GuidePedia


Kekuasaan kadang membuat seseorang lalai pada tujuan-tujuan kesetaraan dan keadilan yang dijunjung sebuah kelompok masyarakat; entah itu dalam cakupan kecil atau dalam lingkup negara. Di Indonesia, Pancasila sebagai dasar negara, sadar atau tidak, sering disimpangkan pemahamannya oleh penguasa negara. Berkaitan dengan hal ini, jika Syafruddin Prawiranegara dan Mr. Asaat tidak disebutkan sebagai presiden negara kita, entah kebetulan atau tidak, secara berurutan, lima presiden Indonesia “melanggar” Pancasila sesuai urutan zaman mereka berkuasa.

Soekarno dan Sila Pertama

Soekarno, sang presiden pertama, sering dianggap menganggap sila pertama pula: Ketuhanan Yang Maha Esa. Demi stabilitas nasional, Soekarno menggabungkan tiga kekuatan terbesar bangsa Indonesia saat itu, yaitu Nasionalis, Agama, dan Komunis yang gabungannya disebut sebagai Nasakom.

Penggabungan kaum nasionalis, kaum agama, dan komunis, tidak disukai oleh Masyumi yang menganggap komunis identik dengan ateis. Pada masa itu, memang ada “doktrin” yang menyebutkan bahwa tidak mungkin umat Islam mampu bekerjasama (apalagi bersatu) dengan orang-orang yang tidak mempercayai Tuhan. Secara “kebetulan” pula, pada masa Orde Lama, umat Islam cenderung tertepikan. Ada beberapa oknum PKI yang menjelek-jelekkan Islam di tingkat bawah dan dibiarkan oleh Soekarno. Sementara itu, Soekarno juga membubarkan Masyumi, menangkapi para pemimpinnya yang dianggap terlibat dalam pemberontakan, dan cenderung “menganak-emaskan” PKI.

Dari sudut pandang ini, boleh dikesankan (tentu sebagai humor saja) bahwa Soekarno melanggar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Soeharto dan Sila Kedua

Pada masa Soeharto, PKI yang dahulu disayang penguasa, berbalik dikucilkan. Sejak perista G30S yang hingga sekarang tidak bisa dipastikan siapa otak utamanya, PKI dihitamkan dan bahkan terjadi pembantaian massal demi pemberantasan “komunis”.

Tidak hanya orang-orang PKI yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi. Umat Islam secara tidak langsung juga mendapatkan sikap “keras” dari pemerintahan Orde Baru. Misalnya, kemunculan teroris berkedok Islam yang konon sebenarnya dididik oleh intelijen. Tujuannya saat itu (kemungkinan) agar umat Islam tidak memilih PPP sebagai partai politik dan mengalihkan dukungan kepada Golongan Karya, organisasi yang bukan partai politik, tapi selalu memenangkan Pemilu semasa Orde Baru.

Di sisi lain, banyak kasus pembantaian atau tindakan kelewat tegas terhadap siapa pun yang berani mengangkat “senjata” terhadap negara, meski hanya kecil-kecilan. Misalnya, kasus Tanjung Priok yang salah satunya disebabkan oleh vokalnya para kyai mengkritik pemerintah. Ada juga pembantaian di Aceh ketika masa DOM dan di Timor Timur.

Alhasil, atas pelanggaran demi pelanggaran kemanusiaan yang terselubung pada masa Orde Baru, mungkin saja kita menyebut Soeharto melanggar sila kedua.

BJ Habibie dan Sila Ketiga

Agak aneh memang, B.J. Habibie ternyata secara kebetulan “melanggar” sila ketiga, Persatuan Indonesia. Pada kenyataannya, pada masa Habibie yang cuma 2 tahun, Indonesia kehilangan Timor Timur yang sekarang bernama Timor Leste. Habibie menggelar referendum yang ternyata mengindikasikan rakyat Timor Timur ingin merdeka.

Pada masa Habibie juga muncul perpecahan antarsuku atau antar kelompok dalam suatu daerah. Indonesia yang aman dan “diam” pada masa Soeharto, langsung bergejolak dan terancam persatuan dan kesatuannya. Gosipnya, kerusuhan demi kerusuhan ini diciptakan oleh “kemarahan agen rahasia” yang tidak puas atas jatuhnya Soeharto.

Abdurrahman Wahid dan Sila Keempat

Gus Dur bisa dibilang sebagai presiden yang paling demokratis. Pada masa Gus Dur yang cuma dua tahun, kebebasan rakyat benar-benar diperhatikan. Misalnya, tidak didiskriminasikannya lagi warga Indonesia keturunan Tionghoa. Namun, pada masa Gus Dur pula, tercipta sejarah, yaitu pembuatan Dekrit Presiden yang tidak dipatuhi.

Pembuatan dekrit inilah yang membuat Gus Dur dianggap melanggar sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Alasannya mudah, karena dalam dekrit tersebut Gus Dur membubarkan DPR/MPR dan meminta rakyat untuk mengambil alih kekuasaan. Artinya, tidak ada lagi permusyawaratan/perwakilan, terlepas DPR mungkin kelakuannya seperti yang disebut Gus Dur, mirip anak TK.

Megawati dan Sila Kelima

Megawati selalu mengklaim bahwa ia dan partainya membela wong cilik, sebutan untuk rakyat jelata. Namun, klaim kadang sulit dibuktikan ketika berhadapan dengan kenyataan. Pada masa pemerintahannya, Indosat dijual ke perusahaan multinasional asal Singapura. Alhasil, Megawati dianggap melanggar sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia karena kebijakannya justru tidak prorakyat.

Terakhir, presiden Indonesia saat ini adalah SBY. Ada guyonan, mungkin saja SBY mematuhi semua sila dalam Pancasila. Atau mungkin sebaliknya. Justru SBY sebagai presiden keenam, tidak tanggung-tanggung, melanggar semua sila tersebut. Hanya pembaca yang tahu.

Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini !

Beli yuk ?

 
Top