetap tenang," katanya. Meski demikian, ayah Zhang, Thio Tek Po, rupanya tak tahan menghadapi keadaan di tempat yang sama sekali baru. Begitu pula sang ibu, Go Len Nio. Apalagi, keduanya tak bisa berbahasa Mandarin.

Kondisi tersebut mengganggu kesehatan Thio Tek Po. Dia pun sakit. "Saya ingat, waktu itu sekitar pukul 16.00 ayah demam. Dibawa ke klinik, pukul 19.00 ayah sudah tidak ada (meninggal)," kata Zhang di kediamannya, sebuah flat di Jalan Xi Heng Lu, Distrik Tianhe, Guangzhou, Tiongkok.

Kediaman Zhang bersih dan nyaman. Dia mengganti seluruh lantai ruang tempat tinggalnya dengan keramik. Tak banyak barang di ruang yang terdiri atas dua kamar tidur dan sebuah kamar mandi itu.

Zhang menyimpan sepedanya di lantai dasar yang juga digunakan penghuni flat lainnya. "Rumah ini saya peroleh dengan cara mengangsur. Kalau sekarang, rumah di daerah sini mahal sekali," katanya. Jika penghuni punya kendaraan roda empat, parkirnya di tepi jalan. Tentu, tidak gratis. Pihak pengelola flat mematok tarif sekitar RMB 300 (sekitar Rp 450 ribu) per bulan.

Sepeninggal ayahnya, sang ibulah yang bekerja dibantu kakak tertua Zhang. Mereka adalah keluarga besar. Zhang memiliki tujuh saudara. "Meski sudah tinggal di sini bertahun-tahun, ibu tetap berbicara dengan kami di rumah menggunakan bahasa Indonesia. Adik saya yang terkecil, ketika pindah masih berumur enam bulan, sampai sekarang masih lancar berbahasa Indonesia," tutur Zhang. Ibu Zhang kini berusia 90 tahun dan tinggal bersama salah seorang adiknya.

Zhang mengaku beruntung karena bisa terus bersekolah. Sekitar 1970-an, Zhang mulai bekerja di dapur penampungan. "Saya bekerja di situ lima tahun. Kemudian, saya mendapat kesempatan sekolah teknik dua tahun," katanya.

Kala itu dia masih kurang fasih berbahasa Mandarin. Zhang pun sering menggunakan bahasa Indonesia saat bertemu rekannya yang juga dari Indonesia. Belakangan dia paham alasan ayahnya memboyong seluruh keluarga ke Tiongkok. Sentimen anti-Tiongkok membuat gelombang pemulangan perantau.

"Kalau ada tentara lewat, kami ini sering dicurigai pro-Indonesia. Jadi, serbasalah. Padahal, saya tidak tertarik politik," kenang pria yang saudara kandungnya tersebar di Los Angeles, Hongkong, dan beberapa daerah di Tiongkok ini.

Zhang kemudian bekerja di perusahaan kapal keruk. "Saya jadi teknisi untuk membetulkan kapal," ujarnya. Selain menangani kapal Tiongkok, dia memperbaiki kapal-kapal dari Rusia dan Indonesia.

"Kalau ada kapal Indonesia, saya langsung naik dan berkenalan dengan krunya. Senang sekali rasanya bisa tahu cerita-cerita tentang tanah kelahiran saya," ungkap pria yang masih punya saudara di Tuban, Jawa Timur, itu.

Saat bekerja itulah Zhang mendapatkan jodoh. Namanya Chen Hui Yun. "Saya dikenalkan teman," katanya. Chen Hui Yun senasib dengan Zhang. Chen meninggalkan Birma yang kala itu juga bergolak.

Sekitar 1978 terjadi perubahan yang baik di Tiongkok. Orang-orang yang dulu berasal dari luar Tiongkok tak lagi dicurigai secara berlebihan. "Pokoknya lebih tenang dibanding awal tinggal di sini," cetusnya.

Sayang, anak semata wayang Zhang, Lia Zhang, 27, enggan belajar bahasa Indonesia. Istrinya juga. "Ying Ying (demikian Lia Zhang disapa) termasuk pintar. Dia memilih bersekolah bahasa Inggris. Kini dia bekerja di perusahaan asing yang memproduksi pasta gigi," katanya.

Menurut Zhang, anaknya kini berkedudukan cukup tinggi dengan gaji besar. Maklum, tak banyak warga Guangzhou yang mau belajar bahasa Inggris dengan sungguh-sungguh hingga meraih gelar sarjana. Ying Ying juga pernah beberapa kali pindah kerja. Salah satunya di Shanghai dan sempat tinggal berjauhan dengan orang tuanya.

Nasib Ying Ying berbeda dengan anak-anak perempuan kebanyakan di Guangzhou. Di kota terbesar ketiga di Tiongkok setelah Beijing dan Shanghai itu, masFpages/Wisbenbae/163279313697664">Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

Beli yuk ?

 
Top