Jika Anda masih berpikir penjelasan dengan cara demikian adalah sesuatu yang jorok, atau menganggap tulisan ini tidak etis dan menjijikkan, atau malah punya pikiran mesum setelah membacanya, itu artinya Anda masih harus belajar kehormatan lebih jauh lagi, termasuk belajar bagaimana mengucapkan vagina dan payudara dengan hormat, bukan laknat.
Pada Kamis (12/5/2016), Presiden Indonesia kelima, Megawati Soekarnoputri, menghadiri diskusi bertajuk Indonesia Melawan Kekerasan Seksual di Roemah Kuliner Kompleks Metropole Megaria Jakarta Pusat. Sebagaimana dikutip dari banyak surat kabar, Bu Mega bicara, “Saya gemas jika melihat wanita yang lembek. Namun bukan berarti tidak dandan dan kelaki-lakian, bukan seperti itu. Saya ingin yang bisa membela diri, sehingga terhindar dari kekerasan seksual.”
Wah wah wah, mendengar perkataan tersebut, saya kok malah gemas sama panjenengan ya, Bu? Apalagi sampai mengimbau kaum perempuan berlatih bela diri. Atau minimal melengkapi diri dengan peralatan seperti semprotan merica seperti milik polisi.
Ibu Mega pernah tahu rockstar bernama Kurt Cobain? Itu loh, pentolannya Nirvana. Nah, Mas Cobain itu, Bu, adalah lelaki yang semasa hidupnya selalu tampak seperti orang mendem. Meski juga dianggap jenius di bidang musik, ia lebih sering dikira sebagai seorang frustasi sepanjang hayat yang nyaris tak pernah dianggap punya akal sehat.
Namun, dengan segala stereotifikasi yang bermasalah macam itu, Mas Cobain justru pernah bilang bahwa sumber masalah perkosaan–yang dihalusbahasakan menjadi kekerasan seksual–adalah lantaran laki-laki tidak dididik untuk tidak melakukan tindakan bejat tersebut. Katanya:
“Rape is one of the most terrible crime on earth and it happens every few minutes. The problem with groups who deal with rape is that they try to educate women about how to defend themselves. What really needs to be done is teaching men not to rape. Go to the source and start here.”
Hari-hari terakhir ini sedang ramai-ramainya tagar #PerppuKebiri, di mana masyarakat menuntut pemerintah agar menegakkan hukuman tambahan kebiri bagi para pemerkosa. Ada yang setuju, ada yang malah menolak karena #PerppuKebiri dianggap tidak memikirkan rehabilitasi korban perkosaan. Namun, tak sedikit pula yang belagak ikut menyerukan pengesahan #PerppuKebiri agar tak dianggap cuek dengan keadaan.
Menurut keyakinan Bu Menteri Sosial Khofifah, misalnya, kebiri bisa menurunkan kasus kejahatan seksual. Beliau menjelaskan, sebagai contoh, penerapan hukuman kebiri di Jerman bisa menurunkan kasus dari yang semula 80% menjadi hanya 2,3%.
Sayang, beliau tidak bilang penurunan sebesar itu terjadi dalam tempo berapa lama. Beliau juga tidak bilang, apa saja yang dilakukan Jerman selama angka kasus dalam proses penurunan. Dan sayangnya saya juga tidak tahu harus cari tahu kemana. Bu Menteri hanya bilang, bahkan warga yang mempunyai kecenderungan melakukan kejahatan seksual secara sukarela dikebiri.
Sukarela? Kok bisa rela? Ya, katanya Bu Menteri, ada kesadaran bahwa kecenderungan melakukan kejahatan seksual akan berdampak negatif bagi masyarakat sekitarnya. Saya curiga, jangan-jangan Jerman juga memakai cara seperti yang diucapkan Mas Cobain agar masyarakatnya mencapai tingkat kesadaran macam itu
Di samping hukuman berat untuk pemerkosa, rasa-rasanya tak salah jika hukuman kebiri dianggap perlu ditambahkan, toh suatu hukum itu gampang dibuat dan disahkan. Persoalannya kemudian, apakah yakin bisa dijalankan? Pertanyaan ini penting, sebab kita sudah sama-sama tahu bagaimana kualitas penegakan hukum di negara ini.
