GuidePedia

0

SEBENARNYA Prof Luh Ketut Suryani sudah lama berkiprah dalam upaya mengentas para penderita gangguan jiwa di Bali. Memang, saat itu aksinya belum membuahkan hasil nyata. Nah, titik balik dialaminya ketika pada 2009 Gubernur Bali I Made Pangku Mastika memberikan bantuan dana kepada yayasan yang didirikannya, Suryani Institute for Mental Health (SIMH). Nilainya cukup besar, Rp 1 miliar. 


------------------ Laporan Sekaring Ratri, Denpasar ------------------ 


Suryani -panggilan ahli jiwa tersebut- pun sangat senang. Sejak itu, dia langsung bisa bergerak cepat. Bersama para relawan SIMH, dia blusukan ke kampung-kampung di empat kecamatan di Kabupaten Karangasem. Hasilnya, selama setahun, mereka berhasil menangani 326 pasien gangguan jiwa dari kalangan kurang mampu. Mulai yang ringan hingga yang sudah parah dan terpaksa dipasung keluarganya. 

"Dengan bangga waktu itu kami tunjukkan ke Pak Gubernur bahwa kami berhasil menangani 326 penderita gangguan jiwa," kata Suryani saat ditemui di kantor SIMH, kawasan Gandapura, Denpasar, pekan lalu. 

Dari 326 pasien tersebut, 31 persen (101 orang) bisa sembuh tanpa harus mengonsumsi obat lagi. Kemudian, 66 persen (215 pasien) sembuh, tapi masih harus mengonsumsi obat secara rutin. Sisanya, 3 persen (10 pasien), tidak menunjukkan perubahan berarti. 

"Jumlah itu lebih banyak daripada target yang kami ajukan dalam proposal, yakni 200 pasien," tambah Suryani. 

Sang gubernur pun mengaku bangga atas hasil yang diperoleh SIMH. Namun, tidak lama kemudian, komentar-komentar miring terkait dengan Suryani Institute terus berdatangan. Sejumlah pihak mengkritik keputusan gubernur mendanai lembaga tersebut. Mereka menilai SIMH tidak layak menerima dana sebesar itu. Mereka juga mencemooh cara pengobatan Suryani yang menerapkan gabungan pengobatan medis dan meditasi. 

Mereka bilang, "masak Suryani yang hanya ngajar nyanyi-nyanyi dan meditasi bisa dapat dana sebesar itu. Mereka juga keberatan karena lembaga ini hanya LSM," ungkap guru besar 70 tahun itu. 

Berbagai kritik tersebut membuat sang gubernur gerah. Di tengah seruan-seruan negatif yang kian kencang, gubernur akhirnya mengambil keputusan. Dia memangkas dana bagi Suryani Institute hingga 90 persen. Keputusan tersebut tentu sangat mengagetkan Suryani. Januari 2010 saya dapat berita bahwa dana dari gubernur dipotong sampai 90 persen. 

"Saya kaget sekaligus sedih. Bayangkan, saya baru memulai upaya membebaskan para penderita gangguan jiwa, tiba-tiba dananya dipotong habis. Saya langsung menghubungi para relawan. Saya tanya apakah mereka masih mau membantu meski gajinya tidak banyak. Ternyata, mereka tetap mau membantu," urainya. 

Dengan kondisi dana yang minim, Suryani meneruskan perjuangan untuk mengakhiri praktik pemasungan di Bali. Dia percaya, Tuhan akan membantu perjuangannya. Karena itu, untuk mendanai pengobatan para pasien, dia tidak segan mengandalkan pemasukan pribadinya dari praktik psikiater. Yang juga mengagetkan Suryani, meski dananya dipangkas habis, jumlah pasien SIMH bukannya berkurang, tapi malah bertambah banyak. Yakni, dari awalnya 339 orang membengkak menjadi 684 pasien. 

"Mungkin karena keberhasilan penanganan sebelumnya, akhirnya banyak yang meminta bantuan pengobatan kepada kami," paparnya. 

