GuidePedia

0
Studi: Pemilik Wajah Cantik Cenderung Egois-Pasangan berwajah rupawan bagai aktris cantik dan aktor tampan adalah dambaan banyak orang. Namun, sebuah studi yang menggabungkan ekonomi dan biologi menemukan, orang yang berwajah cantik bukanlah seorang pasangan ideal.

Sebuah tim peneliti dari Universitas Barcelona dan Universitas Autonoma de Madrid di Spanyol, menemukan bahwa orang dengan wajah simetris lebih egois dan mereka lebih cenderung sulit diajak bekerja sama.

Seperti dikutip dari Guardian, pemilik fitur wajah lebih simetris --yang dianggap cantik, lebih mungkin fokus pada keinginan dan kepentingan sendiri.

Tim yang dipimpin oleh Santiago Sanchez dari Universitas Barcelona dan Enrique Turiegano dari Universitas Autonoma de Madrid, melakukan penelitian dengan model perilaku 'dilema narapidana' di laboratorium.

Dua orang pemain masing-masing diberi pilihan untuk menjadi 'merpati' yang mencerminkan pilihan baik, atau 'elang' dengan pilihan egois dan mengambil kesempatan jika pemain lain memilih 'merpati'.

Studi ini menemukan bahwa orang dengan wajah lebih simetris kurang dapat bekerja sama dan cenderung mengharapkan orang lain untuk bekerja sama lebih dulu. Temuan ini akan dipresentasikan pada pertemuan tahunan Nobel di Lindau, Jerman, 23-27 Agustus 2011.

Menurut ahli, penjelasannya ditemukan dalam proses evolusi. Di alam bawah sadar, orang cenderung untuk melihat atribut fisik yang simetris sebagai tanda kesehatan yang lebih baik. Dan, orang berwajah simetris umumnya memiliki wajah menarik.

Penelitian sebelumnya menemukan, individu berwajah simetris cenderung menderita penyakit bawaan yang lebih sedikit. Itulah sebabnya mereka merupakan calon pasangan potensial untuk keturunan yang lebih baik.

'Orang dengan wajah simetris cenderung lebih sehat dan lebih menarik. Mereka juga lebih mandiri, namun kurang berinisiatif untuk bekerja sama, dan mencari bantuan orang lain melalui seleksi alam selama ribuan tahun. Karakteristik ini terus berlanjut hingga saat ini,' ujarnya.

Selain itu, penulis meneliti hubungan antara tingkat kerja sama dan paparan testosteron selama pengembangan janin. Testosteron biasanya dikaitkan dengan perilaku agresif. Mereka menemukan, 'pria alpha' bukanlah seorang yang dapat bekerja sama.

Tetapi penulis menyatakan, hal ini hanyalah kebenaran parsial testosteron dalam perilaku kerja sama. "Subjek yang terkena paparan tinggi testosteron selama perkembangan janin tidak lebih buruk atau lebih baik daripada subjek dengan testosteron rata-rata. Kerja sama dipengaruhi beberapa hal."

Lewat penelitian, kedua pakar mengharap penelitian mereka dapat membantu rancangan kebijakan publik.

'Jika perilaku seperti merokok, minum atau mengemudi dalam kecepatan tinggi dirasakan sebagai bagian dari pencarian status, disinsentif ekonomi seperti pajak atau denda tidak akan memberi efek jera yang kuat,' tuturnya.(vivanews.com)

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top