Ibnu Abbas, saksi sejarah PDRI di Bidar Alam
SOLOK SELATAN - Kalau hanya karena alasan makanan, tentu Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Syafruddin Prawiranegara, tidak akan pindah dari Nagari Abai ke Bidar Alam.
Namun, berkat lobi Khatib Djamaan, yang mengajak Syafruddin pindah dengan jaminan bahwa orang Bidar Alam adalah Masyumi, akhirnya pemerintahan berpindah ke Bidar Alam.
Nagari Bidar Alam di Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat, merupakan saksi sejarah Republik Indonesia saat masa darurat 1948. ketika itu Belanda menahan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bila dibandingkan dengan lokasi lain yang disinggahi Syafruddin, Bidar Alam merupakan tempat terlama yang disinggahinya, yakni 3,5 bulan.
Nagari Bidar Alam di Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat, merupakan saksi sejarah Republik Indonesia saat masa darurat 1948. ketika itu Belanda menahan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bila dibandingkan dengan lokasi lain yang disinggahi Syafruddin, Bidar Alam merupakan tempat terlama yang disinggahinya, yakni 3,5 bulan.
Di Jorong Bulian, Nagari Bidar Alam, tinggal satu-satunya tokoh sejarah saksi mata masa pemerintahan darurat Indonesia, Ibnu Abbas (84). Dia merupakan asisten dr Sambiyono. Sambiyono sendiri merupakan dokter pribadi Syafruddin.
Rambut, janggut putih, peci haji, serta batik cokelat yang disempurnakan dengan sarung motif kotak, menjadi penampilan khas Abbas. Meski usianya sudah senja, namun Abbas masih ingat betul bagaimana saat-saat Syafruddin masuk ke Sumatera Barat.
Abbas pun memulai cerita kebersamaannya dengan Syafruddin. Awalnya, dia mengaku tidak mengenal Syafruddin. Namun, melalui radio, dia mendengar bahwa Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta sudah ditangkap Belanda.
“Orang bilang Bapak Syafruddin sebagai kepala pemerintah darurat akan datang ke sini untuk mengomando perang gerilya. Itu berita sampai di sini,” tutur pria kelahiran 1928 yang masih tampak segar itu .
Dia kembali berkisah, dari keterangan yang dia dapat, sebenarnya Syafruddin hendak menuju ke Pekanbaru, Riau, namun batal. Sebab, keberangkatannya sudah diketahui Belanda.
“Saat menuju ke Pekanbaru, rombongan mobilnya ditembak oleh Belanda dengan cocor merah (pesawat capung, red). Beruntung, saat itu dia tidak kena tembak, namun mobilnya rusak dan kaca matanya pecah. Setelah itu, dia meneruskan perjalanan ke Pulau Punjung, Dharmasraya,” sambungnya.
Perjalanan diteruskan ke Pulau Punjung, namun mereka tidak bisa lama di daerah itu. Sebab, Belanda mudah menjangkau mereka. Pada 3 Januari 1949, rombongan PDRI menuju Abai lewat Sungai Dareh.
”Perjalanan mereka menempuh waktu sehari semalam. Itu pun memakai perahu menggunakan dayung dari bambu. Perjalanan lama karena melawan arus sungai,” ungkapnya.
Sementara, sebagian rombonganya ada yang lewat darat dan ada yang kembali ke Payakumbuh untuk memantau perkembangan Belanda sambil berkoordinasi dengan pejuang di daerah tersebut.
Setiba di Abai, Syafruddin dan rombongan menginap rumah Angku Palo Gaek. Melihat kondisi itu, Pemerintah Kecamatan Perang Bidar Alam, Bustam Kamil, melakukan rapat untuk menjemput Syafruddin.
”Rapat itu dihadiri Camat Perang, namanya Bustam Kamil; Wali Otonomi Ridwan Darwis Daud; Darwis K, sebagai Kepala Pemuda di sini; Marlis Bagindo, Sekretaris Otonom Daerah; dan beberapa tokoh lainnya,” bebernya.
Penjemputan ini dilakukan karena sumber makanan di Abai itu dari Bidar Alam dan diantar pakai perahu. Jadi maka diputuskan itu untuk menjemput ketua PDRI lewat Khatib Jamaan selaku Komandan Badan Pertahanan Nagari dan Kota (BPNK).
”Saat menjemput Pak Syafruddin, Khatib Jamaan membawa dendeng empat kilogram. Dia menumpang perahu pedagang menuju Abai. Ini dilakukan untuk menyamar agar tidak diketahui mata-mata Belanda. Selain itu, memang jalan darat tidak ada,” ujarnya.
