Mulus mendarat. Rabu 18 Februari 1981 itu, Kemayoran masih pagi. Pukul delapan lebih 30 menit. Empat puluh penumpang bersiap keluar dari tubuh pesawat Mandala itu. Lalu tiba-tiba heboh. Buang Budiyono, seorang petugas Apron Movement Control, menemukan kaki menjulur. Dari bagian belakang ruang roda pesawat.
Astaga! Semua terkejut. Para penumpung bergegas. Berkerumun di bagian belakang pesawat. Sang pilot, Kapten Guritno, juga ke situ. Sejumlah petugas mengeluarkan seorang pria dari ruang roda itu. Dia berpakaian lusuh. Tubuh lemas. Tapi dia masih bernafas. Lelaki ini selamat, dengan daftar penderitaan yang membuat kita meriang.
Kedua kaki luka berat. Nyaris busuk. Tubuhnya hitam legam seperti diserbu asap hitam. Tubuh itu dibaluri oli. Ada darah mengental yang membekas di celana. Juga luka bekas gigitan di salah satu pangkal paha. Lelaki itu langsung dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta Pusat.
Besoknya, berita tentang pria bernyali “gila” itu ramai di media massa. Namanya Tarsono. Asal Semarang. Terbang ke Jakarta dengan cara nyaris bunuh diri. Menekuk tubuh di ruang roda pesawat. Semula dia mengaku sebagai petani. Dari sebuah kelurahan di Jawa Tengah.
Setelah ditelusuri alamat yang disodorkan itu palsu belaka. Setelah dicari-cari, polisi kemudian menyebutkan Tarsono adalah seorang gelandangan dari Pasar Bulu di Semarang.
Mustahil Tapi Nyata
Nyali gila Tarsono ramai dibicarakan orang banyak. Lengkap dengan daftar pertanyaan, yang mungkin cuma dia yang tahu jawabannya. Bagaimana dia masuk. Bagaimana nyawanya bisa selamat. Bagaimana bertahan hidup di ketinggian 12 ribu kaki tanpa perlindungan. Selama sekitar 1,5 jam. Pesawat itu lepas landas dari Bandara Ahmad Yani Semarang, pukul 7 pagi. Mendarat di Jakarta pukul 8 lebih 30 menit.
Ruang dia bersembunyi juga sungguh sempit. Sejumlah media massa saat itu menulis, ruang itu hanya berukuran sekitar satu meter kubik. Rongga roda yang menjadi “pintu masuk” ke ruang sempit itu juga cuma selebar 30 senti.
Lalu bagaimana dia masuk? Ini tentu pertanyaan banyak orang. Tarsono, begitu dugaan saat itu, masuk dengan cara menginjak backstay atau alat penyangga roda pesawat. Alat itu membentuk siku terhadap strut, yang juga berhubungan dengan roda.
Demi melewati rongga sepanjang penggaris normal yang pas dengan tubuhnya, ia berpegangan pada post dan hydraulic jack, yang berada di langit-langit saat roda dalam posisi mendarat.
Ketika pesawat melayang dan perlengkapan mekanis roda masuk, tubuh Tarsono yang setinggi 1,65 meter tertekuk. Ia berada dalam posisi “mati”. Kepalanya akan tertindih hydraulic jack dan pantatnya terhimpit pada dinding rangka pesawat. Tangannya mungkin berpegangan pada post.
“Waktu saya duduk tiba-tiba seperti ada yang mendorong. Rasanya seperti ditekuk,” begitu kisah Tarsono saat itu, sebagaimana ditulis sejumlah media massa.
Terbang dengan cara Tarsono ini tentulah super sengsara. Ketika mesin pesawat menderu, suhu mesin bisa mencapai 730 derajat selsius. Dari pipa pembuangan pembakaran, suhunya 300 derajat selsius. Beruntung ada pembatas panas. Pembatas itu ada di antara ruang mesin dan ruang roda, sehingga panas bisa ditekan ke bawah bilangan 100 derajat selsius.
