GuidePedia

0

Dalam suatu acara syukuran yang pernah simbah ikuti, ada satu tokoh agama setingkat modin (tokoh agama) yang waktu itu didapuk sebagai pembaca doa penutup. Doa dibuka dengan lancarnya, dilanjutkan dengan suara agak samar semi hewes-hewes. Para hadirin mengamininya dengan agak semangat, dikarenakan acara segera bubaran. Namun simbah agak terkaget manakala di tengah hewes-hewes itu, sang modin membaca doa “Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’aafihii, wa’fu’anhu.” Sampeyan yang hapal doa ini pasti tahu, ini doa buat jenazah. Simbah agak terkaget, karena judul acaranya adalah syukuran.

Pada kali yang lain, yakni pada saat acara pemberangkatan salah seorang warga yang berangkat haji, sang modin kembali lagi didapuk membaca doa penutup. Rupa-rupanya ini merupakan spesialisasinya. Dan lagi-lagi doa buat jenazah itu terucap lagi di tengah hewes-hewes yang diamini dengan semangat oleh hadirin yang gak paham isi doa yang diamininya. Dan hebatnya, di saat peresmian satu tempat ibadah pun doa itu terucap juga. Lhadalah… jebulnya doa hapalan sang modin ini doa paketan. Lha dulunya si modin ini belajar doanya buat tahlilan dan kirim doa buat mayit, lalu tiba-tiba disuruh mimpin doa dengan topik acara yang berbeda. Ya sudah….. apa pun acaranya, doa tahlilan penutupnya. Kebetulan yang hadir juga rada-rada kosong ilmu agamanya, jadi pokoknya amin saja.

Itulah sedikit gambaran kebanyakan masyarakat Muslim di negeri kita. Ilmu agama tingkat basic saja babar blas sama sekali tak menguasai. Semuanya pokoknya nurut mbah modin, yang entah bener entah tidak didukung dengan gegap gempita. Jika masyarakat di kampung posisi kepala keagamaan dipegang mbah modin, maka di beberapa tempat posisi ini dipegang oleh orang dengan berbagai macam sebutan. Intinya adalah pemuka agama.

Masyarakat mulai membuat satu pengkotakan, bahwa pada intinya kewajiban mempelajari agama adalah tugas modin atau pemuka agama. Masyarakat tak perlu dalem-dalem belajar agama. Pokoknya kalau ada apa-apa, tinggal nurut saja sama mbah kyai, mbah modin atau yang sejenisnya. Keadaan seperti ini sepertinya malah dimanfaatkan oleh beberapa orang yang dipanggil kyai atau modin itu. Karena posisi kyai atau modin atau pemuka agama itu adalah posisi terhormat yang kadang-kadang pada event-event tertentu cenderung basah, maka manakala ada penyelewengan tak satu pun masyarakat yang tahu. Lha ilmunya kopong babar blas. Tentu saja ini menambah nikmat posisi pemuka agama itu.

Konflik akan muncul manakala ada seseorang dari luar mencium adanya kebusukan yang dilestarikan kyai atau modin mursal ini. Sehingga manakala ada usaha perbaikan, yang muncul adalah tentangan dari masyarakat yang pastinya sangat jelas siapa sponsornya. Yakni modin wal kyai mursal yang tak ingin lengser keprabon dari kursi empuknya. Maka dibuatlah isu-isu bahwa para pendatang yang hendak memperbaiki kondisi umat itu adalah perusuh yang merongrong kewibawaan pemerintah. Dengan dibumbui sedikit masalah khilafiyah, biasanya para kyai, modin ataupun pemuka agama mursal ini bersikukuh hendak mempertahankan tahtanya. Dan biasanya, masyarakat sangat pro dengan yang namanya status quo.

Kondisi inilah yang dulunya ditemui di tengah masyarakat ahli kitab, baik Yahudi atau pun Nasrani. Kebanyakan mereka adalah ummy, buta hurup, tak tahu menahu tentang kitab. Pengetahuan akan kitab hanya dikuasai segelintir rahib atau pendeta, yang dengan monopoli pengetahuannya dia mampu menjungkirbalikkan kebenaran dan kebatilan. Para rakyat di level bodho longa-longo pokoknya nurut kayak kebo yang dicocok hidungnya. Sampai-sampai isi kitab suci diobok-obok, ditambahi dan dikurangi seenak polonya sendiripun tak diketahui oleh masyarakat. Karena rahib dan pendeta ini mendapatkan kepercayaan mutlak dari pengikutnya.

