GuidePedia

0

Tanya

Staff mojok yang budiman…

Pertama-tama biarkan saya dengan berani memperkenalkan diri beserta curahan isi hati. Saya Widya, 23 tahun, jomblo, dan korban ditinggal pas udah sayang-sayangan selama lima tahun, dan belum jatuh cinta lagi selama dua tahunan, hingga akhirnya… Saya jatuh cinta dengan seseorang, yang ternyata seorang… Gay. Iya, gay, mas! Sampai sini, sudah terasa njelimet kan?

Jadi begini, dia kepala bagian dari divisi lain yang jadi idola di kantor. Berawal dari meeting bareng, hingga kemudian mulai jalan bareng berdua. Selain berkharisma, dia juga sosok yang baik, ngayomi, sangat pengertian dan perhatian. Pokoknya suamiable lah.

Singkat cerita kami menjalin hubungan —ngacak2in rambut, hingga lendot2an berdua— yang yak itulah namanyaaa…

Hingga suatu hari masnya ngajak makan malam dengan tajuk 'ada yang mau dibicarakan'. Di restoran, dia minta kertas kosong dan bolpoin ke mbak pelayan, ia lalu menulis "do u love me? I'm G" Duaaaaaaaaaaar. Tentu saja saya kaget tratapan.

Saking mak tratap-nya, daku terdiam (sambil menunggu kalau tiba-tiba ada yang nepokin suuurprisee Happy B'day walau aku sedang nggak ultah, atau lagi di acaraaa superrrrtaaarrrp walau sudah bubar acaranya *garingokemaap) sepersekian detik. Ambil sikap !

Saya langsung duduk tegak kaya pas adegan mba cinta dengan rangga. Pengin rasanya saya niru mbak cinta dengan bilang "apa yg kamu lakukan ke saya itu ja…hat!" Tapi aneh rasanya.

Saya bingung gimana mau njelasinnya, maksud saya, "sikapmu ngelus2 sayang2 kemarin itu maksudnya apa, mas?" 

Makan malam ala 'ada yang mau dibicarakan' itu kemudian berakhir dengan cerita bahwa dia sudah dengan menjalin hubungan dengan seorang 'mas' kurang lebih lima tahun (gustii nu agung ! Apalagi ini). Yang ia lakukan kemudian adalah apa yang biasa lelaki lakukan setelah melakukan kesalahan: membuat alasan berisi pembelaan dan pembelaan.

Pada ujungnya, dia bilang sudah ingin mengakhiri hubungan dengan pasangan mas-nya itu, dia ingin aku tahu semua sebenarnya tentang dia karena dia cinta sama saya. Dan yang terakhir… Dia merasa telah yakin dan ingin menikaah! Dengan saya.

*Sek, ta ambegan sek cak*

Kesimpulan:

Cak, aku galau..
Cak Gusmul: Kok bisaa loh?
Caakkk, logikaku di curangi hati… Kadung tresno cak…
Kan kan katanya cinta tak memandang apa-apa, tapi rumah tangga kan butuh logika ya cak? tapi seburuk apapun masa lalu orang, ia berhak punya harapan baik di masa depan, tapi ini masa sekaraang kan ya cak? Tapi… Tapi…

Cak telolet cak!

Jawab

Dear Widya.

Ini mungkin akan menjadi nasihat yang jarkoni, alias ngajari tapi ra nglakoni. Tapi ya memang begitulah Curhat Wisbenbae, sebab slogan kami memang "Memberi nasihat, bukan memberi contoh", jadi tolong dimaklumi.

Begini Widya, 

Saya mulia nasehat saya dengan sebuah cerita. Sewaktu bekerja di salah satu daerah di Jawa Barat (sengaja tidak saya sebutkan kotanya, takut ada yang ngerasa), saya pernah punya rekan satu kerjaan yang, boleh saya bilang, cukup mumpuni sebagai seorang pria. Dia flamboyan, cerdas, tampangnya lumayan, makmur-sentosa pula. 

Suatu ketika, ia bertemu dengan seorang wanita, sebut saja Eneng. Singkat cerita, kawan saya ini jatuh hati. Mereka berdua lantas mulai akrab dan menjalani hubungan yang semakin dekat. Hingga pada akhirnya, kisah keduanya berada pada titik yang mbak Widya alami.