Begitu hendak lepas landas, putaran mesin turbin menunjukkan 15 ribu rpm. Angka itu menurun jadi 14 ribu rpm saat pesawat sudah dalam posisi melayang. Tapi suaranya tetap bisa membuat telinga kita sepi selamanya.
Jadi silahkan membayangkan bagaimana Tarsono bertahan dalam kondisi itu. Seorang pilot senior yang diwawancara media saat itu, menjelaskan bahwa kemungkinan Tarsono sempat jatuh pingsan. Lantaran tubuhnya tertekan ruang yang begitu sempit, ia tak meluncur ke bumi. Ruang gerak Tarsono mungkin sedikit lega saat roda mulai terjulur.
Tapi roda menjulur itu baru terjadi di sekitar wilayah Bekasi, yang jaraknya tiga menit atau 8 mil dari Kemayoran. Selebihnya, dia meringkuk di ruang sempit penuh derita itu.
Kisah Dikejar anjing
Lalu mengapa dia nekat masuk ke situ. Sudah lama, begitu pengakuan Tarsono yang ditulis media massa saat itu, ingin menumpang pesawat ke Jakarta. Apa daya uang tak punya. Sebelum ke Semarang, ia tinggal bersama ayahnya di Jombang, Jawa Timur. Pernah menjadi pencari kayu dengan upah Rp300 per hari. Demi penghasilan lebih, dia lalu berangkat ke Semarang. Berangkat tanpa tujuan, akhirnya terdampar menjadi gelandangan.
Ingin menumpang pesawat ke Jakarta itu belum tentu menjadi alasan Tarsono nekat dengan nyali “gila” itu. Soalnya, kepada petugas medis yang memeriksa dia mengaku, bersembunyi di ruang roda pesawat karena dikejar anjing. Luka bekas gigitan di pangkal paha tadi, adalah bukti yang disodorkan Tarsono. “Rasanya seperti ada yang mengejar, mungkin anjing. Saya takut sekali,” begitu katanya.
Kapan dan bagaimana dia masuk? Nyaris belum ada jawaban pasti. Yang berkembang adalah dugaan. Tarsono diduga menyelinap ke ruang ronga pesawat sekitar pukul 5 pagi. Mungkin berbaur dengan para petugas yang mulai ramai. Tapi jika dugaan ini benar, saat itu sekitar 10 petugas keamanan bersiaga. Bagaimana dia bisa lolos?
Lalu berkembang pula dugaan bahwa ia datang tengah malam saat pengamanan belum begitu ketat. Di bagian Tenggara pangkalan udara, ada persawahan dan kereta api. Memang dipisahkan kawat berduri, tapi jika bisa masuk dari situ, hanya butuh waktu sekitar satu menit mencapai pesawat.
Jika itu benar, maka yang menjadi teka-teki, mengapa petugas tidak melihat Tarsono saat mengecek kondisi pesawat. Lalu ada pula dugaan begini: mungkin ia baru masuk saat pesawat akan lepas landas. Jika dugaan itu benar, itu artinya Tarsono hanya punya waktu sekitar satu menit untuk masuk dan 28 detik untuk melipat tubuh. Luar biasa memang.
Dugaan mana yang benar, memang belum terjawab. Sebab sejak mendarat di Kemayoran itu Tarsono seperti hilang ingatan. Menurut polisi, bicaranya rada ngawur. Sehari setelah mendarat dengan selamat itu, ia dipulangkan ke Semarang. Dirawat di RSUD Dr Kariadi. Dan Selasa, 24 Februari 1981, hasil pemeriksaan dokter menyebutkan Tarsono ternyata mengalami gangguan jiwa fungsional.
Nyali Dua Remaja
Enam belas tahun setelah aksi edan Tarsono. Dua remaja ini ditemukan mengigil di ruang roda Garuda Airbus A300-B4. Terbang dari Medan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Manto Manurung dan Siswandi Nurdin Simatupang, sontak mengejutkan khayalak ramai.
Pada Selasa 23 September 1997 itu, pesawat dengan 149 penumpang ini lepas landas pukul 7 lebih 30 menit. Mendarat di Jakarta pukul 9 lebih 47 menit. Dua jam lebih di langit.