Kalau sampeyan perhatikan, ada kesamaan dari apa yang dialami oleh ahli kitab maupun oleh Muslimin kebanyakan saat ini. Sama-sama tak berilmu dan dimanfaatkan secara tidak benar oleh mereka yang justru mengaku berilmu. Mengapa kondisi ini bisa bertahan? Karena kondisi ini menghasilkan simbiosis mutualisme. Masyarakat menginginkan agar pemuka agamanya tak terlalu mengekang keinginan mereka, sehingga segala-galanya membutuhkan dalil resmi yang menyenangkan hati. Sementara si pemuka agama menginginkan kebasahan posisi mereka dipertahankan, setidaknya nasi besekan saat tahlilan, syukuran, amplop mingguan, bulanan dan tahunan tetep di tangan. Atau pada level lebih tinggi lagi, bisa duduk bersama penguasa, jabat tangan dengan mereka, mempersaksikan event-event bersejarah mereka, dan menikmati sanjungan-sanjungan bertendensi yang menipu hati.

Kondisi ini berawal dari ketidakmauan masyarakat untuk mempelajari agama mereka dengan benar, yang lantas menghasilkan masyarakat yang awam perihal agama. Keawaman ini dilanjutkan dengan menjalani agama berdasar praduga. Karena praduga ini dijalani turun temurun, maka jadilah satu adat. Kalau sudah menjadi yang namanya adat, masyarakat biasanya pasang harga mati. Mbebegeg ugeg-ugeg (tak bergeming) tak mau berubah. Dengan alasan menghormati para pendahulu, nenek moyang dan lain sebagainya. Sampai-sampai jikalau adat itu berbau pornografi pun, harus dilestarikan dan minta dilindungi undang-undang, demi menjaga wajah nenek moyang yang boleh jadi dulu menjalani itu lantaran memang benar-benar cabul. Tapi karena sudah menjadi adat, cabul pun dianggap adi luhung.

Jadi rupa-rupanya kejadian yang dialami oleh ahli kitab baik Nasrani maupun khususnya Yahudi, setapak demi setapak diikuti oleh Muslimin sebagaimana sinyalemen Kanjeng nabi Saw. Jika amalnya sedikit demi sedikit diikuti, maka akibat adzabnya pun akan juga sedikit demi sedikit dialami. Jikalau dulu ada kaum Yahudi yang diubah wajahnya menjadi munyuk yang hina, maka sebenarnya Muslimin saat ini pun sedikit demi sedikit mulai memantaskan diri bagi karakter munyuk ini, yang untuk selanjutnya tinggal ditambahi kata “kun” lalu “fayakun”. Jika ada segolongan Yahudi yang dikutuk menjadi babi, maka sekarang pun kerakusan sebagian Muslimin di negeri gentho wal maling ini juga mulai menunjukkan kerakusan ala babi. Bahkan, tidak cukup dengan hanya meniru babi, negeri ini pun mulai menunjukkan sikap permisif terhadap perilaku seks menyimpang seperti homoseksual. Walaupun saat ini belum ada wacana tentang caleg waria, tapi suatu ketika wacana ini pasti akan keluar juga dari cobrotnya kaum yang mengatasnamakan kemanusiaan dan kesetaraan gender. Padahal gender waria ini sama sekali tak jelas, tapi ingin disetarakan.

Simbah bersama rekan pernah mengadakan satu program pendidikan bagi warga kampung di satu desa dengan maksud mengenalkan agama ini untuk mereka. Namun, kebanyakan dari mereka salah tujuan. Banyak yang mundur lantaran pelajaran yang kita berikan tak mengajari caranya doa tahlilan. Koleksi tahlilan dan yasinan tak bertambah dengan ikut taklim yang kita gelar. Maka, mereka menganggap percuma ngaji bersama kita. Hal ini terjadi karena warga kampung sudah berasumsi bahwa yang namanya ngaji itu adalah belajar caranya doa tahlilan atau yasinan. Berbekal dua senjata pamungkas itu Mereka berharap nantinya dapat memungkasi segala acara dengan doa yang walaupun tidak pas, tapi yang penting berbau arab dan diamini dengan sentausa. Menyedihkan…

Taken from : “Republik Genthonesia: Maju Perut Pantat Mundur” by Mbah Dipo

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top