Si Eneng yang oleh kawan saya begitu dicintai itu ternyata mengaku sebagai seorang lesbian.

Apa yang kemudian terjadi adalah hal yang selalu bikin saya terkagum-kagum. Kawan saya memutuskan untuk menikahi Eneng walaupun ia dibayangi oleh pengakuan yang cukup berat untuk diterima. Dan gayung bersambut, Eneng bersedia.

Kelak, alasan kawan saya untuk menikahi Eneng bakal membuat saya terus mengingatnya. Begini kurang lebih jawaban kawan saya, "Kalau semua lelaki ingin menikahi wanita yang baik, lantas wanita yang tak baik kebagian apa? Terkadang, lelaki perlu juga menikahi wanita yang tak baik, agar ia bisa membimbingnya menjadi wanita yang baik," 

Nah, dari sini, tentu mbak Widya sudah bisa menebak, bahwa nasihat yang akan saya berikan pada mbak Widya ini sedikit banyak berdasar pada kisah kawan saya ini. 

Begini, Mbak Widya. Saya selalu percaya pada konsep bahwa Cinta yang luar biasa terbentuk oleh komponen "Walaupun", bukan oleh komponen "Karena". Begini, saya contohkan. 

Aku cinta X karena dia….
Aku cinta Y walaupun dia….

Cinta untuk X memperlihatkan sebuah kepamrihan, sesuatu yang transaksional, ketidaktulusan, penuh alasan, dan berbau timbal balik. Sedangkan cinta untuk Y memperlihatkan sebuah ketulusan, kebesaran hati, kerelaan, serta menerima apa adanya. Mencintai seseorang karena dia cantik, karena dia kaya, karena dia cerdas, itu sudah biasa. Tapi mencintai seseorang walaupun ia penuh kekurangan, itu yang menurut saya luar biasa. 

Posisi mbak Widya sekarang adalah posisi yang sangat berpotensi menciptakan cinta untuk Y. Mbak punya kesempatan untuk bisa mencintai seseorang walau ia punya masa lalu yang mungkin buruk dan berat bagi mbak Widya.

Bahwasanya mas yang mbak Widya cintai itu (selanjutnya, kita sebut saja, Mas Anggar) mengakui bahwa ia Gay, dan menurut saya, itu adalah pengakuan yang maha berat, pengakuan yang membutuhkan banyak nyali dan pertaruhan. Dan ia melakukannya kepada mbak Widya. Itu yang membuat saya yakin, bahwa mas Anggar serius dengan mbak Widya dan benar-benar ingin mengubah diri dengan cara menikah dengan mbak Widya. Setidaknya, itu yang bisa saya tangkap sebagai makhluk yang sama-sama punya telor dan pisang, walau beda preferensi.

Nasihat saya tentu saja, terima tawaran mas Anggar kalau toh selama ini memang mbak Widya suka sama dia. Kebahagiaan kadang terlahir dari pilihan yang sulit.

Lha siapa tahu, kalau setelah menikah (yang tentu saja karena dilandasi dengan niat baik), Mas Anggar berubah menjadi pria yang sebenar-benarnya pria, yang manly, yang telor dan pisangnya berjalan ke arah yang diharapkan. Siapa tahu tho? wong ya tugas kita kan cuma berusaha.

Silakan kalau mbak pengin ngomong "Halah, ngemeng doang mah gampang, nglakuinnya sudah, mas…", Iyaaaa. Tapi memang begitulah jalannya. Tugas saya disini memang cuma ngomong, sedangkan tugas mbak mendengarkan. Perkara mbak mau mengikuti nasihat saya apa tidak, itu urusan mbak. Pilihan keputusan sepenuhnya berada di tangan mbak Widya, wong sampeyan yang menjalani hubungan, bukan saya.

Silakan kalau ingin melanjutkan hubungan yang lebih serius dengan mas Anggar seperti yang saya sarankan, silakan juga kalau ingin menjauh dari mas Anggar dan mencari pria lain yang menurut mbak Widya dirasa lebih mantap. Sebagai pria yang bukan gay, saya siap menawarkan diri jika mbak berminat. Nanti biar saya kirimkan nomor wasap saya via email, biar mbak bisa berimpovisasi sendiri.

Salam bahagia.

Sumber


Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top