Penentuan 1 Syawal Lebaran tahun ini saya nilai “sangat parah” dan membuat kecewa banyak orang. Penyebabnya adalah tanggal merah yang ditetapkan Pemerintah untuk 1 Syawal adalah 30 Agustus. Tanggal ini menjadi blunder karena banyak masyarakat menyangka tanggal Idul Fitri sesuai kalender. Kebetulan pula Muhammadiyah jauh-jauh hari juga menetapkan 1 Syawal jatuh pada tanggal 30 Agustus. Jadi kloplah. Berbagai persiapan menyambut lebaran dipersiapkan oleh masyarakat tanggal 29 Agustus — sehari sebelum lebaran — mulai menyiapkan ketupat, opor ayam, bahkan pawai takbiran.
Namun kekecewaan mendadak tergambar pada wajah-wajah masyarakat ketika para ulama dan Pemerintah berdebat secara alot dalam menentukan 1 Syawal 1432 semalam. Melalui layar televisi masyarakat bisa menyaksikan argumentasi masing-masing ormas tersebut. Hingga pukul 20.40 WIB belum juga ada kepastian hari apa lebaran itu. Pengurus dan jamaah masjid di seluruh tanah air resah karena menunggu kapastian, apakah masih meneruskan shalat tarawih pada malam itu atau sudah mulai takbiran. Semua mata umat Islam melotot ke arah televisi menunggu keputusan yang ditunggu-tunggu. Boleh jadi acara sidang itsbat malam itu adalah acara televisi yang ratingnya paling tinggi selama sejarah pertelevisian. Kicauan di twitter dan status di fesbuk menunjukkan kegelisahan manusia di dunia maya menunggu kepastian 1 Syawal. Sebagian besar ormas Islam meyakini hilal tidak terlihat — meskipun ada beberapa kesaksian seperti di Cakung dan Jepara yang berhasil melihat hilal, namun kesaksian tersebut ditolak — sehingga kemungkinan besar 1 Syawal jatuh pada hari Rabu.
Melalui debat yang alot — ada yang menyebutnya musyawarah, apapun namanya tidak penting — Pemerintah, MUI, dan ormas besar seperti NU dan Persis (minus Muhammadiyah) memutuskan lebaran Idul Fitri tahun ini jatuh pada Hari Rabu 31 Agustus 2011. Penetapan ini berbeda dengan Malaysia, Singapura, dan negara-negara Timur Tengah yang merayakan Idul Fitri pada tanggal 30 Agustus.
Saya menilai debat tadi malam adalah debat yang tidak prioritas sebab yang dipersoalkan masih tentang cara perhitungan hilal dan masalah penyatuan kalender Hijriyah agar tidak terulang lagi perbedaan dalam menentukan hari raya. Saya bilang tidak prioritas karena debat semacam itu seharusnya dilakukan di luar sidang itsbad sebab semalam waktu terus berjalan dan masyarakt menunggu satu jawaban: jadi sebenarnya lebaran itu hari apa? Saya melihat Muhammadiyah malam itu menjadi ormas yang seolah-olah “dipojokkan” dalam debat tersebut, baik oleh ormas lain maupun para pakar astronomi karena dianggap mempunyai kriteria penentuan hilal yang berbeda, baik dalam penentuan nilai ambang dua derajat maupun dalam tenik hisab berdasarkan wujudul hilal. Seharusnya perdebatan semacam itu dilakukan di level ulama dan para ahli saja, tidak perlu diumbar melalui media televisi ke level grassroot yang notabene tidak paham dengan hilal, hisab, rukyat, dan sebagainya.
Faktanya, meskipun Pemerintah menetapkan Idul Fitri pada tanggal 31 Agustus, namun di daerah-daerah banyak umat Islam yang merayakan Idul Fitri pada hari ini meskipun mereka tidak mengidentikkan diri sebagai warga Muhamadiyah. Seperti di Yogyakarta yang mayoritas melaksanakan shalat Ied tadi pagi. Bahkan di Lamongan yang dikenal sebagai basis NU beberapa pesantren melaksanakan shalat Ied hari ini. Begitu pula di Gontor, Banyumas, Papua, Poso, NTT, dan lain-lain. Artinya, ketetapan Pemerintah tidak selalu diikuti karena kelompok masyarakat lebih meyakini lebaran jatuh pada tanggal 30 Agustus ini.
Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, Hari Raya Idul Fitri adalah hari yang sangat penting. Meskipun kebanyakan umat Islam di Indonesia ini masih Islam yang awam (Islam KTP), mengaku Islam tetapi tidak memahami hakekat ajaran agama maupun menjalankan seluruh syariat agama, namun dalam soal Hari Raya lebaran mereka menganggapnya sebagai hari istimewa. Idul Fitri lebih dari sekadar ritual agama, tetapi ia sudah menjadi ritual sosial yang sudah melekat kuat sejak dulu hingga sekarang, jauh melampuai dimensi agama yang terkandung di dalamnya. Bagi sebagian besar orang Indonesia Idul Fitri sudah identik dengan tradisi mudik, makan ketupat, silaturahmi, dan aneka perayaan yang mengiringinya.
Oleh karena itu, penentuan Idul Fitri sejak jauh-jauh hari sangatlah penting agar masyarakat dapat mempersiapkan diri menyambut hari yang agung itu. Selama ini masyarakat berpatokan pada kalender Pemerintah yang sudah menetapkan tanggal Idul Fitri, dan selama ini pula kalender Pemerintah tidak pernah meleset. Hanya ormas Muhammadiyah yang sering berbeda dengan menetapkan Idul Fitri satu hari lebih cepat dari ketetapan Pemerintah. Namun, meskipun ada ormas atau sekelompok masyarakat yang lebih dulu berlebaran, hampir tidak pernah ada gesekan antar warga yang sudah berlebaran lebih dahulu dengan yang belum berlebaran. Masyarakat Islam di Indonesia sudah terbiasa berbeda dalam merayakan lebaran, dan perbedaan itu disikapi secara bijak.
Lebaran tahun ini saja yang terbilang heboh dalam penentuan tanggal 1 Syawal. Seperti yang saya sebutkan di bagian awal, blunder tanggal merah 30 Agustus di kalender itulah penyebabnya, sebab akhirnya Pemerintah menetapkan tanggal 1 Syawal berbeda dengan di kalender, yaitu 31 Agustus. Segala persiapan yang dilakukan masyarakat kemarin untuk menyambut Idul Fitri akhirnya batal. Ketupat dan opor ayam telah terlanjur dibuat dan tidak jadi dimakan pada hari ini. Bagi masyarakat miskin, batalnya lebaran hari ini adalah sebuah “musibah” secara ekonomi (baca ini). Harga sosial dari perbedaan hari raya ini seharusnya menjadi “teguran” bagi para ulama yang selalu berbeda dalam menetapkan 1 Syawal.
Okelah, Idul Fitri memang tidak sekadar ketupat dan opor ayam, tetapi ada yang lebih penting dari sekadar makanan itu, yaitu persatuan dalam merayakan hari Lebaran. Kekisruhan penentuan Idul Fitri pada tahun ini seharusnya menjadi pelajaran bagi para ormas Islam yang banyak itu betapa pentingnya menyamakan perhitungan kalender Hijriyah. Umat Islam tidak bisa terus menerus diomabng-ambingkan dnegan ketidakpastian penentuan hari raya. Tidak boleh ada lagi perbedaan hari dalam menentukan awal Ramdahan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Para ormas itu harus duduk bersama dengan menghilangkan ego masing-masing dan dengan semangat ukhuwah dan toleransi untuk menyatukan kriteria dalam penentuan awal bulan. Di zaman yang sudah modern seperti ini umat Islam masih saja berdebat menentukan awal bulan komariyah. Orang sudah menginjakkan kaki ke bulan, kita masih saja berselisih menentukan kapan bulan itu muncul. Kalau sudah begini orang Islam hanya akan menjadi bahan tertawaan umat lain saja.
Bagi negara seperti Indonesia yang selalu banyak uap air, melihat awal bulan secara langsung dengan mata tidak selalu mudah. Jangankan dua derajat, empat derajat di atas ufuk pun tidak selalu berhasil terlihat. Karena perjalanan bulan setiap tahun sudah pasti, maka kedudukannya bisa dihitung sebagaimana menentukan kapan terjadi gerhana. Oleh karena itu, perhitungan awal bulan secara hisab adalah alternatif bila posisi hilal sulit dilihat. Lagipula, hisab dan rukyat hanyalah alat semata, tidak ada ketentuan Nabi yang melarang menggunakan salah satu dari kedua alat tersebut.
Urusan menentukan hilal (awal bulan) bukan urusan para ulama, tetapi secara akademis adalah urusan para ahli astronomi. Serahkanlah penentuan tanggal 1 bulan komariyah itu kepada ahlinya, yang secara matematis bisa dihitung. Para ulama cukup mengkonfirmasikan hilal kepada astronom itu, lalu menetapkan kriteria hilal (satu derajat, dua derajat, atau berapapun) yang semuanya harus sepakat. Insya Allah tidak akan ada lagi perbedaan dalam menentukan tanggal-tanggal penting itu.
http://aneh92.blogspot.com/2011/08/lebaran-2011-yang-sumbing.html
Post a Comment Blogger Facebook