Meski begitu, Suryani merasa puas karena 37 persen (253 orang) dari 684 pasien bisa sembuh tanpa perlu menggunakan obat lagi. Selanjutnya, 62 persen (424 pasien) mengalami perbaikan, meski masih memerlukan obat. Sementara itu, hanya satu persen yang tidak mengalami perubahan apa-apa. Hingga kini, setidaknya sudah ada 79 pasien gangguan jiwa yang sukses dibebaskan dari pasung oleh Suryani. Selain itu, sekitar 1.000 pasien sudah berhasil ditangani. 

Para pasien tersebut berasal dari beberapa kabupaten seperti Buleleng, Karangasem, dan Gianyar. Dalam menangani pasien, ibu enam anak tersebut tidak segan turun langsung ke lapangan. Bersama putra bungsunya, Cokorda Bagus Jaya Lesmana yang juga psikiater, Suryani mendatangi rumah-rumah pasien yang letaknya cukup jauh dari perkotaan, dengan kondisi jalan yang berbatu, tidak beraspal, serta berbukit. Tidak jarang, dia harus berjalan kaki untuk bisa sampai ke rumah pasien. Kebanyakan pasien itu tinggal di daerah-daerah terpencil. 

"Karena konsep saya tidak hospital based, saya jemput bola dengan mendatangi pasien-pasien itu. Sekalipun jauh, jalannya sulit, saya harus ke sana. Memang, kadang ngeri karena kiri-kanan jurang," ungkapnya. 

Metode penanganan pasien gangguan jiwa yang digunakan Suryani sedikit berbeda dengan metode-metode ilmu psikiatri umumnya. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu menciptakan metode sendiri. Yakni, menggabungkan Western concept dengan Eastern concept. Suryani menyebutkan, konsep pendekatan itu adalah kosep pendekatan biopsikospirit sosiobudaya. 

"Penanganan yang kami lakukan di masyarakat merupakan perpaduan konsep Timur yang berorientasi pada asas kekeluargaan, kemasyarakatan, dan kepercayaan dengan agama yang dianut dipadu dengan konsep spiritual dan konsep Barat. Jadi, tidak mengubah kebiasaan dan kenyamanan pasien," paparnya. 

Namun, konsep Suryani tersebut ditentang keras oleh godfather psikiatri Indonesia, Prof Kusumanto Setyonogoro, yang menggagas pendekatan ekliktik holistis yang banyak diikuti psikiater di Indonesia. Prof Kusumanto bahkan menyebut Suryani bukan seorang psikiater atau ilmuwan karena memadukan Eastern concept yang identik dengan hal-hal yang berbau religius bahkan mistis. 

Meski mendapat tentangan seperti itu, nenek 17 cucu tersebut tidak gentar. 

"Saya menolak pernyataan Prof Kusumanto tersebut dan menegaskan bahwa saya adalah psikiater dan ilmuwan murni. Pasien saya adalah masyarakat Bali yang telah menerima konsep ini, bukan para psikiater itu," tegasnya. 

Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu pun membuktikan bahwa konsep karyanya mampu menyembuhkan para pasien gangguan jiwa berat. Di antaranya, para pasien yang sudah mengalami pemasungan selama bertahun-tahun. Ada tiga proses penyembuhan yang dilakukan Suryani. Pertama, pemberian obat yang terjangkau bagi pasien seperti obat generik. Dia kadang juga memberikan injeksi kepada pasien, khususnya pasien gangguan jiwa berat. Kedua, metode penyembuhan pasien yang didukung proses meditasi relaksasi spirit. Ketiga, setelah sembuh, pasien dan keluarganya diharapkan melakukan semacam upacara adat yang disebut upacara penglukatan untuk membebaskan pasien dari unsur luar yang mengganggu jiwa. Perpaduan unsur ilmiah disertai unsur-unsur nonilmiah itulah yang kemudian menjadi kontroversi di kalangan psikiater. 

