GuidePedia

0
http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2014/07/Romo-Magnis.jpg
 
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara sekaligus tokoh rohaniawan Katolik, Romo Frans Magnis Suseno enggan memberikan penjelasan lebih detil mengenai tulisan yang ia buat. Khususnya mengenai siapa Islam garis keras yang ia maksud.

"Saya tidak suka menjawab pertanyaan tentang ini," kata Romo Magnis kepada ROL, Rabu (2/7).

Yang pasti, katanya, Islam garis keras itu bukan Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, atau partai-partai Islam pendukung Prabowo Subianto.

Ia juga mengelak ketika ditanya apakah yang dimaksud adalah Front Pembela Islam (FPI) yang ikut disertakan dalam tulisannya. "Saya tidak ingin mengatakan seperti itu. Karena saya tidak tahu apakah mereka menggunakan istilah seperti itu atau tidak".

Menurut Romo Magnis, yang dimaksud Islam garis keras adalah orang-orang atau pihak yang mengibaratkan pilpres sebagai perang badar atau perang suci. "Yang memakai istilah seperti perang badar, perang melawan kafir," ujar dia.

Dalam tulisannya, Romo Magnis sempat menyebut Amien Rais sebagai satu pihak yang secara eksplisit menempatkan pertarungan Prabowo-Jokowi dalam konteks perang Badar.

"Adalah Amien Rais yang membuat jelas yang dirasakan oleh garis keras itu: Ia secara eksplisit menempatkan kontes Prabowo-Jokowi dalam konteks perang Badar, yang tak lain adalah perang suci Nabi Muhammad melawan kafir dari Makkah yang menyerang ke Madinah mau menghancurkan umat Islam yang masih kecil! Itulah bukan slip of the tongue Amien Rais, memang itulah bagaimana mereka melihat pemilihan presiden mendatang," tulisnya.

Ketika ditanya apakah Amien Rais termasuk dalam kategori tersebut, Romo Magnis enggan mengiyakan. "Saya tidak mau menjawab soal itu," katanya.

Romo Magnis: Saya Sadar Tulisan Itu akan Menyebar

Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara sekaligus tokoh rohaniawan Katolik, Romo Frans Magnis Suseno memberikan klarifikasi atas tulisannya yang kini tersebar luas di berbagai media. Menurut Romo Magnis, tulisan tersebut bukan sebuah surat terbuka.

Melainkan kritik terhadap capres nomor urut 1, Prabowo Subianto. "Mungkin bukan surat terbuka, tapi kritik saya terhadap Prabowo," kata Romo Magnis saat dihubungi ROL, Rabu (2/7).

Romo Magnis mengatakan tulisan itu tidak ditulis untuk dijadikan surat terbuka. Dia membuat tulisan itu dan disampaikannya melalui imel komunitas.

"Saya memang menulis kritik terhadap Prabowo, benar itu tulisan saya. Tapi itu bukan surat terbuka kepada media, saya tulis itu dalam sebuah imel," katanya.

Namun, ia menegaskan, tak pernah melarang pihak mana pun untuk menyebarluaskan tulisannya tersebut. "Saya sadar tulisan itu akan menyebar," ujar dia.

Romo Magnis mengatakan, tulisan itu merupakan wujud rasa kagetnya karena Prabowo kini semakin dijunjung oleh orang Islam garis keras. Dia sendiri menyatakan tidak memiliki masalah dengan Prabowo atau meragukan itikad Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra tersebut.

Romo Magnis menulis surat terbuka terkait Prabowo yang berisi keengganannya untuk memilih Prabowo. Surat itu pertama kali diunggah oleh salah satu pendukung Joko Widodo (Jokowi), Mardiyah Chamim dalam laman facebook-nya.

Surat yang ditulis Romo Magnis pada 25 Juni 2014 itu juga di-posting di laman laskarjokowi.com. [yy/republika.co.id]

{AF}
Surat Romo Magnis Soal Prabowo, Islam Garis Keras dan Amien Rais

Romo Frans Magnis Suseno, yang taklain adalah rohaniawan Katolik dan guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengeluarkan surat terbuka.

Isi surat ini selain menuding adanya Islam garis keras yang mendukung Prabowo, Romo Magnis juga mengaitkan Amien Rais dengan sikap kelompok yang disebutnya sebagai Islam garis keras.


Berikut isi lengkap surat tebuka yang ditulis oleh Romo Magnis:

Saudara-saudari,

Pertama, saya mohon maaf kalau kiriman ini yang jelas berpihak, tidak berkenan, apalagi di masa puasa. Namun beberapa hari sebelum pilpres saya merasa terdorong sharing kekhawatiran saya.