Coba saja diteliti, misalnya, berapa banyak sih kasus perkosaan yang sampai di meja hijau di Indonesia?
Oleh karena itulah, saya kira, ketimbang berseru soal kebiri-kebirian, langkah pertama yang mestinya patut dilakukan lebih dulu adalah mendidik para laki-laki untuk tidak memerkosa. Perempuan dengan seluruh bagian tubuhnya harus dihormati, termasuk oleh perempuan itu sendiri.
Dalam ekspresi yang paling ekstrim, laki-laki seharusnya belajar menaruh hormat pada vagina. Sebab vaginalah yang merupakan mawar mekar di atas cawan suci penerima benih kehidupan. Dari sana, rantai asal-usul manusia dimulai untuk kemudian diluhurkan ke dunia.
Apakah hanya vagina yang perlu dihormati? Tentu saja tidak. Payudara dan seluruh jengkal tubuh pun perlu dihargai dengan setinggi-tingginya.
Bahwa payudara adalah karunia Tuhan–sebagaimana jakun yang melintang di tenggorokan pria–dan bukan benda aneh yang pantas ditertawakan bentuk dan ukurannya. Payudara adalah keniscayaan alami yang harus disyukuri, terutama sebagai wadah sumber nutrisi bayi, yang kelak menjadi manusia dewasa dan bertempur menghadapi kerasnya hidup.
Mengapa laki-laki jarang sekali memandang vagina dan payudara dengan cara seperti itu? Kedua bagian tubuh tersebut lebih sering dikenali sekadar sebagai obyek pornografi, dan kerap menjadi bahan guyonan mesum dan dianggap barang menjijikkan. Mengapa sulit sekali menghormati vagina dan payudara?
Bukan hanya laki-laki saja, kaum perempuan pun sejatinya terlalu sibuk mengasosiasikan vagina dan payudara sebagai kata-kata yang jorok dan tak pantas diucapkan karena dianggap bertentangan dengan etika “ketimuran”. Saking dianggap tidak sopannya, maka perubahan kata “vagina” dengan inisial–seperti menulis nama tersangka korupsi–adalah hal yang dianggap tepat belaka.
Tak terhitung lagi sudah seberapa sering kaum perempuan menyebut, “ssttt…”, “aiihh malu…” atau “jangan bicarakan itu…” kepada anak, kepada adik, atau tetangga yang bertanya, “apa itu vagina?”
Mengapa kaum perempuan tidak terbiasa memberi penjelasan secara biologis tentang vagina dan payudara? Apa fungsinya, cara menjaga dan merawatnya, kapan vagina boleh berhubungan dengan penis, bagaimana tata caranya, serta berbagai akibat yang terjadi jika tata cara itu diabaikan. Mengapa hal ilmiah semacam itu justru dianggap tabu?
Padahal, pertanyaan dan penjelasan tersebutlah yang mula-mula justru membuka pelajaran tentang kehormatan atas tubuh perempuan.
Jika Anda masih berpikir penjelasan dengan cara demikian adalah sesuatu yang jorok, atau menganggap tulisan ini tidak etis dan menjijikkan, atau malah punya pikiran mesum setelah membacanya, itu artinya Anda masih harus belajar kehormatan lebih jauh lagi, termasuk belajar bagaimana mengucapkan vagina dan payudara dengan hormat, bukan laknat.
Semoga dengan kesadaran akan rasa hormat, tidak ada lagi pemaksaan, tidak ada lagi perkosaan. Dan semoga Ibu Megawati mengerti bahwa mendidik laki-laki untuk menghormati perempuan harus lebih dulu dilakukan ketimbang mewajibkan perempuan berlatih menggunakan belati untuk bela diri.
By the way, Ibu Mega, apakah dulu ketika Anda atau Mbak Puan remaja juga berlatih beladiri dannguleg merica lalu dilarutkan dengan air, diwadahi botol semprot, dan dibawa ke mana-mana saat berpergian?
Kalau memang iya, hambok sekalian bikin video tutorialnya, Bu…
Post a Comment Blogger Facebook