Seperti kisah Tarsono, Manto dan Siswandi ditemukan pertama kali oleh petugas yang hendak memasang chock pada roda depan pesawat. Ada sebagian baju yang menyembul dari ruang roda depan itu. Setelah diperiksa, ternyata ada dua remaja tanggung melipat tubuh di sana.
Manto ditemukan dalam kondisi lemah. Kaki kanan remaja setinggi 1,5 meter itu cedera. Pergelangan tangan kiri terluka. Sedang Siswandi, yang tingginya 1,65 meter seperti Tarsono, lebih bugar. Hanya tangan kanan sedikit lecet.
Salah satu dari mereka baru berhasil dikeluarkan pukul 10 lebih 30 menit. Ruang roda yang begitu sempit menyulitkan para petugas.
Banyak orang tercengang. Bagaimana dua remaja itu bisa selamat. Mereka bisa saja tergencet roda, yang saat masuk ke ruang penyimpanan berputar dan amat panas. Mereka juga harus bertahan dengan suhu minus 50 derajat selsius selama pesawat melayang di ketinggian 30 ribu kaki.
Apalagi, ruang persembunyian itu tidak bertekanan seperti kabin penumpang. Dibanding kasus Tarsono, ruang roda tempat Manto dan Siswandi melipat tubuh memang sedikit lebih luas. Ruang itu juga jauh lebih dingin. Itu sebabnya mereka mengigil. Salah satunya bahkan pingsan.
Modal nekat
Tidak seperti Tarsono, yang melantur dan mengaku dikejar anjing, Manto dan Siswandi memang sudah merencanakan aksi ini. Rencana itu tercetus pukul 10 malam, pada Senin 22 September 1997. Mereka mematangkan rencana “gila” ini di kamar kos Siswandi.
Setelah dirasa cukup matang, mereka bergegas ke bandara Polonia. Hari masih gelap. Pukul 3 pagi. Menyelinap lewat parit. Lokasinya tak jauh dari landasan pacu. Dari parit itulah mereka mengendap ke ruang roda pesawat.
Semula mereka berempat. Namun, dua temannya lebih rasional. Memutuskan tinggal. Hanya Manto dan Siswandi yang main “seruduk”.
Menurut Pujobroto, Pelaksana Harian Dinas Hubungan Bisnis Garuda Indonesia Airlines keduanya bertahan di “tempat persembunyian” selama kurang lebih 4,5 jam. Pukul 4 lebih 30 menit, teknisi memeriksa pesawat dan menyatakannya dalam kondisi baik. Tiga jam kemudian pesawat lepas landas.
Siswandi berkisah bahwa dia sempat sesak napas saat pesawat melayang di langit. Mungkin karena kekurangan oksigen. Lalu dia tertidur. “Tidurnya ya jongkok,” katanya, sebagaimana ditulis media massa saat itu. Sementara Manto, masih terus membuka mata.
Saat ditemukan, mereka sama sekali tak membawa kartu identitas. Beruntung Siswandi tak selemah Manto. Sehingga masih bisa menyebutkan nama sekolah dan alamat orang tuanya di Batangkuis, Deliserdang. Siswandi mengaku, nekat terbang dengan cara berbahaya ini karena sering bolos sekolah dan takut dikeluarkan.
Menurut kedua orang tuanya, Siswandi memang bandel. Setelah tamat SMTP akhir tahun 1996, ia sempat dimasukkan pesantren di Garut, Jawa Barat. Namun hanya lima bulan, karena Siswandi kemudian kabur entah ke mana. Kabarnya, ia pernah menjadi kernet truk.
Awal tahun 1997, ia kembali pulang dan mengaku salah. Siswandi yang siap melanjutkan sekolah, didaftarkan ke tempat studi pilihannya sendiri: SMU Negeri 1 Deliserdang. Tak disangka, di sana ia tetap sering bolos. Dan akhirnya nekat ke Jakarta, dengan cara mengaduk nyali.
Follow @wisbenbae