Saya mau menjelaskan dengan terus terang mengapa saya tidak mungkin memberi suara saya kepada Bapak Prabowo Subiyanto. Masalah saya bukan dalam program Prabowo.

Saya tidak meragukan bahwa Pak Prabowo, sama seperti Pak Joko Widodo, mau menyelamatkan bangsa Indonesia. Saya tidak meragukan bahwa ia mau mendasarkan diri pada Pancasila. Saya tidak menuduh Beliau antipluralis. Saya tidak meragukan iktikat baik Prabowo sendiri.

Yang bikin saya khawatir adalah lingkungannya. Kok Prabowo sekarang sepertinya menjadi tumpuan pihak Islam garis keras. Seakan-akan apa yang sampai sekarang tidak berhasil mereka peroleh mereka harapkan bisa berhasil diperoleh andaikata saja Prabowo menjadi presiden?

Adalah Amien Rais yang membuat jelas yang dirasakan oleh garis keras itu: Ia secara eksplisit menempatkan kontes Prabowo – Jokowi dalam konteks perang Badar, yang tak lain adalah perang suci Nabi Muhammad melawan kafir dari Makkah yang menyerang ke Madinah mau menghancurkan umat Islam yang masih kecil! Itulah bukan slip of the tongue Amien Rais, memang itulah bagaimana mereka melihat pemilihan presiden mendatang.

Mereka melihat Prabowo sebagai panglima dalam perang melawan kafir. Entah Prabowo sendiri menghendakinya atau tidak. Dilaporkan ada masjid-masjid di mana dikhotbahkan bahwa coblos Jokowi adalah haram. Bukan hanya PKS dan PPP yang merangkul Prabowo, FPI saja merangkul.

Mengapa? Saya bertanya: Kalau Prabowo nanti menjadi presiden karena dukungan pihak-pihak garis keras itu: Bukankah akan tiba pay-back-time, bukankah akan tiba saatnya di mana ia harus bayar kembali hutang itu? Bukankah rangkulan itu berarti bahwa Prabowo sudah tersandera oleh kelompok-kelompok garis keras itu?

Lalu kalimat gawat dalam Manifesto Perjuangan Gerindra: “Negara dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama”. Kalimat itu jelas pertentangan dengan Pancasila karena membenarkan penindasan terhadap Achmadiyah, kaum Syia, Taman Eden dan kelompok-kelompok kepercayaan.

Sesudah diprotes Dr. Andreas Yewangoe, Ketua PGI, Pak Hashim, adik Prabowo, sowan pada Pak Yewangoe dan mengaku bahwa kalimat itu memang keliru, bahwa Prabowo 2009 sudah mengatakan harus diperbaiki dan sekarang sudah dihilangkan. Akan tetapi sampai tanggal 25 Juni lalu kalimat itu tetap ada di Manifesto itu di website resmi Gerindra. Bukankah itu berarti bahwa Hashim tidak punya pengaruh nyata atas Gerindra maupun Prabowo?

Terus terang, saya merasa ngeri kalau negara kita dikuasai oleh orang yang begitu semangat dirangkul dan diharapkan oleh, serta berhutang budi kepada, kelompok-kelompok ekstremis yang sekarang saja sudah semakin menakutkan.

Lagi pula, sekarang para mantan yang mau membuka aib Prabowo dikritik. Tetapi yang perlu dikritik adalah bahwa kok baru saja sekarang orang bicara. Bukankah kita berhak mengetahui latar belakang para calon pemimpin kita?

Prabowo sendiri tak pernah menyangkal bahwa penculikan dan penyiksaan sembilan aktivis yang kemudian muncul kembali, yang menjadi alasan ia diberhentikan dari militer, memang tanggungjawabnya. Prabowo itu melakukannya atas inisiatifnya sendiri.

Saya bertanya: Apa kita betul-betul mau menyerahkan negara ini ke tangan orang yang kalau ia menganggapnya perlu, tak ragu melanggar hak asasi orang-orang yang dianggapnya berbahaya? Apa jaminan bahwa Prabowo akan taat undang-undang dasar dan undang-undang kalau dulu ia merasa tak terikat oleh ketaatan di militer?

Aneh juga, Gerindra menganggap bicara tentang hak-hak asasi manusia sebagai barang usang. Padahal sesudah reformasi hak-hak asasi manusia justru diakarkan ke dalam undang-undang dasar kitab agar kita tidak kembali ke masa di mana orang dapat dibunuh begitu saja, ditangkap dan ditahan tanpa proses hukum.

Jakarta, 25 Juni 2014
Franz Magnis-Suseno SJ{/AF}  
 

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top