"Tentangan tersebut menantang saya untuk membuktikan bahwa apa yang saya lakukan cocok untuk masyarakat Bali dan masyarakat lainnya," tuturnya. 

Suryani menegaskan, upacara penglukatan mampu membantu penyembuhan pasien. Dia bahkan menuangkan penelitian terkait dengan hal tersebut dalam disertasinya yang berjudul Psikosis Akut pada Orang Bali yang Beragama Hindu di Bali: Suatu Studi Pendekatan Kliniko-Sosiobudaya (1988). Dalam penelitiannya, Suryani menemukan pasien yang sudah sembuh dan bisa bersosialisasi dengan masyarakat, tapi masih merasakan otaknya kosong. Setelah melakukan upacara penglukatan, pasien akhirnya mampu melepaskan diri dari perasaan tidak nyaman. 

"Begitu merasakan otaknya berisi, itu berarti otaknya mulai berfungsi. Pasien juga bisa diterima keluarga dan lingkungan sebagai orang normal. Tidak ada lagi stigma bagi pasien dan keluarganya. Dengan metode itu, pasien bisa hidup dan bergaul dengan keluarga dan masyarakat sehingga tidak memerlukan adaptasi baru lagi," bebernya. 

Karena itu, Suryani kerap mengedukasi keluarga pasien seputar penanganan pasien gangguan jiwa. Dia menyatakan bahwa gangguan jiwa bisa disembuhkan. Namun, seperti penyakit flu, peluang untuk kambuh pun ada. Karena itu, penanganan bagi pasien gangguan jiwa harus terus berkelanjutan. 

"Jadi, pasien dan keluarganya juga dididik untuk memahami tanda-tanda dini bila kambuh. Pokoknya, kalau pasien mulai susah tidur, terus sering mimpi buruk, itu harus segera dibawa ke klinik saya. Sebab, kalau terlambat, bisa kambuh lagi." 

Suryani mencontohkan beberapa kasus pasien gangguan jiwa yang mengharuskan dirinya mengulangi dari awal tahap-tahap penyembuhannya. Salah satunya kasus pasien Komang. Dia dipasung hanya karena dianggap mengganggu rumah tangga orang lain. Berkat bantuan Suryani, Komang berhasil sembuh. Tidak sekadar sembuh, dia juga mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sayangnya, saat kambuh, Komang tidak segera mendapat penanganan yang tepat. 

"Akhirnya, dia dipasung lagi oleh keluarganya dan saya harus mulai dari nol lagi untuk menyembuhkannya," ujarnya. 

Suryani mendirikan SIMH pada 2005. Saat itu, dia menghadapi kontroversi terkait dengan metode penyembuhan pasien gangguan jiwa yang diciptakannya. Akhirnya, dia memutuskan untuk berhenti mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Melalui yayasan SIMH, Suryani membuktikan dirinya masih eksis di dunia psikiatri Indonesia. Pada 2007, dia memfokuskan diri pada kasus-kasus bunuh diri di Bali. Lantas, melalui survei oleh yayasannya, ditemukan banyak pasien gangguan jiwa berat yang mengalami pemasungan. Akhirnya, Suryani mulai menangani kasus-kasus pasien gangguan jiwa berat. 

Namun, karena pemotongan dana dari gubernur Bali yang cukup signifikan, rumitnya birokrasi pemerintahan di daerahnya, serta bantuan dana dari pemerintah yang tidak kunjung turun, Suryani sempat putus asa. Akhir Agustus 2013, dia memutuskan untuk menghentikan layanan pengobatan sukarelanya. 

"Saya sudah berumur. Saya juga harus memikirkan dan menjaga kesehatan saya sendiri," katanya. 

Setelah memutuskan berhenti, ternyata laporan datang dari sejumlah relawan yayasannya. Mereka melaporkan banyaknya pasien Suryani yang kambuh. Tidak sedikit pula yang harus kembali dipasung. Apalagi salah satu pasien itu akhirnya bunuh diri karena putus asa dengan gangguan jiwa yang kerap kambuh. 

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top