Memasuki Abai, rombongan mendapat pengawalan sangat ketat dari tentara dan BPNK Sangir. Saat itu, Khatib Djamaan bersama temannya harus diperiksa dulu. Pemeriksaan juga dilakukan secara berlapis. Setelah mendapat keyakinan, maka Khatib Djamaan bertemu dengan Syafruddin.
Ketika sampai di rumah Angku Palo Gaek, Khatib Jamaan menyampaikan pesan kepada Syafruddin untuk pindah ke Bidar Alam. Namun, saat itu Syafruddin belum yakin, maka diutuslah tentara untuk melihat kondisi serta memberikan laporannya.
Setelah dipastikan aman, rombongan terdiri dari 39 orang, termasuk Syafruddin, berangkat ke Bidar Alam pada 24 Januari 1949. ”Sampai di Bidar Alam, barulah saya bertemu dengan beliau. Bapak Syafruddin dan rombongan disambut di pelabuhan dekat Surau Annur. Kemudian, keamanan diserahkan ke BPNK Bidar Alam,” ungkapnya.
Ada beberapa hal yang masih dipertanyakan soal lamanya Syafruddin di Bidar Alam serta alasan kepindahnya ke tempat itu. Dari pernyataan di atas alasan pindah ke Bidar Alam karena stok makanan yang susah. Namun, di balik itu, kata Abbas, ada unsur politik sehingga Ketua PDRI mau diajak ke lokasi baru.
”Bidar Alam orangnya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) semuanya. Khatib Jamaan itu ketua dan saya wakilnya. Jadi Bidar Alam kami Masyumikan semuanya. Sementara Pak Syafruddin itu kan orang Masyumi. Memang ada PKI yang datang, tapi kami tidak peduli itu. Kami perlu Pak Syaf,” terangnya.
Abbas menuturkan, selama Syafruddin berada di Bidar Alam, dia menjadi pengawalnya. Syafruddin betah di Bidar Alam sebab dia merasa seperti di kampungnya sendiri.
”Bahkan saat di Bidar Alam, kalau dia pergi ke mana tidak pakai pengawal, tidak seperti wakilnya Mohammad Hasan. Dia punya pengawal dan memakai senjata lengkap, bernama Ibrahim. Buang air besar saja dikawal. Saat di Bidar Alam mereka menginap di rumah penduduk, untuk Pak Syaf tinggal di Rumah Jama,” ulas Abbas.
Abbas mengawal Syafruddin dengan jarak 10 meter. ”Saya mengawasinya dan memantau, tapi itu jaraknya 10 meter. Biasanya, beliau keluar itu pakai kain sarung. Kadang-kadang pergi sendiri saja tidak minta dikawal,” ungkapnya.
Meski secara geografis daerah Bidar Alam saat itu sangat susah dijangkau, namun komunikasi dengan jaringan pemerintah di Pulau Jawa tetap dilakukan dengan radio milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Saat itu peran AURI sangat besar dalam menyediakan peralatan komunikasi dengan pemerintah sipil dan militer.
”Di sini saat itu ada radio Markoni. Dia bicara sendiri seperti orang gila,” ungkapnya.
Dalam buku yang ditulis Guru Besar Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, menyebut, stasiun Radio Bidar Alam dipimpin oleh Opsir Udara III Dick Tamimi beranggotakan teknisi dan telegrafis Sersan Mayor Udara Kusnadi dan Sersan Mayor Udara R Oedojo. Ketiganya berasal dari AURI Komandemen Bukittinggi.
Stasiun itu juga diperkuat seorang perwira sandi Opsir Muda Udara III Umar Said Noor dan seorang telegrafis Kopral Zainal Abidin. Keduanya berasal dari Pangkalan Udara Jambi.
Semua radio memilki sandi berganti-ganti. Biasanya, mereka bekerja pada malam hari mulai pukul 22.00 sampai 04.00 dini hari. Kerjanya mengirim dan menerima berita dalam lingkungan AURI. Selain itu juga menyadap sandi musuh.
Stasiun tersebut juga menyiarkan kegiatan PDRI kepada pejuang-pejuang lainnya di Sumatera dan Jawa. Rombongan PDRI di Bidar Alam pergi pada 22 April 1949.
Alasan kepindahan, Pemerintah Belanda sudah mencium keberadaan Syafruddin di Bidar Alam.
(ton)
Kalau artikel diatas bermanfaat, lebih baik anda berlangganan di bawah ini :